Pekan lalu saya menemui Marzuki Alie, Ketua DPR RI. Di meja ruang kerja tamunya terhidang Pempek, makanan khas Palembang. Ia mengajak makan. Belum sempat kami nikmati, obrolan langsung serius. Saya mengkonfirmasinya ihwal kalimat disampaikannya bagaimana kini di setiap daerah terjadi penjualan aset Sumber Daya Alam (SDA) besar-besaran, dan itu dominan illegal, dilakukan oknum pemerintah daerah.
Di program teve Indonesia Lawyer Club (ILCV) tveone, Marzuki menyebut laku itu juga terjadi di daerahnya di Sumatera Selatan. Di sebuah kabupaten, lahan Kuasa Pertambangan (KP) milik PT Bukit Asam (BA), serta-merta “diakali” beralih ke swasta, pelaku ke PT X. Oleh PT X, KP itu dijual lagi ke salah satu perusahaan pertambangan batubara terbesar di Indonesia seharga Rp 2,5 triliun oleh pejabat daerah. Marzuki mengingatkan sang pejabat dan pembeli. Namun apa lacur? Pembeli mengatakan sudah sesuai dengan ketentuan, dan pejabat daerah itu “membangkang” karena sudah banyak uang.
Uang memang power.
Di sebuah kabupaten di Kalimantan Timur, urusan menjual-jual KP ke investor itu, telah membuat lebih 80% kawasan penambangan menjadi milik asing. Pejabat daerah itu bisa membeli pesawat jet pribadi. Billboard-nya dipampang di bebeberap kota besar. Konon sang pejabat sudah pula ingin menjadi presiden. Namun celakanya kota di daerahnya jalanan rusak. Drainase dan sarana public hancur.
Dalam sistem politik saat ini segala-gala fulus mulus, kemuliaan ingin ditegakkan oleh sosok seperti Marzuki, ketua DPR RI, hanya bak laku menggantang asap, menggergaji angin. Kebenaran kalah, kemuliaan kalah, keberpihakan ke publik kalah.
Semua- semua, power adalah uang, persetan didapat dari cara-cara haram. Halal haram berpadu, berbaur. Termasuk dari menjual tanah tumpah darah yang seharusnya memberikan berkah untuk semua warga bangsa.
Belakangan saya berkesempetan berkeliling lagi. Setidaknya sudah 8 propinsi saya kunjungi. Terakhir Kamis dan Jumat kemarin, saya berada di Pangkal Pinang, Bangka. Bangka dan Belitung (Babel) adalah daerah penghasil timah dan 17 bahan tambang ikutannya. Sudah sejak dua abad silam timah di tambang di Babel, daerah itu jangankan sejahtera, sekadar bioskop kaliber 21 saja tak ada. Dokter-dokter kurang.
Kini di hamparan pantai Babel berarak tambang apung atau yang diistilahkan tambang inkonstitusional. Jumlahnya mencapai 6.000. Satunya berbiaya Rp 50 juta. Mereka menghisap pasir pantai, memisahkan timah dengan genset. Hal hasil pantai berwarna kopi susu. Karang rusak. Dan lebih mengenaskan, dominan penambangan itu, sejatinya illegal berada di KP PT Timah Tbk. Seperti lokasi saya simak bersama Vindyarto Purba di pantai Sampur, Bangka Tengah kemarin itu.
Alam tidak memberikan kesejahteran dan memuliakan peradaban kepada warganya,
Padahal khusus timah, kita adalah produsen nomor dua di dunia setelah Cina. Dan eksportir terbesar pertama. Anehnya Babel tetap kere. Saya pernah menulis, dari timah saja kita bis amebangun lebih dari 10 twin tower yang rubuh di New York itu.
Mengapa hal itu tak terjadi?
Kuncinya adalah pemimpin. Pemimpin yang siap kere, paham esensi value of money bukan volume of money. Bila pemimpin muncul itu adalah seperti sosok Jokowi Widodo, kini Gubernur Jakarta, maka ada harapan perubahan.
Karena itulah saya menabalkan diri, walaupun sangat paham segalanya fulus mulus, dan sangat tahu diri harus punya partai, tapi saya teguhkan hati dan tekad maju sebagai Calon Presiden (Capres) 2014. Alasan utama? Saya sudah menulis pada September 2012 Saya Presiden RI, sebagaimana di bawah ini. Alasan beriukutnya akan saya sambung di Aku Presiden RI bagian 3.
Iwan Piliang, Proklamator Re-install Indonesia
Aku Presiden RI
Entah mengapa tangan saya tergerak mendadak menulis judul tulisan ini. Dari segi latar, kemungkinan dan sebagainya, kalimat itu amatlah muskil. Saya tidak punya partai. Juga bukan pengurus, aktifis, partai. Apatah pula sosok bekerja di pemerintahan. Jauh. Saya hanya rutin saban hari belajar menulis, menghibahkan tulisan ke warga; bersungguh-sungguh, mencoba jernih dengan kekayaan hati, akal, budi. Mencoba takzim mengamalkan ajaran dosen ketika berkuliah di fakultas komunikasi era 80-an silam. Itu tok.
Di dalam kerusakan masif kepancasilaan hari ini, Indonesia dapat bangkit dari kemunduran peradaban. Hal itu berwujud, bila presiden dan keluarganya terlebih dahulu “menyiksa” dirinya sendiri.
Siksaan pertama bisa dianggap remah: ihwal tidur. Jika itu aku, mengacu ke
tajuk tulisan ini, sebagai presiden aku tidur di papan rata keras, beralaskan
kain. Sehingga aku merasakan betul bagaimana warga bangsa bernasib sama. Dengan pola tidur demikian, pastilah aku bukan presiden bungkuk, apalagi mau mebungkuk-bungkuk, terlebih ke asing.
Kedua, karena banyak pilihan bahan makanan pokok sehari-hari, bak saran Menteri perdagangan saat ini, Gita Wiryawan, berusaha memvariasikan asupan bahan pangan.
Aku tak masalah makan ganyong dengan sebutir rawit plus urap kacang panjanng berkelapa. Aku meminum air kelapa muda alami ciptaan Tuhan, memakan buah jeruk kampung, jeruk Bali, mengandung tinggi anti oksidan.
Aku menjaga semua yang melekat di badan bersih, wangi. Kaus kaki tidak bau, celana dalam juga, keringat cespleng. WC di rumah harum, singkat kata, bersih. Jika ada keluarga yang keringatnya bau, aku akan tuntaskan dengan banyak bedak ketek pilihan penghilang bau. Saluran air, got dekat rumahku bersih, tak ada air tersumbat, karena, konon surga di mana air mengalir.
Ketika berangkat ke kantor pun aku memakai mobil-mobil bekas yang masih sangat enak dinaiki. Cukup dengan foreider dua polisi masih manusia, bukan robot.
Pada lebaran ini aku dipinjami seorang kenalan baik, sebuah Mercedes Benz S 280 tahun 94 build-up, terawat. Konon mobil jenis itu dikendarai Doddy Alfayed dan Diana Spencer ketika bertubrukan dan mengantarkan mereka ke liang lahat. Dulu saya berangan-angan mengendarainya. Dan barulah tahun ini saya bisa nikmati, kendati bekas, tetap nyaman. Jadi tak perlu lagi beli mobil baru.
Sebagai presiden aku sangat yakin kendaraan-kendaran bekas Mercedes Benz Presiden RI masih banyak enak, baik, kinclong. Jika perlu sesekali naik bajaj ke kantor, bersepeda, bahkan berbecak, kenapa tidak? Pokoknya variatif, manca warna. Konon orang kreatif hidup berbanyak variasi, tidak monotoni. Sebab kreatifitas itu proses, urut-urutan peristiwa. Tidak ujug-ujug seseorang bisa kreatif. Bank data di hati dan kepala seirama selanggam menghasilkan nada kecerdasan.
Barulah aku membuat kebijakan.
Kebijakan pertama, indikasi polisi ngaco mencapai 70% di genggaman cukong, aku ajak para pimpinannya berkaca ke lubuk hatinya: bahwa kita ke dunia ini membangun peradaban bukan merusaknya. Kalian sudah berekening gajah sebagai polisi, silakan rela digeser oleh polisi muda bernurani menjadi polisi. Begitu juga di segenap jajaran TNI. Yang sudah sangat happy bergolf dengan rombongan cukong, silakan diteruskan, tapi relalah berganti posisi, kasih kesempatan perwira muda berbudi.
Kedua, saya “tembak” juga hati para jaksa di kejaksaan. Mereka selama ini, misalnya, terindikasi melindungi kepentingan bisnis cukong pengadaan buku nasional di proyek DAK, Diknas yang setidaknya Rp 10 triliun setahun itu, saya ingatkan kisah kematian. Ente mati hanya bawa kafan. Mungkin para jaksa itu sadar, dan legowo mundur diganti jaksa‐jaksa bersih. Kalau mereka ada yang ngotot, karena saya presiden, saya lukai hatinya, dengan “peluru” kekayaan hati saya, sehingga terkapar tak bisa lagi masuk kantor. Ini tak main-main. Sunguh-sungguh. Hanya presiden berkekayaan hatilah tegak, teguh.
Para pegawai pajak, terutama hakim‐hakim pengadilan pajak, akan saya gaji Rp 1 miliar perorang sebulan. Toh mereka di pusat hanya 48 orang. Tapi digenggaman mereka ini, indikasi penggelapan pajak lebih Rp 1.000 triliun tidakmereka urus. Angka nyata pada 2005 transfer pricing di bangsa ini Rp1.300 triliun dan pelakunya adalah dominan korporasi raksasa. Jika hakim itu bekerja benar, jika dapat membuktikan 30% saja, selamat Rp 390 triliun. Bagi saya, menara Eiffel di Paris itu murah, nilainya hanya Rp 1.083 trilun. Jika mau Indonesia bisa bangun setahun satu.
Bangsa ini amat kaya. Bisa dibuktikan dengan angka.
Makanya di bawah kepemimpinan saya pasti tak akan ada pengemis, tak akan ada joki 3-in-one di pusat-pusat jalan protocol Jakarta. Juga tak akan ada lagi pengiriman TKW ke luar negeri. Karena devisa yang kita peroleh setahun dari sana maksimum Rp 60 triliun. Kecil saja. Namun citra kita di luar, negeri babu yang mudah digauli. Lebih dari itu, sebagai presiden saya tak hanya malu kepada Tuhan, tetapi saya juga sangat malu kepada Zia Ul Haq, Pakistan, berani berkata kepada dunia, “Kami tak akan mengirim para perempuan kami bekerja ke luar negeri, karena kami yakin tidak mampu melindungi kehormatannya.”
Menghormati dan melindungi para perempuan, para wanita, ibu bangsa,
bagian sari pati peradaban. Maka, aku camkan ke anak‐anak bangsa yang duduk mulai dari playgroup. Satu berita perkoasaan saja, sudah mebuat aku lebih baik mundur jadi presiden. Bagitulah sebuah tekad, komitmen.
Para pendidik, guru, saya ingatkan kembali menjadi pendidik,
pengajar. Jangan pula latah mengikuti pola RSBI, cingkunek-cingkunek lain yang diimpor-impor. Jauh sebelum ada sistem pendidikan, bangsa ini telah melahirkan orang besar berpendidikan dasar. Mereka bersekolah ke negeri orang dengan landasan pendidikan dasar sekolah kampung, sekolah bambu bak kata Nagabonar di kisah film. Mereka berkecerdasan sosial. Tidak seperti hari ini, anak‐anak dikotakkan dalam homogenitas strata sosial, nilai pelajaran, yang menjadikan siswa asosial, alias bengak kecerdasan sosialnya.
Saya juga akan menutup badan‐badan Add hoc yang dibentuk selama
reformasi, tapi malfungsi.
Selanjutnya, saya akan gaul. Kendatipun saya dibarakade oleh Paspamres, saya bisa ada di tengah seniman dan budayawan yang cerdas-cerdas hatinya. Saya kongkow dengan mereka. Saya menyamar. Hal itu sudah biasa kok aku lakukan dalam verifikasi banyak kasus. He he
Dari situ aku bisa menegur hampir semua seniman lukis Indonesia, pah-poh pemahaman dasar anatomi gambarnya. Aku bilang ke mereka, kalian banyak ngaco. Makanya aku akan mengirim banyak seniman belajar ke luar negeri. Kalau lukis aku kirim ke Paris. Di saat saya memimpin, pasti akan berdiri museum lukisan terbesar di dunia mengalahi Luvre di Paris. Karena bahan dasar dan seniman Indonesia luar biasa. Juga dalam karya seni lain.
Lah wong, Bung Karno di jaman cetakan masih culun, mampu menggemparkan dunia dengan membuat buku kumpulan pelukis top Indonesia yang dikuratori Lee Man Foong. Kini jangankan buku hebat seperti itu dicetak, maaf, tertawa dulu aku, Presidennya bikin CD lagu yang dibantuin banyak orang.
Lebih dari itu semua, biar tak kepanjangan kata, karena aku juga tak mau panjang-panjang bertutur ke publik, to the point, jernih-jernih, taat kaedah ke pengertian dasar, tak bikin pengertian dasar sendiri seperti KPK bikin pengertian tentang etik. Ku akhiri saja, begini, sebagai presiden kalian bisa buktikan, aku tak meninggalkan harta bagi anak-anakku. Ia hanya aku sekolahkan sebisa dan semaksimal mungkin. Dan rumah yang aku punya pun akan kuhibahkan. Anak-anak mampu kok mencari harta dan penghidupannya sendiri.
Dan mengacu ke kalimat pernulis 7 Habit, Steven Covey, sosok yang aku kagumi juga, yang berpulang pas di hari Ulang tahunku 48, 16 Juli tahun ini - - dan 16 Juli tahun lalu ayahku meninggal - - pastilah catatan-catatan di atas akan diucapkan oleh orang yang pulang dari pusaraku setelah aku dimakamkan kelak.Covey mengajarkan menarik mudur apa yang ingin diucapkan pertama oleh orang lain di saat makam Anda telah ditutup
Mungkin saja banyak buku lahir setelah itu. Dan publik memperbincangkan di antaranya premis-premsi di atas
Karena, akulah Presiden RI itu.
catatan Iwan Piliang