Dulu ketika masih mahasiswa dan kost di sebuah
rumah kost khusus mahasiswi, saya dan teman-teman patungan berlangganan
koran demi memenuhi kebutuhan kami akan informasi. Sebagai arek-arek Suroboyo,
kami berlangganan Jawa Pos yang jadi koran terbesar di Surabaya.
Berhubung yang kost lebih dari 20 orang sedang korannya cuma satu,
membacanya harus bergantian. Mereka yangkuliah siang/sore, kebagian
giliran membaca pagi hari. Membacanya pun tak bisa dimonopoli 1 orang,
biasanya 3-4 orang baca koran bersamaan, yang satu pegang lembar yang
ini, yang lain membaca lembar berikutnya, dst. Kalau ada tulisan yang
bersambung ke halaman lain, terpaksa saling menunggu dan bertukar
halaman.
Kadangkala, ada yang agak kurang bertanggung jawab
urusan baca koran begini. Korannya di bawa ke dalam kamar dan lupa
dikeluarkan untuk diletakkan di tempat nongkrong bareng di samping
musholla. Akibatnya, mereka yang sedari pagi sampai sore kuliah dan
belum sempat baca koran, harus teriak-teriak menanyakan siapa yang bawa
koran hari itu. Sesibuk-sibuknya dengan urusan kuliah, rasanya ada yang
kurang kalau belum baca koran. Bukan soal beritanya, tapi ini soal
BONDET! Yang tak sempat baca pun biasanya sambil mengambil makanan di
dapur atau sambil melipat mukenah di musholla, minta diceritakan soal
kabar Bondet hari itu.
Siapa Bondet kok sampai segitunya bikin penasaran
penghuni kost?! Bondet hanyalah nama rekaan redaksi Jawa Pos. Waktu itu
ada rubrik “segar” yang sebenarnya kabar di rubrik itu adalah berita
nyata yang terjadi di masyarakat. Biasanya isi beritanya seputar
penipuan atau pencabulan bahkan konflik rumah tangga, dimana si korban
sangat percaya karena pelaku pandai meyakinkan korban melalui penampilan
atau bualannya. Kisah-kisah nyata “tak penting” inilah yang ditulis di
rubrik Bondet, dengan menyamarkan nama pelaku menjadi si Bondet. Dengan
gaya penulisan yang kocak, pembaca seolah sedang membaca dongeng bukan
kabar memprihatinkan.
Misalnya si Bondet yang berhasil memperdaya si
calon mertua dengan iming-iming akan membelikan ini-itu, atau akan
memberikan mas kawin berupa perhiasan. Sayangnya, tatkala anak gadisnya
yang cantik sudah diserahkan, si Bondet kabur dan melupakan janjinya.
Atau si Bondet pada awal berkenalan dengan gadis manis, dia mengenakan
pakaian aparat TNI atau Polri lengkap dengan tanda-tanda pangkat – yang
orang awam tak paham betul pangkat apa – lalu mengaku dinas di kesatuan
ANU dengan pangkat apalah. Ketika si gadis sudah terkiwir-kiwir, Bondet
merayunya hingga kegadisan diserahkan, ujung-ujungnya si Bondet kabur.
Sering pula kisah si Bondet mengaku masih perjaka tulen, ketika sigadis
sudah kepincut dan pesta pernikahan sudah digelar, datanglah istri sah
si Bondet membuyarkan segalanya. Begitulah kronika si Bondet yang
diakhir cerita selalu mengundang tawa sekaligus rasa kasihan pada si
korban yang karena keluguannya percaya begitu saja gombalan si Bondet.
Tadi pagi, saya baca berita di Yahoo,
George Soros – pialang ternama yang pernah bikin geger negara-negara
Asia dan dituduh penyebab krisis moneter di sejumlah negara Asia –
dituntut seorang gadis muda yang tak lain seorang artis Brasil, Adriana
Ferreyr. Soros diminta membayar ganti rugi US$ 50 juta lantaran
mengkhianati janji membelikan apartemen senilai US$ 1,9 juta. Janji
manis itu dilontarkan saat Soros masih mesra dengan Ferreyr, selama lima
tahun. Entah mungkin Soros kecantol yang lebih aduhay, Ferreyr pun
tersingkir pada 2010. Ketika itu, Ferreyr yang jelita itu berusia 27
tahun, sementara Soros sudah 80 tahun.
Setelah berpaling ke lain hati, janji membelikan
apartemen pun diingkari. Ferreyr pun berang, gugatan pun melayang.
Akhirnya Soros dan Ferreyr salin g tuding soal melakukan kekerasan fisik
dan saling menyakiti. Tapi bagi Soros, “ini hanya soal uang dan
apartemen.” Bukannya merealisasikan janji gombalnya, Soros malah
memutuskan bertunangan dengan wanita berusia 40 tahun, Tamiko Bolton.
Danseperti dilansir New York Post, Bolton-lah yang dibelikan apartemen. Bisa dibayangkan seperti apa sebalnya Ferreyr.
Usai membaca berita itu, saya tak bisa menahan tawa
dan ingatan saya langsung melayang ke Bondet. Ternyata, sosok super
sukses dan multi milyarder sekaliber Soros pun bisa berkelakuan seperti
Bondet. Mengobral janji manis pada gadis muda jelita, ketika sudah
menikmati manisnya, sepah dibuang dan janji manis pun tinggal janji
gombal belaka. Bedanya cuma status sosial. Tokoh-tokoh Bondet di Jawa
Pos umumnya dari kalangan masyarakat kelas menengah bawah, level
pendidikannya tak tinggi apalagi kemampuan finasialnya. Itu makanya dia
mem-bondet-in korbannya karena ogah keluar modal. Kalo bisa dapet gratisan, ngapain kudu berbayar?
Lalu, apa hubungannya dengan Irjen Djoko Susilo?
Jendral Polisi berbintang dua ini memang tidak menipu korbannya dengan
ingkar janji membelikan barang-barang atau memberikan mas kawin. Justru
bapak yang satu ini tergolong royal, membagi-bagikan asset rumah dan
tanah serta tempat usaha, juga mobil mewah kepada istri-istrinya yang
masih muda kinyis-kinyis. Malah sang Jendral yang sudah berumur 48 tahun
(saat itu) berhasil menikahi seorang gadis umur 19 tahun penyabet gelar
Putri Solo, sampai-sampai sang putri rela mengundurkan diri dari
aktivitas Putri Solo dan tak melanjutkan ke jenjang Putri Indonesia,
demi menikah dengan pria yang usianya 29 tahun lebih tua darinya. Konon
kata sebuah majalah, mas kawinnya Rp. 15 milyar di tahun 2008! WOW!
Kesamaannya dengan Bondet : sama-sama suka
menyamarkan identitas, Irjen Djoko Susilo ketika menikahi istri-istrinya
resmi di KUA lho! Soalnya status beliau sudah di-LAJANG-kan dulu, jadi
semua istrinya statusnya “istri pertama”. Tak hanya
mengubah status jadi PERJAKA, kata Karni Ilyas di acara ILC semalam,
Irjen DS ini juga suka memanipulasi umurnya, dibikin 10 tahun lebih
muda. Mungkin pak Jendral tak sadar wajah dan rambut di kepalanya
berbicara lebih banyak ketimbang bilangan usia yang dikorupsi 10 tahun.
Bukan cuma pintar membohongi istri-istri mudanya
dengan mengubah status dan umur, Irjen Djoko juga pandai mengkadalin
instansinya yang di masyarakat justru terkesan “menakutkan” :
Kepolisian! Bukti, ketika ditanya kenapa Polri diam saja menyikapi
poligami Djoko Susilo yang jelas melanggar kode etik Kepolisian RI, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Polisi Boy Rafli Amar justru menjawab : “Kami belum menerima laporan dari istri pertamanya”.
Nah lho?! Ya jelas istri pertamanya juga gak bakalan berani melaporkan
suaminya. Memangnya mau kehilangan jatah warisan milyaran rupiah? Kalo
gadis-gadis muda itu saja dinikahi dengan mas kawin 15 milyar, apalagi
“ibunya anak-anak” yang sah, pasti uang tutup mulutnya lebih gede lagi.
Yah, ternyata se-level Jendral bintang dua atau
sekaya George Soros pun kelakuannya tak mau kalah dari Bondet. Tapi kalo
jendral yang berbondet ria, KPK-lah yang mengungkap. Kalo Bondet yang
di Jawa Pos biasanya berakhir digebukin massa atau dikeler ke kantor
Polsek, kalo Bondet berpangkat Jendral, Kapolri saja belum tentu berani
menindak. Bondet…, oooh… Bondet!
catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer