Lebih dari 3 dasawarsa yang lalu, ketika saya masih
anak-anak dan tinggal di kota kecil Bondowoso, tiap Selasa pagi saya
suka berdiri di depan halaman rumah menunggu sapi lewat. Sebuah kota
kecil di tahun ’70-an umumnya hanya punya satu hari pasar besar. Pasar
Selasa-an, sebutannya, saat dimana para “blantik” sapi membawa sapinya
ke pasar untuk diperdagangkan. Bukan sapinya yang menarik perhatian
anak-anak seusia saya. Tapi genta kecil yang menggelantung di leher sapi
dan berbunyi tiap kali sapi melangkah. Kami menyebutnya “klenengan sapi”.
Ketika saya dewasa dan tinggal di Surabaya, terkadang, jauh tengah malam bahkan jelang dini hari, sesekali saya mendengar klenengan
sapi itu berdenting lewat depan rumah kost saya. Esok paginya biasanya
saya temui rumput-rumput yang berjatuhan dari pedati yang ditarik sapi
semalam. Kota metropolitan seperti Surabaya tentu tak ramah bagi
kendaraan pedati yang ditarik sapi. Itu sebabnya sapi-sapi itu lewat
tengah kota setelah warga kota larut dalam lelap. Kini, pasca pindah ke
Banten, saya bahkan tak pernah lagi mendengar denting genta sapi. Rabu
malam kemarin, tiba-tiba genta itu berdentang keras sekali, membuat saya
terperanjat. Bukan hanya saya, sebagian besar bangsa ini pun
terkaget-kaget mendengar “genta sapi” itu.
========================================
Dalam beberapa kesempatan saya “bersentuhan” dengan kader PKS di tingkat grass root, harus diakui bahwa mereka memang sangat tinggi militansi dan loyalitasnya pada partai. Bahkan sudah mengarah pada fanatisme buta. Pernah suatu kali salah seorang teman FB saya men-share sebuah link
berita – kejadiannya sudah beberapa tahun lalu – tentang PKS. Link
tersebut kemudian mengundang banyak komentar dari teman-temannya yang
kebanyakan memberikan persetujuannya atas isi berita dalam link itu.
Namun ada salah seorang temannya teman FB saya yang berkomentar
sebaliknya : membela PKS. Si pembela – seorang wanita – bahkan dengan
penuh semangat menjawab semua komentar yang ada di sana.
Ketika saya baca, yang berkomentar sudah banyak
sekali. Saya pun ikut nimbrung karena tertarik dengan jawaban dan
argumen si wanita yang membela membabi buta itu. Menariknya : apapun
yang disampaikan komentator lainnya, ia tak mau mendengar. Alih-alih
memberikan jawaban yang memuaskan, ia justru berulangkali menegaskan
bahwa ia tak mau mendengar informasi negatif dari luar. “Saya hanya
percaya saja pada apa kata murabbi saya”, tegasnya. Meski
banyak komentator yang memberikan kesaksian atau cerita seputar perilaku
politik para kader PKS di DPRD mereka, si wanita ini tetap tak mau
mendengar. Ketika ada yang memberikan contoh tentang sepak terjang elite
politik dan keputusan/kebijakan PKS di level nasional, si wanita
memilih untuk tak menjawabnya – yang saya duga karena ia memang tak
punya wawasan soal itu – namun justru berargumen “biar saja orang mau
bilang apa, kita yang di bawah kan tidak tahu kebenarannya. Saya lebih
percaya apa yang dikatakan murabbi saya”.
Apa yang saya alami dalam diskusi di FB itu hanya satu contoh kecil saja. Tulisan Ilyani Sudardjat yang saya baca Jumat pagi kemarin, judulnya “Bu Jangan Kagum Sama PKS Lagi Ya”,
juga menyampaikan pengalaman yang sama : kader PKS di level bawah tak
pernah mau mendengar apapun info negatif dan keluhan orang lain tentang
politisi PKS. Mereka selalu membela membabi buta, meski tak tahu betul
faktanya seperti apa. Dipandang dari sisi internal partai, mungkin hal
ini baik karena kader tak mudah dipengaruhi. Tapi ada sisi negatifnya : taqlid buta membuat para kader jadi tak berani kritis. Informasi hanya top down.
Itu sebabnya setiap kritikan yang masuk, terutama jika menyangkut elite
politiknya, langsung ditolak mentah-mentah oleh para kader di bawah. Informasi negatif dinafikan dan dianggap hanya fitnah semata. Seolah elite partai adalah insan tak tersentuh yang immun, tidak mungkin melakukan kesalahan. Bahkan bagi mereka yang well educated
dan melek internet sekalipun, hal seperti ini juga terjadi. Terbukti
dari pengalaman Ilyani menerima bertubi-tubi email yang membela PKS
membabi buta setelah ia menulis kritik tentang PKS.
Sejak aktif berkompasiana, saya menemukan fakta
yang sama dari akun-akun milik pendukung PKS dalam tulisan atau komentar
mereka. Info yang dijadikan landasan hanya versi mereka sendiri.Mereka
cenderung menolak informasi dari media mainstream. Itu sebabnya tak heran jika Kompasianer AS dengan haqqul yaqin
menyatakan pasangan Hidayat–Didik akan memenangkan Pilgub DKI cukup
hanya satu putaran saja dengan raihan suara 65%. Fantastis sekali!
Padahal, kalau soal polling melalui internet, kader PKS jagonya dan bisa
dikerahkan untuk aktif berpartisipasi. Kebetulan pasca pendaftaran
Hidayat–Didik ke KPUD DKI, ada salah seorang teman yang memasukkan saya
ke Grup FB dukungan Hidayat–Didik. Saya pun tak menolak dan tidak keluar
dari Grup FB tersebut, karena justru dari sana saya bisa mengamati
jalannya diskusi antara mereka, termasuk ajakan meramaikan berbagai
polling di beberapa media. Inilah dampak negatif hanya percaya pada info
yang menyenangkan selera mereka saja : tidak siap menghadapi kenyataan
hanya bisa mengumpulkan suara 11%, jauh dari perolehan suara Pemilu di
dapil DKI yang 20% dan lebih jauh lagi dari target perolehan suara
Pilgub DKI.
Kini, pasca penetapan LHI menjadi TSK oleh KPK, reaksi serupa : denied,
bisa kita temukan dalam sejumlah tulisan dan komentar. Bahkan ada yang
secara ekstrim menulis KPK tak perlu repot-repot mengerahkan penyidik,
toh hanya akan menemukan uang semilyar saja. Kalaupun nanti LHI terbukti
menerima suap, itu kecil, hanya semilyar, tak akan mempengaruhi citra
bersih PKS. Beberapa bagian tulisan itu saya copas pada tulisan saya sebelumnya.
Ada juga yang tidak terima atas persepsi publik.
Bahkan kemudian mengecam yang membicarakan issu tersebut sebagai
menggunjing, fitnah dan sebagainya. Menjadi aneh karena ketika
berbulan-bulan selama hampir 2 tahun tulisan di Kompasiana didominasi
oleh “gunjingan” soal kader-kader Partai Demokrat, tak seorang pun yang
terpanggil untuk bertausiyah agar publik tidak membincangkan issu itu.
Juga ketika banyak tulisan membahas kasus korupsi pengadaan Al Qur’an
oleh kader Golkar atau dana PPID oleh kader PAN, tak ada himbauan yang
mengajak agar para penulis di Kompasiana jangan dulu menulis soal itu
sebelum ada kepastian hukum. Lalu kenapa ketika yang jadi TSK kader PKS,
publik tidak boleh berpersepsi?
Mungkin hanya tulisan Kompasianer Aulia Gurdi saja yang secara jujur menulis kesan dan pendapatnya sebagai mantan kader PKS,
yang ditulis secara rasional dan proporsional. Selama ini memang Mbak
Aulia Gurdi tidak pernah melibatkan diri dalam adu argumen membela PKS
dalam berbagai tulisan, namun ketika terjadi kasus yang menimpa LHI,
beliau menyampaikan suara hatinya sebagai kader yang merasa perjuangan
kader di level bawah tercederai oleh perilaku politik elitenya. Memang
benar apa yang beliau tulis, yang paling terpukul dalam kasus ini tentu
mereka yang berada di grass root, yang selama ini berjuang
dengan tulis ikhlas dan merogoh kocek pribadi demi membantu perjuangan
partai, namun kini mereka pula yang harus menerima cibiran masyarakat
dan tak tahu harus bagaimana menjelaskan kepada konstituen yang pernah
diajak memilih PKS. Kader di grass root belum tentu sepintar para
elitenya bersilat lidah di media massa, bukan?
DEFENSE MECHANISM ALA ANIS MATTA YANG JADI BLUNDER
Kalau apa yang ditulis di atas itu hanya sikap kader militan di level grass root,
bagaimana dengan sikap para petinggi PKS? Kamis, ketika menyampaikan
pernyataan pengunduran dirinya, LHI masih beretorika soal target
pemenangan Pileg 2014 yang akan menjadikan PKS parpol terbesar ketiga.
Seolah beliau menafikan fakta bahwa besarnya suara PKS tak bisa hanya
mengandalkan kader militannya saja. Pilgub DKI tak cukupkah menjadi pelajaran? Tidakkah itu membukakan mata PKS bahwa besarnya perolehan suara PKS dalam Pileg 2004 di DKI ternyata disokong oleh swinging voters yang pada saat itu
menjatuhkan pilihan pada PKS karena dalam penilaian mereka PKS-lah
partai yang layak dipilih. Namun seiring berjalannya waktu, setiap sikap
politik PKS menjadi penilaian publik. Politik sejatinya dalah persepsi publik. Masyarakat tak akan menunggu sampai selesainya proses hukum untuk menjatuhkan penilaian mereka. Persepsi
publik tidak bisa diadili, sebab sejatinya persepsi publik itu
sendirilah yang menjadi pengadilan yang memberikan sanksi sosial.
Malam harinya, ustadz Hidayat Nur Wahid
diwawancarai oleh sebuah stasiun TV berita. Dalam forum itu hadir pula
pengamta politik Burhanuddin Muhtadi. Saya tak terlalu detil mendengar
semua argumen Pak HNW, hanya saja mungkin esensinya sama : hanya
berpikir soal partai bukan soal konstituen. Sehingga Burhanuddin
mempertanyakan : jika demikian statemen Pak HNW, dimana lalu posisi
konstituen, dimana rakyat pemilih? Kenapa yang dipikirkan hanya
kepentingan partai?
Jumat, pasca diumumkannya Anis Matta menjadi
Presiden PKS pengganti LHI, Anis langsung berpidato dengan menggebu-gebu
dia menyeru : “Yang dihadapi PKS hari ini adalah sebuah konspirasi besar yang bertujuan akan menghancurkan bangsa ini!”
Bahkan ada perumpamaan “membangunkan macan tidur”. Kemudian disambut
tepuk riuh pendukungnya yang datang ke kantor DPP PKS. Lebih lanjut ia
mengingatkan bahwa mereka (kader PKS) saat ini sedang dijadikan
“target”. Ada juga statemen Anis Matta : “pemberantasan korupsi yang tiran!”.
Saya tak menyangka kalimat-kalimat seperti ini yang akan keluar dari
Presiden baru PKS. Alih-alih mengajak semua kader introspeksi, malah
menudingkan tulunjuknya keluar dan menuduh tanpa jelas kemana alamatnya
dan lebih parah lagi tanpa bukti!
Tidak sadarkah Anis apa dampak dari orasinya yang
bak Bung Karno ketika membangkitkan nasionalisme menyeru rakyat
Indonesia agar “Ganyang Malaysia, antek nekolim!” itu? Sejak Jumat
malam, saya perhatikan bunyi kicauan twitter yang masuk ke media TV dari
pendukung PKS, isinya nyaris sama : konspirasi! KPK ikut dalam arus konspirasi politik!
KPK menjadi alat politik PD! Nah lho, sebuah tuduhan membabi buta tanpa
bukti bukan? Bukankah ini lalu membuat sentimen negatif pada upaya
pemberantasan korupsi oleh KPK? Seolah KPK lah yang kini jadi musuh.
Sementara di sisi lain, kicauan twitter yang sama
dari pihak yang tidak mendukung PKS justru makin menunjukkan antipati
publik karena sikap PKS yang tidak mau introspeksi tapi malah menuduh
pihak luar. Ya, orasi Anis Matta telah sangat efektif membuat kristalisasi dalam 2 kutub : yang taqlid makin membabi buta menuduh, yang swinging voters dan kritis makin antipati.
Saya mikir : apa bedanya reaksi defence mechanism
ala Anis Matta ini dengan hal serupa yang dilakukan oleh kader-kader
Partai Demokrat? Bukankah dulu Ruhut Sitompul juga sering berkata di
media massa bahwa badai yang melanda PD karena ulah mereka yang tidak
suka PD menjadi besar? Bukankah dulu Ramadhan Pohan juga pernah
mengeluarkan statement : “Ada Mr. A yang ingin mengobok-obok PD” yang
sampai kini Pohan gagal membuktikan siapa Mr. A itu. Bukankah dulu
Nazaruddin juga mati-matian mengelak kenal Mindo Rosalina Manullang
dalam jumpa pers-nya di kantor Fraksi PD, sampai kemudian di media massa
muncul foto Rosa bersama Neneng (istri Nazar) dalam sebuah pesta. Dulu
Polri pernah menuduh KPK ngawur karena ada berita miring tentang
Kabareskrimnya saat itu, Susno Duadji, sampai akhirnya KPK membuka
rekaman percakapan telepon Anggodo Widjoyo dengan beberapa pihak.
Anis boleh saja mengajak kadernya untuk “TOBAT
NASIONAL”, tapi retorika tobat nasional itu harus dibarengi dengan aksi
nyata. Bukankah tobat itu artinya mengakui kesalahan, menyesalinya
dengan sepenuh hati dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tak
mengulangi lagi? Kalau pertobatan itu dilakukan secara nasional, maka
yang harus tobat duluan para petinggi partai. Bukankah mandi besar itu
dimulai dengan menyiramkan air bersih dari atas kepala? Kader yang di
bawah sudah bersusah payah menjaga perilaku mereka, sudah menginfakkan
dana mereka dengan sukarela, sudah susah payah mengajak orang sekitarnya
memilih PKS. Jangan suguhi grass root denga issu konspirasi
yang mereka tak sanggup pertanggungjawabkan jika ditanya masyarakat :
konspirasi yang seperti apa maksudhnya? Konspirasi pihak mana?
Yusuf Supendi – ustadz sepuh pendiri PKS – telah
mencoba mengingatkan elite PKS. Namun alih-alih direspon dengan baik,
Yusuf Supendi justru balik dituduh memfitnah. Akhirnya, putus asa
mengingatkan baik-baik dari dalam, Yusuf Supendi kemudian melaporkan 3
petinggi PKS ke KPK (2 diantaranya LHI dan AM). Kalau sesepuhnya saja
tak didengar, saya tak heran jika kadernya di bawah juga tak mau
mendengar aspirasi dan masukan dari pihak luar. Kalau sudah begini,
siapa yang masih bisa mengingatkan PKS?
========================================
Belasan tahun lalu ketika Mario Teguh jadi
konsultan di Perusahaan tempat saya bekerja, saya pernah mendengar Pak
Mario menasehati kurang lebih begini : “Tuhan di atas sana telah
menyediakan genta yang akan berdenting ketika langkah kita sudah keluar
dari garis lurus. Mulanya genta itu berdenting pelan. Sebenarnya nurani
kita mendengar, tapi kita terus saja melangkah dan tak mau mendengarkan.
Lalu genta itu berdenting lagi, makin lama makin nyaring. Tapi karena
kita sudah terbiasa menutup telinga, maka kita tak mendengar lagi
denting genta itu. Sampai kemudian ketika dentangnya sudah memekakkan
telinga, kita tersadar sudah di tubur jurang”.
Catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer