Selasa petang, sebuah stasiun TV berita menayangkan
situasi terkini rumah Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum di
jalan Teluk Langsa, Duren Sawit. Seluruh bagian rumah itu kelilingnya
dipasangi tirai berukuran besar yang diberi pemberat agar tak tersingkap
saat diterpa angin. Kabarnya, tirai-tirai itu baru dipasang 1-2 hari
ini sejak Pak Beye “mengkudeta” Anas dan ia jadi buruan media. Dengan
dipasangnya tirai-tirai itu, pemburu berita tak bisa lagi mengintip
aktivitas orang yang ada di dalam rumah tersebut. Kalaupun ada bagian
rumah itu yang tak tertutup tirai – tampak di beranda belakang – namun
sejumlah orang berjaga-jaga siap menghalangi siapapun yang mencoba
membidikkan lensa tele-nya ke dalam rumah. Beranda belakang itu sudah
mirip dapur umum saja layaknya. Sebuah meja besar penuh dengan wadah
makanan untuk konsumsi para penjaga, justru jadi pemandangan yang bisa
diliput. Bukan suasana di dalam rumah.
Bukan soal berapa biaya membeli tirai-tirai itu,
bukan pula soal berapa uang yang dipakai membayar para penjaga, tapi ini
soal kenyamanan penghuni rumah. Apakah enak hidup seperti itu? Meski
rumah joglo besar dipenuhi 5 mobil mewah di garasi – ada Alphard,
Harrier, Land Cruiser, Velfire dan Camry, dikelilingi para penjaga, tapi
sesungguhnya para penghuninya telah kehilangan kebebasannya. Apa
nikmatnya dikelilingi barang-barang mewah tapi harus menutup diri dari
sekitarnya? Pagar seng nyaris setinggi atap rumah masih ditambah tirai.
Rumah saya tak kemasukan sinar matahari 2 hari saja – kalau ditinggal
pergi weekend – rasanya sudah pengab. Apa karena rumah saya kecil ya?
Tapi rumah besar dan mewah kalau tak bisa lagi bebas disusupi sinar
mentari, rasanya kehangatan dan keceriaan dalam rumah itupun kurang
lengkap.
Ingatan saya kembali ke masa-masa awal reformasi,
saat mula Anas ngetop sebagai Ketua Umum PB HMI. Pasca jatuhnya
Soeharto, layar kaca TV mulai kerap menyajikan diskusi dan dialog
politik. Anas pun laku jadi nara sumber dari satu stasiun TV ke stasiun
TV lain, meski saat itu belum ada TV berita. Sosoknya sangat sederhana,
namun menampakkan kapasitas intelektualitasnya. Ia pun direkrut masuk
dalam Tim Revisi UU Politik pada 1998, dan anggota tim seleksi parpol peserta Pemilu pada 1999.
Tak pernah terdengar kabar Anas bekerja sebagai seorang profesional
pada suatu instansi/perusahaan tertentu.
Pada 2001, Anas terpilih
menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk pelaksanaan Pemilu
Legislatif dan Pilpres 2004. KPU pertama yang digawangi oleh para
akademisi dan membawa harapan besar, dipimpin oleh mantan Rektor UI.
Anas jadi anggota termuda, saat itu usianya masih 32 tahun.
Sayangnya, KPU saat itu sedikit tercederai
dengan rumor kurang sedap terkait besarnya anggaran pengadaan kendaraan
dinas operasional para Komisioner KPU yang nilainya dianggap terlalu
besar. Memang kerja KPU saat itu relatif berat, karena untuk pertama
kali Pemilu digelar dengan mencoblos nama caleg serta untuk pertama kali
pula Pilpres dilaksanakan secara langsung. Jadi sebenarnya fasilitas
mobil dinas sekelas Kijang Innova saat itu relatif wajar, apalagi mobil
dinas itu statusnya pinjaman yang harus dikembalikan setelah tak lagi menjadi anggota KPU. Jadi bukan mobil dinas yang diberikan cuma-cuma.
Sayangnya, opini publik sudah terlanjur
memandang negatif pengadaan mobil dinas komisioner KPU. Maka, tampillah
Anas Urbaningrum dengan inisiatif pribadi ia menolak mobil dinas
tersebut. Kebetulan Anas mendapat jatah Mobil Kijang Krista, boleh
dibilang yang paling jelek dibanding Innova yang saat itu masih baru
keluar. Senin, 12 Januari 2004, Anas ke kantor KPU mengantarkan mobil dinas Toyota Soluna lawas yang sudah jadi kendaraan dinasnya sejak jadi anggota KPU, setelah sebelumnya ia juga mengembalikan Toyota Kijang Krista baru
yang menjadi jatahnya selama jadi komisioner KPU. Anas menjamin kinerja
sebagai anggota KPU tak akan turun meski tanpa fasilitas mobil dinas.
Kontan nama Anas jadi buah bibir media massa,
publik memuji kebersahajaan Anas dan idealismenya untuk tidak menerima
fasilitas, sekalipun hanya pinjaman. Alasan Anas mengembalikan mobil dinas KPU
saat itu : “Keputusan ini saya ambil demi ketenangan kerja saya,
keluarga dan ketenangan ibadah ibu saya yang saat ini sedang menunaikan
ibadah haji,” katanya. “Mudah-mudahan
dengan cara seperti ini bisa jadi pelajaran buat semuanya. Dan kita
dapat berfikir secara adil dan proporsional (dalam mengkritik)”,
kata Anas Urbaningrum, di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jl Imam
Bonjol, Jakarta Pusat, Jumat (9/1/2004). “Saya agak tersiksa selama dua
hari ini karena pemberitaan dan opini yang menurut saya agak
berlebihan. Karena situasi seperti ini, saya berpikir secara pribadi dan
bukan mencari popularitas serta pertimbangan lainnya akan berhenti
menggunakan kendaraan KPU”.
Tak sampai 1,5 tahun kemudian, Juni 2005, Anas menyatakan diri keluar dari KPU,
meninggalkan 3 rekannya yang masih tersisa : Ibu Chusnul Mar’iyah, Ibu
Valina Singka dan Pak Ramlan Surbakti. Komisioner KPU lainnya – termasuk
Ketua KPU – saat itu jadi terdakwa kasus “korupsi” pengadaan barang dan
jasa Pemilu dan Pilpres 2014.
Awal mulanya Mulyana W. Kusumah,
komisioner KPU tertangkap tangan KPK sedang berupaya menyuap auditor BPK
di sebuah hotel. Sebenarnya, nama Anas pun saat itu sempat disebut.
Tapi dengan lompat pagar ke Partai Demokrat yang sedang naik daun,
keterlibatan Anas tak pernah lagi disebut. Namun Anas menampik anggapan lari dari tanggungjawab hukum dalam kasus dugaan korupsi di KPU.
Di Demokrat-lah Anas berkenalan dengan Nazaruddin,
pengusaha muda kaya raya yang sukses. Anas yang ketika keluar dari KPU
masih dikenal sebagai sosok yang sederhana, sejak itu bermetamorfosis
menjadi pengusaha. Bersama Nazaruddin, Anas menjadi pemegang saham pada PT. Panahatan yang
berdasarkan data pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum
Kementerian Hukum dan Hak Azazi Manusia, SK Nomor
AHU-22783.AH.01.02.Tahun 2008 tanggal 5 Mei 2008, tercatat memiliki
35.000 lembar saham yang per lembarnya senilai Rp. 1 juta. Dengan kata
lain, Anas memiliki saham senilai Rp. 35 milyar, sama besar dengan Nazaruddin. Sedangkan M. Nasir – saudara Nazar – memiliki 30% saham senilai Rp. 30 milyar.
Berikut Akta PT. Panahatan yang bisa dilihat pada situs Viva disini.
Semua itu hanya kurang dari 3 tahun pasca Anas
keluar dari KPU dan menjadi salah satu Ketua di jajaran pengurus DPP
Partai Demokrat periode 2005 – 2010. Kelanjutannya, publik semua sudah
mendengar sejak Nazaruddin ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK pada
Mei 2011 lalu, namanya nyaris tak pernah sepi disebut oleh Nazar berikut
beberapa bukti yang dibeberkan Nazaruddin. Bahkan KPK menganggap kasus
suap mobil Harrier yang kini dimiliki Anas yang menurut Nazar diperoleh
dari fee proyek Hambalang, sudah dianggap terbukti (keterangan pimpinan
KPK Adnan Pandu Praja kemarin), hanya saja nilainya kurang dari 1
milyar.
Masih ada beberapa lagi ocehan Nazar yang
perlahan-lahan terbukti atau setidaknya dibenarkan pihak lain. Ketika
Nazar berceloteh soal bertebarannya uang dalam bentul rupiah dan USD di
arena Kongres PD di bandung pada Mei 2010, setidaknya ada beberapa DPC
yang membenarkan dan mengakui menerima uang, bahkan lengkap dengan bukti
box kemasan BlackBerry Gemini. Artnya ocehan Nazar bukan omong kosong.
Kini, setelah Andi Alifian Mallarangeng ditetapkan
jadi tersangka juga, Rizal Mallarangeng pun berkali-kali melakukan
konpers menyebut-nyebut peran dan keterlibatan Anas dalam proyek
Hambalang. Padahal, sebelum AAM jadi tersangka, mereka semua diam bahkan
menutupi keterlibatan Anas dan menyangkal keterangan Nazaruddin. Kini
semakin banyak yang ikut membebek keterangan Nazaruddin.
Betapa cepatnya waktu berlalu. Jika pada awal 2004
Anas mengembalikan mobil Kijang Krista dengan alasan demi ketenangan
dirinya, keluarganya dan ibunya, kini Anas justru tidak tenang dengan
mobil mewah yang dimilikinya. Meski berusaha tampil tenang, tapi
keresahan Anas terbukti sampai merasa perlu menutupi rumahnya dengan
tirai-tirai lebar meski bangunan rumahnya sudah tertutup seng warna
hijau. Kemana idealisme dan kesederhanaan Anas? Kenapa kini Anas tak
lagi merasa perlu mempertimbangkan ketenangan istrinya, anak-anaknya,
ibundanya di Blitar, mertuanya yang pemimpin pondok pesantren?
Kekayaan Anas yang mendadak menggelembung –
dibandingkan ketika masih jadi anggota KPU – memang begitu pesat
peningkatannya. Hanya pengusaha sukses yang bisa melipatgandakan harta
kekayaannya dalam waktu singkat. Padahal, Anas dalam berbagai kesempatan
mengaku tak pandai berbisnis. Ia hanyalah seorang politisi. Kalau
seorang politisi kekayaannya berlipatganda dalam waktu singkat,
kira-kira dari mana asalnya? Tanda tanya besar inilah yang membuat
masyarakat geram. Anas secara hukum memang masih orang bebas, statusnya
bukan tersangka apalagi terdakwa. Tapi di mata masyarakat, ia sudah jadi
terpidana. Betapa cepat waktu mengubah segalanya…!
Ctatatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer