Komisi Pemilihan Umum atau KPU tetap bersikukuh menolak PKPI dan PBB untuk menjadi peserta Pemilu 2014. Walau PKPI direkomendasi oleh Bawaslu dan PBB memenangkan gugatan di PTUN,tetap saja mereka dicuekin oleh KPU. Tentu saja pengurus serta simpatisan pendukung PKPI dan PBB berang atas ulah KPU tersebut,sebab keputusan KPU untuk tahapan pertama di Pemilu 2014 seolah absolut tidak bisa diubah oleh siapapun,termasuk oleh Bawaslu mapun PTUN.
Sebagai orang awam yang “buta hukum” atas sengketa Pemilu,masalah ini tentu akan terus membebani secara politis kerja KPU di kemudian hari. Demonstrasi dan protes politis ke KPU akan membuat kerja para komisioner Pemilu bisa saja terganggu. Apalagi bila nantinya PKPI dan PBB membawa kemenangan mereka ke tingkat Mahkamah Konstitusi dengan dalil-2 hukum untuk menggugat UU Pemilu terkait kedudukan Bawaslu dan PTUN sebaga lembaga yang kurang diperhatikan dalam penyelenggaraan Pemilu.
Di dalam tubuh PKPI dan PBB bukan orang-2 yang tidak “melek” hukum. Di PBB ada Prof.Yusril Ihza Mahendra yang merupakan pakar hukum tata negara dan beberapa kali memenangkan kasus-2 yang terkait dengan peradilan tata negara. Ini akan membahayakan tahapan Pemilu berikutnya bila saja MK mengabulkan gugatan mereka. Pemilu 2014 terancam gagal atau mundur dari jadwal semustinya.
KPU tidak boleh mendiamkan masalah ini seperti “no problem” …! Karena masa depan negara Republik Indonesia bisa kacau kalau KPU tidak bekerja secara profesional dan bersikap “the show must go on” terhadap nasib kedua parpol tersebut. Kemenangan PKPI dan PBB di Bawaslu dan PTUN adalah kemenangan politis yang bisa mengganggu tahapan Pemilu 2014 lebih lanjut. Mungkin ini langkah pertama atau halaman pertama mereka dalam membuka wacana baru dalam berdemokrasi,khususnya dalam penyelenggaraan Pemilu. Selama ini KPU dalam menyelenggarakan Pemilu baik di tingkat nasional maupun daerah juga dicurigai bertindak partisan dan kurang jurdil (jujur dan adil).
Lihat saja pada akhirnya eks komisioner Pemilu berpindah menjadi partisan daripada parpol penguasa (Partai Demokrat),kasus Anas Urbaningrum dan Andi Nurpati masih menyisakan dugaan tak sedap netralitas KPU dalam Pemilu. Mungkinkah para komisioner Pemilu yang sekarang juga “menyimpan” Kartu Tanda Anggota parpol tertentu yang pada waktunya akan dibuka…? Bisa jadi itu menjadi kenyataan,sebab parpol di Indonesia tak ubahnya diatur gaya manajemennya seperti militer,mereka memasang intelijen terselubung di tiap-tiap lembaga Pemilu guna kepentingan memenangkan parpolnya.
KPU juga dicurigai menjadi “sarang koruptor” yang belum dibongkar oleh KPK. Kasus pengadaan komputer di KPU yang dicurigai oleh mantan Ketua KPK Antasari Azhar sebagai “biang kerok” dirinya dijebloskan ke penjara dengan “fitnah kasus pembunuhan” menjadi cerita menyedihkan hingga saat ini. Walau kebenarannya masih simpang-siur,tetapi masyarakat masih juga mempercakapkan kemungkinan adanya kecurangan di Pemilu yang diselenggarakan oleh KPU yang tidak netral. Apalagi dengan halaman demi halaman yang dijanjikan oleh Anas Urbaningrum akan dibuka,membuat cemas para penyelenggara Pemilu dan penguasa saat ini.
Indonesia memang perlu pemimpin yang kuat dan didukung oleh rakyat secara bulat. Kalau suara rakyat terus dipermainkan seperti ini,maka kedepan Indonesia akan memasuki era kegelapan yang bisa membawa perpecahan bangsa dan NKRI.
Perebutan kekuasaan melalui cara-cara dengan memalsukan demokrasi rakyat lebih berbahaya daripada perebutan kekuasaan ala militer. Sebab pemalsuan demokrasi artinya sama saja negeri ini dipimpin oleh pemimpin palsu yang tidak mempunyai akar yang kuat dalam memerintah negara ini. Kasus-2 Pemilu di daerah dan Nasional sudah menjadi contoh bagaimana negara dan daerah dipimpin oleh pemimpin-2 yang memalsukan demokrasi,mereka tidak cukup kuat didukung oleh semua pihak karena kemenangannya terus menerus diragukan. Mereka yang menang tidak bisa mengerahkan seluruh kekuatan di lembaga-2 negara untuk menjaga ketertiban dan pluralisme,yang akhirnya menjadikan negara ini seperti “auto pilot”
Mungkinkah Indonesia kembali ke sistem lama yang lebih terstruktur dan demokratis ala Pancasila daripada demokrasi palsu yang dipaksakan dan dijejalkan dengan menghambur-hamburkan uang rakyat …?
Para pemimpin negeri ini harus segera berbenah dan mencari mufakat,sebab bila tidak Pemilu hanya menjadi obyek pemalsuan demokrasi dengan atas nama sebuah Komisi yang disebut KPU.
catatan Mania Telo Freedom Writers Kompasianer