Menarik sekali perang kata-2 antara Anas Urbaningrum dengan SBY atau Majelis Tinggi Partai Demokrat. Baik yang tersirat maupun tersurat,kata yang terucap dan tertulis menimbulkan spekulasi politik tingkat tinggi. Para pengamat politik juga cenderung berhati-hati dalam menyampaikan pendapatnya,sebab tidak mustahil apa yang disampaikan baik oleh Anas maupun SBY hanya pemanasan saja,yang mana ujungnya bisa saja “damai tapi gersang”. Kenapa bisa damai tetapi gersang..? Mari melihat ulasan dibawah ini.
Menyimak apa yang terjadi sekarang,tentu tidak dilepaskan dari peristiwa-2 awal yang terjadi pada saat penetapan Muhammad Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Pertemuan Nazar dengan SBY,dkk di Cikeas serta pernyataan-2nya sebelum melarikan diri ke Singapura dan seterusnya hingga kemudian tertangkap di tempat pelariannya,di deportasi ke Indonesia…Semuanya mengarah kepada permainan “billyard politik” tingkat tinggi. Benarkah Nazar sedang “menembak” Anas….?
Masyarakat cenderung berprasangka negatif terhadap Eddy Baskoro “Ibas” Yudoyono….Prasangka negatif itu adalah bahwa tidak mungkin Ibas tidak mengetahui dan menerima aliran dana korupsi Proyek-2 yang dikerjakan oleh Nazaruddin,dkk. Kenapa masyarakat berprasangka negatif…? Sebab pada awalnya Nazar menyebut keterlibatan Ibas,tetapi kemudian sepertinya berusaha “menahan diri” setelah bertemu dengan Sutan Bhatoegana,dkk di Singapura (pertemuan yang awalnya disangkal dan kemudian malu-malu diakui)
Setelah pertemuan di Singapura itulah Nazar seperti “kesurupan” untuk mendongkel Anas Urbaningrum. Apapun yang diucapkan selalu diarahkan kepada keterlibatan Anas,sesuatu yang tidak pernah terjadi sewaktu dirinya masih belum melarikan diri. Inilah yang kemudian menjadi ilmu gatuk masyarakat di Obrolan-2 warung kopi. Tembakan Nazar ke Anas sebenarnya untuk menggembosi Partai Demokrat yang telah memecat Nazar. Dan ternyata tembakan jitu Nazar mampu membuat elektabilitas PD terperosok. Tetapi sudah cukup puaskah Nazar menghabisi Anas…?
Menurut pengamatan politik,sepertinya Nazar sedang bermain “bilyard” ….Bola yang ditembakkan ke Anas telah berhasil mementalkan Anas menjadi tersangka korupsi,namun bola itu ternyata tidak masuk,tetapi sekarang sedang berjalan mengarah ke Partai Demokrat. Siapa yang dimaksud? Simak saja kata-2 Anas,bahwa dia ibarat bayi yang tidak dikehendaki pada saat pemilihan Ketua Umum PD di Bandung tahun 2009 yang lalu,juga pernyataan SBY yang mengatakan bahwa Anas diminta fokus kepada masalah hukum yang sedang dihadapi membuat diri Anas seperti sudah menjadi tersangka korupsi.
Perlawanan Anas ke SBY,dkk inilah yang sebenarnya sangat diinginkan oleh Nazar. Balas dendam politik Nazar atas pemecatan dirinya oleh SBY,dkk terbayar lunas. Namun,kalau perlawanan Anas diteruskan tak mustahil bola panas yang menggelinding akan menembak Ibas,dll. Kalau sudah sampai disini,beranikah SBY menantang balik Anas seperti yang dilakukannya kepada Nazar…? Publik ragu kalau SBY berani menantang Anas,hal itu bisa dilihat dari 7 poin pernyataan Majelis Tinggi merespon pernyataan Anas.
7 poin Pernyataan Majelis Tinggi terlihat “ngeper” alias “ketakutan”….semua yang disampaikan oleh Anas dibalikkan ke KPK untuk menjawabnya. Itulah ketakutan pertama yang terlihat di depan publik.
Oleh karena itu,publik meyakini,bahwa perang kata-2 Anas vs SBY akan berakhir “damai tapi gersang” ; Menyelamatkan Partai Demokrat berarti pula menyelamatkan keluarga Cikeas yang terlibat korupsi,begitu kira-2 yang dipersepsikan publik saat kini. Publik masih meyakini bahwa tuduhan-2 korupsi yang mengarah ke keluarga Cikeas sampai sekarang masih belum dituntaskan,seperti pemberitaan di koran Australia,buku-2 yang dikarang oleh George Aditjondro,dan pemberitaan di media tentang bisnis Ibas,dll ; Bukankah itu sendiri sudah membuat “ngeri-ngeri sedap” SBY dan keluarganya…?
Kalau Anas mau buka lembar demi lembar halaman yang disampaikannya,sanggupkah SBY membaca atau mendengarnya…? Rasanya damai tapi gersang jauh lebih baik daripada berseteru dengan Anas.
Kali ini nyali sang Jenderal SBY benar-2 diuji….!
catatan Mania Telo Freedom Writers Kompasianer