“Di atas semua ini, saya katakan
saudara-saudara, barangkali ada yang berpikir ini akhir dari segalanya.
Hari ini saya nyatakan : ini baru sebuah permulaan! Ini baru awal dari
langkah-langkah besar. Ini bukan tutup buku, ini pembukaan buku halaman
pertama. Masih banyak halaman-halaman berikutnya yang akan kita buka dan
baca bersama untuk kebaikan bersama. Saya yakin halaman-halaman
berikutnya akan makin bermakna bagi kepentingan kita bersama.”
==========================================
Rangkaian kalimat yang mengalir lancar, runtut,
kalem namun tegas dari Anas Urbaningrum Sabtu siang lalu itulah yang
telah menyihir banyak orang, membuat opini dan persepsi publik terbelah,
serta membuat para tokoh – apapun ketokohannya – dan para politisi dari
berbagai parpol merasa menemukan “sesuatu” yang lain. Mengutip
pernyataan pengamat politik Burhanuddin Muhtadi : “Anas telah mengubah locus hukum menjadi locus
politik”. Mendadak, publik yang semula geram dengan Anas dan menagih
janjinya untuk digantung di Monas, kini berbalik arah memandang Anas
sebagai pihak yang terdzholimi.
Kontan, sejak sore itu setelah kepulangannya dari
kantor DPP Partai Demokrat yang ditandai dengan pembukaan jaket biru,
rumah Anas tak pernah sepi dari kunjungan para tokoh dan politisi bukan
hanya dari Partai Demokrat. Malam sebelumnya, hanya beberapa saat
setelah Johan Budi mengumumkan status AU sebagai tersangka,
berbondong-bondong para loyalis Anas di internal PD, baik pengurus DPP
maupun pengurus DPD dan DPC, mendatangi rumah Anas. Tetapi pasca pidato
Anas yang fenomenal, seolah semua pihak dari berbagai kelompok dan
golongan menganggap Anas pahlawan baru, korban konspirasi politik.
Bahkan beberapa karangan bunga “duka cita” pun memenuhi gerbang rumah
mewah Anas. Uniknya, ada karangan bunga besar yang bertuliskan nama
sebuah LSM yang mengaku anti korupsi.
Saya teringat reaksi publik pasca wawancara via skype
antara Bung Iwan Piliang dengan Nazaruddin yang ditayangkan pertama
kali oleh Metro TV pada sekitar minggu ketiga bulan Juli 2011, sekitar 2
bulan sejak Nazaruddin buron pada 23 Mei 2011. Sejak issu keterlibatan
Nazar dalam kasus korupsi Wisma Atlet meruak, apalagi ditambah kaburnya
Nazar, hampir semua suara publik menghujat, mencerca bahkan mengutuk
Nazar. Ungkapan melalui telepon di media TV, twitter, facebook, komentar
di portal-portal media online, semuanya senada : Nazar musuh besar
bangsa ini! Tetapi, pasca penayangan wawancara skype itu,
sontak opini publik berbalik. Mereka mendukung Nazar agar segera kembali
dan membongkar semua borok Partai Demokrat, terutama Anas.
Bahkan ketika Nazar dijemput KPK dari pelariannya
di Kolumbia, anggota DPR Komisi III – minus dari Fraksi Demokrat –
dengan penuh simpati menjenguk Nazar di rutan KPK dan menyemangatinya
agar bersuara, buka-bukaan saja semuanya. Bahkan rombongan pengacara
Nazar – saat itu masih OC Kaligis Law Firm – pun menghadap Komisi III
DPR agar Nazar mendapatkan “keadilan hukum” dan DPR pun menerima dengan
baik.
KPK pun mendadak menjadi “tertuduh” atas hilangnya barang bukti yang ditunjukkan Nazar dalam rekaman video skype,
berupa keping VCD dan flashdisk, bahkan Dubes RI di Kolumbia pun
diperkarakan. Padahal, siapa yang bisa menjamin bahwa memang ada
barang-barang tersebut di dalam tas Nazar pada malam penangkapannya oleh
Polisi Kolumbia. Logikanya, barang bukti sepenting itu masa iya dibawa
kemana-mana. Bahkan katanya copynya yang disimpan pengacara Nazar di
Singapore, sampai saat ini tak pernah ditunjukkan di persidangan.
Termasuk juga yang katanya ada rekaman CCTV rumah Nazar – yang
berkali-kali dijanjikan oleh tim OC Kaligis yang cantik (maaf saya lupa
namanya) dengan kalimat “tunggu tanggal mainnya” – ternyata sampai Nazar
di vonis tak pernah ditunjukkan.
Kini, Anas sebenarnya sedang men-“copy paste”
siasat Nazaruddin dengan kemasan yang tentu lebih cantik dan elegant.
Sebanding dengan tingkat kematangan Anas dalam berpolitik dan
kapabilitasnya sebagai organisatoris dan intelektual. Kalimat dan bahasa
yang digunakan Anas jauh lebih “tinggi” dibanding Nazar, sarat dengan
perlambang. Pengucapannya pun tidak dengan nada penuh amarah dan
menggebu seperti Nazar. Tidak perlu menunjukkan flashdisk atau keping
VCD, cukup dengan ungkapan “halaman-halaman selanjutnya yang akan kita buka dan baca bersama-sama”.
Justru rangkaian kalimat inilah yang menyihir dan mempesona sekaligus
membuat publik penasaran tingkat dewa. Sementara kubu yang berseberangan
dengan Anas dan selama ini menyimpan “dosa politik” atau “kebusukan
berkomplot” (maaf, saya tidak ingin menggunakan istilah ‘berjamaah’
untuk perbuatan jahat), bisa jadi tak bisa tidur nyenyak belakangan ini.
Ada sedikit kesangsian dalam diri saya atas ucapan Anas itu. Sebab, ketika beberapa waktu lalu ditanya wartawan soal Hambalang, Anas bersikeras dirinya tidak tahu apa itu Hambalang.
Rentetan pernyataan yang kemudian berujung dengan sumpah : “Satu rupiah
saja Anas korupsi Hambalang, gantung Anas di Monas”. Belum setahun yang
lalu ia tegas berkata tak tahu apa-apa soal Hambalang, lalu kini
berujar akan membuka halaman-halaman selanjutnya yang konon “akan makin bermakna”.
Lalu apa yang akan di buka Anas? Skandal korupsi lainnya kah di tubuh
partai Demokrat? Saling tebar uang di arena Kongres Bandung-kah? Atau
bahkan skandal Century yang sejak awal Nopember 2009 sudah membuat
gonjang-ganjing pentas politik di DPR sampai melahirkan Pansus dan
Timwas?
Menarik dicermati, apapun yang akan di buka Anas,
tentulah sesuatu yang dia tahu betul sejak lama. Lalu, kenapa baru
sekarang – setelah dirinya dijadikan tersangka oleh KPK – akan membuka
praktek korupsi dan penggarongan uang negara? Jika Anas memang
berkomitmen memberantas korupsi seperti yang diserukannya dalam iklan
kampanye “Katakan TIDAK pada KORUPSI!!” semestinya ia bersuara ketika
melihat indikasi korupsi, bukan?
Banyak yang menduga Anas akan buka-bukaan soal
Century. Ahaaaiii.., kalau ini halaman selanjutnya, memang akan bermakna
sekali. Tapi…, bukankah skandal ini sudah dibahas sejak Anas masih
menjadi anggota DPR sekaligus Ketua Fraksi Demokrat di DPR RI? Kenapa
waktu itu justru diam saja? Jangan lupa, seluruh Fraksi Demokrat all out
habis-habisan dalam Pansus Century. Seorang Ketua Fraksi adalah
dirigent bagi padunya orkestrasi suara seluruh anggota Fraksi dalam
menyikapi suatu kasus. Jadi, solidnya seluruh anggota DPR dari Demokrat
mem-back up SBY – Boediono dan mati-matian menafikan keterlibatan PD
dalam skandal Century, tentu tak lepas dari peran Ketua Fraksi Demokrat
saat itu, Anas Urbaningrum.
Kalau yang akan dibuka skandal Hambalang, lho,
bukannya belum setahun yang lalu masih ngotot mengaku tidak tahu
apa-apa? Kalau itu soal intrik uang di arena Kongres, bukankah sudah
ditepisnya sendiri? Kalau itu kasus yang lain, apapun itu, kenapa baru
sekarang disuarakan? Kalau begitu, apa bedanya Anas dengan Nazaruddin
yang dulu dikatakannya berhalusinasi? Nazar juga kalap ketika dirinya
dijadikan tersangka. Lalu, alih-alih fokus pada masalah Wisma Atlet,
Nazar kemudian menembak membabi buta kesana-kemari, menyasar siapa saja
terutama Anas.
Menyadari ia tak punya cukup amunisi di kasus Wisma
Atlet, Nazar mencuatkan kasus Hambalang. Semula tak ada yang mencium
kasus ini. Kata “proyek Hambalang” pertama kali meluncur dari mulut
Nazar dalam video skype yang menghebohkan itu serta wawancara telepon Nazar dengan news anchor Metro TV.
Kini, akankah Anas meniru jejak Nazar yang dicapnya
berhalusinasi itu? Jika Anas tak punya cukup peluru tajam di kasus
Hambalang, ia akan memakai kasus lain untuk menembak. Yang penting : tiji tibeh (mati siji mati kabeh alias mati satu mati semuanya). Strategi bumi hangus.
Memprihatinkan, karena jika dicermati, inilah
“tradisi” orang Demokrat. Mari kita kembali ke Mei 2011, ketika nama
Nazar pertama kali disebut mantan pengacara Mindo Rosalina, bahwa ada
peran Bendahara Umum PD itu dalam kasus Wisma Atlet. Seluruh kader PD
mati-matian membela dan mengatakan Nazar tak terlibat, bahkan tak kenal
Rosa. Malahan, ketika Mahfud MD datang ke istana melaporkan kelakuan
Nazar terhadap Sekjen MK Djanedri M. Ghoffar, justru Mahfud-lah yang
dicerca orang-orang Demokrat. Namun, ketika KPK menetapkan Nazar jadi
tersangka, sontak semuanya mengatakan Nazar melakukannya sendiri, tak
terkait Partai Demokrat.
Jelang akhir masa persidangan Nazar, KPK menetapkan
Angelina Sondakh sebagai tersangka. Mulailah Demokrat menjauh dari
Angie. Dan Angie pun seolah rela menjadi martir dan pasang badan bagi
sosok Ketua Besar dan Boss Besar, dengan menolak BAP tentang transkrip
pembicaraan via BBM dengan Rosa. Tak tanggung-tanggung Angie pun mengaku
tak punya BB sampai akhir 2010.
Lalu, jelang akhir masa persidangan Angie, KPK
menetapkan Andi Alifian Mallarangeng, Menpora, sebagai tersangka. Andi
yang semula selalu membantah keterangan Nazar, setelah dijadikan
tersangka ternyata sama saja dengan Nazar : menyeret nama Anas. Hanya
saja Andi tak melakukannya sendiri, adiknya – Rizal Mallarangeng –
berkali-kali menggelar konpers dan terang-terangan menyebut “Ketua
Fraksi Demokrat saat itu” atau “Ketua Umum Partai Demokrat” bahkan
belakangan secara spesifik menyebut nama “Anas Urbaningrum”.
Kini, nama yang sudah berkali-kali disebut Mindo
Rosalina, Nazaruddin, Rizal Mallarangeng itu pun dijadikan tersangka
oleh KPK. Lalu keluarkan pernyataan akan membuka dan membaca
bersama-sama halaman-halamn berikutnya yang lebih menarik. Dan
berbondong-bondonglah orang yang pernah punya masalah dengan SBY dan
lingkaran istana, “sowan” ke Duren Sawit. Ada Harry Tanoe yang sekarang
pindah ke Hanura, ada juga Misbakhun. Viva Yoga Mauladi, salah seorang
fungsionaris KAHMI (Korps Alumni HMI) menyatakan bahwa saat bertemu
Anas, yang bersangkutan menanyakan apakah semua data tentang Century
sudah diserahkan ke Timwas. Nah lho?! Bukankah sejak awal ada anggota
Fraksi Demokrat yang duduk dalam Pansus dan Timwas Century?
Kunjungan Hary Tanoe ke rumah Anas pun berbuah
manis, semalam RCTI tengah malam menayangkan wawancara eksklusif pewarta
RCTI – Ario Ardi – dengan Anas di kediamannya yang diberi tajik
“Perlawanan Anas”. Anas menyebut apa yang dialaminya ini baru halaman
pertama alinea kedua. Bahkan Anas sudah memberikan clue tentang “halaman tiga”. Wah, pasti bakal seru menunggu buku cerita ini dibacakan entah sampai berapa halaman kelak baru tamat.
Membongkar kasus korupsi tentu perbuatan mulia.
Sebaliknya, diam saja bahkan berusaha menutupi ketika tahu ada
perbuatan merugikan negara secara sistematis dan berkomplot, bisa
dikategorikan ikut melindungi permufakatan jahat itu. Sebaiknya, jika
Anas memang berkomitmen memberantas korupsi, dia sejak awal menyuarakan
indikasi korupsi itu. Sebagai mantan Ketua Fraksi terbesar di parlemen,
mantan Ketua Umum sebuah parpol berkuasa, mantan komisioner KPU, tentu
banyak “rahasia” yang diketahui Anas. Jika rahasia itu terkait
kongkalikong menggarong negara atau permufakatan curang dalam
penyelenggaraan negara, kenapa dulu diam saja? Kenapa menunggu dijadikan
tersangka baru “balas dendam”?
Sesaat setelah KPK menetapkannya sebagai tersangka, Anas meng-update status BBM-nya : “nabok nyileh tangan”
yang dalam bahasa Jawa artinya “menggampar dengan meminjam tangan orang
lain”. Siapa lagi yang dimaksud kalau bukan SBY yang meminjam tangan
KPK? Lalu, dengan banyaknya politisi yang kini merapat ke Anas, mungkin
membisikkan/ memasok data-data baru tentang kebobrokan yang bisa
dibongkar Anas untuk cerita halaman-halaman berikutnya, tidakkah akan
sama saja, yaitu tangan Anas dipinjam orang lain untuk sekalin menabok
SBY?
Seperti kata pengamat politik Salim Said, Anas
telah membuat iklan besar untuk “buku”nya, dengan rangkaian kalimatnya
itu. Jadilah banyak orang yang bukan sekedar penasaran menunggu Anas
membuka halaman berikutnya dan membacakannya untuk seluruh rakyat
Indonesia, namun juga banyak politisi yang ingin ikut membantu
menuliskan halamn selanjutnya. Esensinya, apa yang dilakukan Nazaruddin
dan Rizal Mallarangeng demi kakaknya Andi, sama saja dengan apa yang
dilakukan Anas sekarang, hanya saja magnitude Anas lebih besar.
Saya tidak menafikan bahwa proses penetapan Anas
menjadi tersangka memang tak steril dari intervensi politik. Bocornya
Sprindik bisa jadi indikasi itu. Karenanya, KPK harus berbenah, bila
perlu, biarkan Kepolisian yang menyidiknya. Jika sudah diketahui siapa
unsur pimpinan KPK yang coba-coba main mata dengan kekuasaan, siapa yang
mencoba menyodorkan Sprindik tanpa gelar perkara, selayaknya disanksi
dengan tegas, bila perlu dinon-aktifkan karena telah melacurkan
independensi KPK pada tekanan kekuasaan.
Namun, kita juga tidak boleh mendadak dibutakan
oleh banyak kejanggalan menyangkut diri Anas selama ini dan tersihir
oleh iklan besar buku Anas, seolah Anas sosok yang tidak mungkin
bersalah dan pasti bersih. Saya sepakat dengan pendapat Mahfud MD, Ketua
MK yang juga Ketua Presidium Nasional KAHMI. Menurut dia,
tanpa adanya politisasi proses hukum apapun, Anas akan tetap ditetapkan
sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Ingat ya,
saya tidak sependapat dengan orang yang mengatakan kasus Anas itu
dipolitisi. Gak ada yang politis,” kata Mahfud saat ditemui di Pusat
Pendidikan Pancasila dan Konstitusi di Cisarua, Selasa, 26 Februari
2013. Ia menyatakan, secara tegas proses hukum terhadap Anas tetap harus
berjalan dengan semestinya. Menurut dia, orang yang sudah jelas
buktinya melakukan korupsi tidak boleh diampuni dan harus dihukum.
Proses hukumnya juga harus diberlakukan kepada siapa saja tanpa
memandang jabatan atau relasi tersangka. “Apakah Anas atau bukan, kalau
korupsi sikat saja. Negara kita mau ambruk: jadi jangan kalau teman
korupsi kemudian ditutupi,” kata Mahfud. (dikutip dari Tempo online)
Bukankah Anas juga perlu diminta menjelaskan dari
mana sumber kekayaannya yang luar biasa, rumah mewahnya, mobil-mobil
mewahnya, yang hanya dalam tempo singkat sejak keluar dari KPU dan
bergabung dengan Partai Demokrat, terutama sejak berbisnis dengan
Nazaruddin? Dulu, Polri mati-matian membela Irjen Pol. Djoko Susilo.
Kini, setelah KPK menyita 10 rumah mewah sang Jendral – secara tak
langsung diketahui pula istri-istri mudanya – para petinggi Polri pun
diam, tak ada lagi yang membela. Jadi, mari kita dorong KPK tetap
bekerja dijalur hukum, bersama-sama dengan PPATK menelusuri transaksi
para tersangka Hambalang. Kalau pun kita ingin mendengar Anas membacakan
halamn berikutnya, kita wait n see saja, seperti apa cerita itu. Jika
itu cerita lama yang ditulis ulang, patut kita pertanyakan kenapa dulu
Anas berperan sebaliknya ketika cerita itu dibacakan oleh pihak lain.
Selamat penasaran dengan halaman berikutnya!
catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer