“Masyarakat di
sekitar kejadian lumpur Sidoarjo, 99 persen dari mereka, berterima kasih
kepada saya dan keluarga. Karena mereka mendapatkan lebih dari apa yang
mereka punyai sebelumnya (sebelum bencana),” ujar dia (Aburizal Bakrie – pen.) saat wawancara dengan Financial Times seperti yang dikutip Rabu (3/4). Sumber baca di sini
Itulah pernyataan Abu Rizal Bakrie. Sebuah
pernyataan yang muncul dari logika uang semata.
Bagaimana mungkin
seseorang yang menderita dalam berbagai aspek kehidupan, dianggap
berterimakasih semata hanya karena nilai ganti rugi yang didapatkan
lebih dari nilai taksiran obyek yang terendam lumpur. Sekarang mari kita
cermati struktur kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Sidoarjo di
daerah terdampak. Kebetulan sampai dengan awal tahun 2010 saya masih
tinggal di Surabaya dan banyak teman-teman saya yang tinggal di
Sidoarjo, bahkan perusahaan tempat saya bekerja dulu pernah membantu
pengadaan rumah bagi karyawan di perum TAS-1 sebanyak lebih dari 200
unit rumah, yang semuanya kini sudah terendam lumpur Lapindo.
Sebelum munculnya semburan lumpur pertama kali pada
28 Mei 2006, kehidupan warga di desa Siring, kecamatan Porong dan
sekitarnya aman-damai-tentram. Sebagian besar dari mereka hidup
sederhana, tapi mereka memiliki kehidupan sosial yang menyenangkan.
Mayoritas penduduk di sana adalah warga yang sudah menempati tanah dan
rumah peninggalan orang tua bahkan kakek nenek mereka. Makam leluhur
mereka pun tak jauh dari sana. Tanah kelahiran memang memberikann
romantisme yang berbeda dengan tanah perantauan. Tetangga pun rata-rata
adalah orang yang sudah seperti saudara sendiri karena sudah puluhan
tahun hidup berdampingan.
Sebagian besar mereka bekerja sebagai buruh dari
perusahaan-perusahaan di daerah industri sekitarnya, menjadi petani
penggarap lahan sendiri (warisan keluarga) maupun penggarap lahan orang
lain, menjadi guru yang mengajar di sekolah-sekolah sekitar kelurahan
dan kecamatan di situ dan beragam profesi lainnya. Ada juga yang
berwirausaha, menjadi penjahit, membuka toko kelontong, membuka warung
makan bahkan sekedar berjualan nasi pecel di pagi hari yang laris manis
diserbu para pekerja yang tak sempat menyiapkan sarapan di rumah.
Ketika bencana semburan lumpur itu terjadi dan
mulai masuk ke kampung mereka, banyak yang tak sempat menyelamatkan
barang-barang pribadinya. Mereka hanya membawa bekal baju seadanya lalu
mengungsi ke sebuah proyek pasar yang baru selesai pembangunannya,
belum diresmikan dan sedianya akan dijadikan pasar baru di Porong.
Berhubung ada ratusan KK mendadak butuh tempat pengungsian, Bupati
Sidoarjo langsung menjadikan los-los pasar itu sebagai tempat
penampungan pengungsi. Berdesakan 4-5 keluarga dalam bilik ukuran
beberapa meter persegi saja. Mandi harus antri berjam-jam karena sarana
MCK yang tersedia sangat tidak memadai mengingat peruntukannya memang
bukan untuk tempat pengungsian ribuan warga sekaligus.
Tidur tak leluasa karena bercampur dengan keluarga
lain. Saat tidur, kaki bisa menyentuh kepala orang lain. Sering terjadi
salah paham dan nyaris cekcok antar keluarga. Kaum laki-laki dewasa
bahkan seringkali terpaksa mengalah dan tidak tidur di dalam los
melainkan bergadang di luar demi memberikan tempat bagi wanita dan
anak-anak agar bisa tidur. Keesokan harinya, yang masih bisa bekerja
harus tetap bekerja dalam keadaan mengantuk dan badan sakit semua. Belum
lgi pasutri yang rata-rata masih berusia muda itu terpaksa selama
berbulan-bulan menahan hasrat seksual mereka karena tak ada tempat untuk
melaksanakan hubungan suami istri. Jangankan menyalurkan kebutuhan
biologis, sekedar ngobrol berdua istri untuk membicarakan masalah
keluarga saja sulit, tetangga yang hanya berbatas tas atau selimut pasti
mendengar.
Sebagian besar dari mereka bahkan tak punya lagi
mata pencaharian. Buruh-buruh pabrik terpaksa mendadak jadi pengangguran
yang tak diberikan pesangon, sebab pabrik mereka terendam lumpur dan
merugi. Kaum ibu yang semula bisa membantu suami mencari nafkah dengan
berjualan nasi dan lauk pauk untuk sarapan para pekerja, kini tak lagi
bisa berbuat apa-apa.
Bahkan makan sehari 3x pun di jatah nasi bungkus.
Saat Ramadhan tiba, sahur dan buka puasa memang disediakan, tapi sungguh
tak nyaman karena harus antri pembagian nasi bungkus. Saya ingat
tayangannya di TV saat itu, nasi bungkus untuk sahur sudah dingin,
bahkan terkadang basi, maklum sudah disiapkan sejak sore/petang harinya.
Selain itu mereka mengaku sama sekali tak nyaman terpaksa buka dan
sahur dengan nasi dan lauk keringan. Nasi bungkus tak memungkinkan
mereka menyantap sayuran berkuah. Mereka sebetulnya tak menuntut banyak,
cukuplah sayur asem atau sayur bening, asal ada kuah untuk mendorong
nasi agar bisa lancar masuk ke tenggorokan, maklum, makan sahur biasanya
memang kurang selera.
Sekian bulan mereka memang diberi “jadup” alias
jatah hidup, kalau tak salah Rp. 300.000,- per jiwa per bulan. Kemudian
ada bantuan uang kontrak rumah sebesar Rp. 2 juta per KK per tahun,
untuk 2 tahun ke depan. Area yang terendam lumpur makin meluas ke
desa-desa dan kecamatan lain di sekitarnya, jelas pasar baru Porong tak
bisa menampung jika pengungsi yang lama tak segera pindah. Masalahnya,
mencari kontrakan rumah tidaklah mudah untuk begitu banyak keluarga
sekaligus. Akhirnya mereka tercerai berai, beruntung yang masih punya
ortu atau mertua bisa menampung, yang tak punya sanak keluarga, keleleran
mencari kontrakan yang sesuai dengan uang jatah. Di tempat kontrakan
baru belum tentu dekat dengan lokasi tempat kerja atau sekolah anak-anak
mereka yang rata-rata masih SD. Yang ingin kembali buka usaha warung
makan atau menjahit, kebanyakan gagal karena mereka sudah kehilangan
kontak dengan pelanggannya dan pelanggan pun sudah pindah entah kemana.
Janjinya, para korban lumpur itu akan dihitung
nilai asset mereka. Untuk tanah berapa ganti rugi per meter persegi dan
untuk bangunan berapa. Masalahnya, semua penggantian itu kemudian
berjudul “jual-beli”. Jadi seolah-olah PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ)
membeli asset warga yang sudah terendam. Padahal, seharusnya murni ganti rugi – bila perlu ganti untung,
karena tak ada warga yang menghendaki disuruh pindah begitu saja – mana
ada jual beli saat asset sudah terendam lumpur? Karena akte
perjanjiannya “jual-beli”, maka PT. MLJ mensyaratkan sejumlah dokumen
dan sertifikat yang rata-rata tak dimiliki warga yang tinggal di dusun
mereka secara turun temurun berpuluh-puluh tahun. Suatu keanehan, karena
sebelum terjadi semburan, ketika Lapindo membeli tanah warga untuk
dijadikan lokasi pengeboran, mereka justru sengaja membeli tanpa
sertifikat, sehingga harganya miring.
Selain persyaratan teknis dan administratif,
“jual-beli” itu semula disepakati dibayar 20% di muka dan akan dibayar
80% setelah 2 tahun, ketika uang kontrak rumah habis. Pada kenyataannya
tidak demikian. Ketika tiba saatnya dibayar yang 80%, tidak dibayar
tunai melainkan dicicil alias diangsur. Nilai angsurannya pun kecil jika
dibanding proporsinya yang 80% dari nilai asset. Kebanyakan diangsur
Rp. 15 juta per bulan. Itu pun tak selamanya angsuran rutin selalu
dibayar. Terkadang menunggak beberapa bulan tak ada angsuran masuk ke
rekening korban.
Nah, dengan semua ketidaknyamanan yang harus
dirasakan warga korban lumpur, layakkah mereka berterimakasih meski
seandainya total uang “jual-beli” asset itu lebih besar dari nilai asset
mereka ketika dimiliki? Bukankah wajar saja seseorang menjual rumah dan
tanahnya dengan harga lebih besar dari harga belinya? Apalagi “jual-beli”
itu sama sekali bukan kehendak warga, mereka terpaksa pindah dan
terusir dari kampung halaman. Wajar jika mereka menuntut diganti rumah
dan tanah. Bukankah kenyamanan, keamanan, ketentraman dan harmoni
kehidupan mereka sudah terusik dan terkoyak-koyak?
Mari kita buat perumpamaan : anda ditabrak sebuah
mobil mewah sampai kaki dan tangan anda patah. Si penabrak
bertanggungjawab, anda dibawa ke sebuah RS bagus, dimasukkan ke kamar
perawatan kelas VIP, semua biaya pengobatan dan operasi sampai sembuh
diganti total. Anda yang sehari-hari bekerja mendapat gaji Rp 3 juta per
bulan, selama berbulan-bulan harus terbaring. Sebagai ganti rugi,
penabrak memberi jatah hidup Rp. 5 juta per bulan. Apakah anda
berterimakasih pada pemilik mobil mewah yang telah menabrak anda? Meski
akibat kecelakaan itu anda jadi cacat seumur hidup dan tak lagi bisa
bekerja dan beraktivitas sebagaimana layaknya dulu?
Apakah anda perlu berterimakasih pada penabrak
karena berkat dia anda bisa merasakan tidur di spring bed empuk dan
sejuknya AC? Saya lebih memilih tidur di rumah sendiri meski kasurnya
sudah tak lagi empuk dan kipas anginnya sudah berdenyit bunyinya,
ketimbang harus menginap di RS. Saya lebih memilih bekerja 8 jam sehari
selama 5 hari seminggu dengan upah 3 juat ketimbang terbaring tanpa daya
dengan upah 5 juta.
Nah, apalagi penderitaan korban lumpur Lapindo
tidaklah sebaik ilustrasi korban tabrakan di atas. Sebab mereka
berbulan-bulan merasakan ketidaknyamanan lahir batin tinggal di
pengungsian. Ribuan orang yang semula punya tempat tinggal layak dan
keluarga yang tentram, mendadak jadi tuna wisma dan hidup tak karuan di
pengungsian. Para pekerja pabrik mendadak jadi pengangguran
berbulan-bulan dengan jatah hidup hanya 300 ribu per jiwa, setelah
sekian tahun mereka terpakse kerja serabutan seadanya demi menyambung
hidup keluarganya. Anak-anak sekolahnya terganggu bahkan ada yang sempat
terhenti sementara.
Beberapa tokoh menjadi pendamping korban lumpur.
Ada Emha Ainun Nadjib, ada Arswendo Atmowiloto yang menghibur anak-anak
korban lumpur yang sudah bertahun-tahun hidup di pengungsian. Tahun
2012, sebuah film dokumenter tentang kehidupan warga korban lumpur
Lapindo memenangkan kompetisi film dokumenter indie, Eagle Documentary
Awards. Film itu dengan jelas menggambarkan kegetiran, rasa pilu dan
amarah warga korban lumpur. Kalau saja kehidupan punya mesin waktu,
mereka ingin kembali ke kehidupannya semula sebelum terendam lumpur.
Sampai sekarang, warga yang awal-awal kena luapan
semburan lumpur Lapindo justru ada yang belum selesai proses ganti
ruginya. Mereka adalah korban tahap awal yang disebut sebagai warga dari
daerah “peta terdampak” dimana proses ganti ruginya menjadi tanggung jawab keluarga Bakrie sebagai pemilik Lapindo.
Itu sebabnya beberapa waktu lalu Presiden SBY pernah berujar dalam
rapat kabinet : “Katakan pada Lapindo, jangan bohongi rakyat. Kalau
bohong pada rakyat, tanggung jawabnya juga di akhirat!”.
Yang lebih sedikit “beruntung” justru warga yang
belakangan terkena karena mereka berada di luar peta terdampak, dimana
kemudian disepakati ganti ruginya dibayarkan oleh negara melalui APBN.
Justru kewajiban negara yang menggunakan dana APBN – yang nota bene juga
uang rakyat, dikumpulkan dari pajak rakyat dan seharusnya untuk
kepentingan rakyat banyak – inilah yang sudah lebih dulu lunas.
Tak heran jika kemudian klaim Ical bahwa 99% warga korban lumpur Lapindo berterimakasih padanya dan keluaga, dibantah oleh warga korban itu sendiri.
Apalagi mengingat sampai sekarang – sebulan menjelang 7 tahun tragedi
lumpur Lapindo – proses ganti rugi itu belum juga beres. Sungguh sulit
dimengerti, logika berpikir macam apa yang digunakan ARB. Sekedar
mengacu pada ilustrasi korban tabrakan di atas, apakah Ical juga akan
berterimakasih kalau dirinya dan keluarganya ditimpa musibah lalu
diganti dengan uang yang sedikit lebih banyak dari sebelumnya? Jika
logika materialis yang digunakan, mungkin jawabnya “iya”. Tapi tak semua
orang memilih menderita dan kehilangan kenyamanan hidup berkeluarga
demi sejuta dua juta uang. Dan saya yakin warga korban lumpur kalau
boleh memilih mereka lebih suka tak terpisah dari tanah leluhurnya!
Sebaiknya Pak Ical lebih sensitif pada rasa
penderitaan warga korban lumpur. Bukannya malah mengklaim 99%
berterimakasih hanya karena mendapat uang ganti rugi yang memang
seharusnya mereka dapatkan. Mereka bahkan berhak mendapat lebih dari
itu, sebab penderitaan non materiil tak bisa dihitung dengan uang.
Apakah foto-foto dari berbagai media ini belum cukup berbicara tentang
penderitaan dan jeritan hati mereka?
catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer