Rasis dalam kamus umum bahasa Indonesia berarti
memperbedakan suku. Rasialis; mempertahankan perbedaan hak suku-suku
bangsa. Rasialisme; prasangka berdasarkan keturunan bangsa. Dan tulisan
ini tidak bermaksud rasialisme, namun mengungkap kenyataan sejati
menjadi perenungan, membuka mata hati, lantas keluar dari stigmanya, berangkat bersama-sama dengan plong membangun bangsa ini dalam arti riil.
Saya pun menabalkan tulisan ini karena isu-isu miring rasis di media sosial tensinya belakangan ini meninggi kembali. Maka mari simak catatan saya di bawah ini.
Syahdan pada 1978, sebuah kata bernama SARA, masuk ke dalam Undang-Undang (UU). SARA singkatan kata Suku,
Agama, Ras, Adat. Melalui kata sara, diharapkan anak bangsa ini tidak
lagi memperbedakan, mempertentangkan. Makanya jika masih ada yang
mengarah ke sana, UU siap melibas dengan hukuman penjara. Dan di era
pemerintahan Presiden Soeharto, cenderung represif, kita damai.
Mereka minoritas, khususnya dari suku
keturunan Tionghoa di Indonesia, seakan mendapatkan payung “keamanan”.
Ekonomi bergerak tumbuh. Lahirlah kemudian konglomerasi usaha mereka didominasi keturunan
Tionghoa. Mereka secara nyata, diharapkan oleh Presiden Soeharto dapat
melakukan yang namanya trickle down effect terhadap bergeraknya ekonomi.
Menciptakan lapangan kerja.
Di balik rasa aman itu, beragam kebijakan pun menggelontor. Kalangan keturunan Tionghoa di Indonesia dalam sejarah bangsa memang mendominasi ekonomi. Pada 1988 mereka me-lobby pemerintah, agar membuka usaha sektor perbankan bagi swasta. Bank ibarat jantung bisnis. Uang darah. Maka lahirlah Kebijakan Oktober 1988, atau lebih dikenal dengan kebijakan Pakto 1988. Melalui kebijakan Pakto tersebut, pihak swasta boleh membuka bank dengan modal Rp 10 miliar sahaja.
Dua kebijakan di atas, saya istilahkan sebagai fase pertama dan kedua siklus
tameng rasis. Kita seakan tak boleh membicarakan SARA, RASIS, namun di
balik itu ada sesuatu terus bergerak, terus terjadi.
Apa yang bergerak dan terjadi?
Pemilik bank swasta dominan, memang pengusaha kalangan keturunan Tionghoa. Ada satu dua kelompok usaha
pengusaha pribumi seperti Bakrie dan satu badan dana pensiun perkebunan
mendirikan Agrobank. Pada kasus Agrobank, saya secara pribadi terlibat
dalam jasa mempromosikannya awal dibuka.
Dominasi memiliki bank swasta itu tak dipungkiri pula dominan mereka
terindikasi tajam melakukan perbuatan tercela. Mereka melanggar
ketentuan batas maksimum pemberian kredit ke kelompok usaha sendiri
(Legal Lending Limit), mereka melabrak namanya ketentuan Capital Adequacy Ratio (CAR).
Melalui lobby signifikan cigin, pada 1989, pemerintah menetapkan batas pendirian bank menjadi Rp 50 miliar. Angka ini jelas memperbesar angka pemberian kredit ke grup usaha sendiri makin besar. Akibatnya jika ada pengusaha lokal berminat
mendirikan bank kian tak terjamah lagi. Mereka nan kadung tambun karena
kucuran kredit bank pemerintah plus bank milik sendiri tanpa
peduli acuan batas ke grup sendiri itu, telah melahirkan konglomerasi
pengusaha keturunan Tionghoa. Hal ini signifikan terjadi di pusat, dan
ditingkat daerah mereka dalam skala lebih kecil memiliki lobby kuat ke pejabat bank pemerintah.
Dalam operasional perbankan pengusaha keturunan Tionghoa ini, tak dipungkiri, jika ada kendala-kendala kalah kliring sedikit, mereka punya lobby ke pemerintah berkuasa kala itu, Bank Indonesia memberikan kelonggaran sahaja.
Di balik dua fase itu, perubahan drastic terjadi terhadap
sistem perbankan kita: Bank pemerintah tidak lagi boleh menjadi agent
of development, agen pembangunan. Melalui ketentuan dibuat oleh Bank
Indonesia, semua bank sama, tak beda. Tidak ada lagi keberpihakan
memberikan alokasi kredit ke pengusaha lokal, pribumi, untuk tumbuh dari
kecil ke menengah, menengah lalu besar. Semua sama. Akibatnya
saya tak bisa lagi menyaksikan bagaimana Alm Omar Abdalla, Dirut Bank
Bami Daya (BBD), kini Bank Mandiri, kala 1986 di lobby BBD di Jl. Imam
Bonjol, Jakarta Pusat, menyapa seorang pengusaha muda.
“ Kamu mau kredit Rp 25 miliar?”
Pengusaha muda itu bilang begini, “Gue mau Rp 50 miliar Pak. Bunga kecil ya? Pakai kata gue lho!
“Ya Sudah, besok staf ke kantormu,” ujar Omar, saya simak kala itu.
Era bunga murah dan bank berpihak kini itu lenyap.
Keberpihakan ke pengusaha pribumi seakan sirna. Uang sebagai
darah berusaha kian sulit didapat pengusaha lokal, apalagi dominan dari
mereka yang mau berusaha, gigih bekerja tapi tak memiliki lobby ke
perbankan. Bahkan tak memiliki bank, apatah bisa sulit menjadi
konglomerat?
Pesta dua fase di atas, memberi output kemudian
banyak konglomerat masuk Industri. Mereka pun kemudian mendorong yang
namanya pasar modal Indonesia tumbuh. Pesta go public, mendapat uang murah dari pasar modal mereka nikmati seiring alokasi kredit kian gemuruh sahaja.
Hingga kita memasuki fase ketiga menjelang 1998. Ekonomi diistilahkan memanas. Akibat utama banyak dari konglomerat masuk ke binis property yang kembali modalnya jangka panjang namun disuntik modal pinjaman dominan jangka pendek dengan bunga tinggi. Tak dipungkiri p[injaman dari bank lopkal itu juga diputar di luar negeri.
Kita menyimak kemudian masuk fase tameng rasis, era ketiga, kerusahan Mei 1998.
Kala itu berita dan isu penjarahan terhadap
keluarga keturunan Tionghoa tinggi. Bahkan hingga kini berkembang isu
perkosaan sadis. Dalam verifikasi, saya belum menemukan satupun keluarga
keturunan Tionghoa diperkosa. Namun
ketika saya memverifikasi kasus pemubunuhan mahasiswa Indonesia di NTU,
Singapura ( David Hartanto, keturunan Tionghoa), saya mendapatkan dari
seorang mahasiwi Indonesia sudah master di NTU.
Ia mengaku dikirim
keluarga ke Singapura untuk menghindari kekerasan dan ketakutan isu
perkosaan. Begitu saya tanya adakah keluarganya mengalami, sosok itu
menjawab tidak. Namun pelecehan seks ada.
Pada fase ketiga tameng rasis ini, terjadilah pergantian rejim. Peristiwa besar terjadi. Bangsa
dan negara ini harus melakukan penyelamatan ekonomi. Negara membentuk
yang namanya Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Dominan yang harus
diselamatkan itu bank swasta, melanggar Legal Lending Limit (3L),
melabkrak CAR. Dominan mereka siapa? 80% dari mereka pengusaha keturunan Tionghoa yang di fase tameng rasis satu dan dua tadi. Di
format nasional nyata, dalam skala daerah juga terjadi, hanya angkanya
saja lebih kecil. Bayangkan negara harus memikul Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) tambun.
Catatan saya BLBI yang digelontorkan mencapai
Rp 900 triliun. Semua itu uang rakyat.
Ada jaminan asset yang ditahan BPPN, tapi
selalu ada akal mengangkanginya. Contoh industri ban Gajah Tunggal - -
di mana ketika go public saya sempat mensosialisasikannya - - pabriknya dan asetnya diuserahkan Sjamsul Nursalim ke BPPN, namun jaringan distribusi, lokal, apalagi insternasional dicekik oleh Sjamsul dari Singapura. Dicekik saya maksudkan, kekuasaan riil tetap ada ditangannya. Dengan pola seperti itu, bisa Anda bayangkan riil jaringan dan perputaran uang tetap di tangan mereka. Dengan kapitalisasi tambun yang sebagian sudah diseberangkan, lantas asset-asset BPPN kemudian hari dilego harga miring, pembelinya, ya, juga dominan mereka yang dibesarkan dengan fase tameng rasis tadi. Mereka menggunakan proxy (tangan)nama-nama baru, bahkan bendera lembaga capital hantu blau dari Hongkong, Cayman Island, misalnya. Mereka membeli assetnya di Indonesia kembali dengan murah.
Itulah fase ketiga.
Agar tak berpanjang kata, langusng
saja ke fase tameng rasis ke-4. Yakni 10 tahun keempat. Pada 2008 Era
reformasi. Reformasi bagi saya, adalah signifikan kudeta kedaulatan
bangsa. Apa dikatakan Bung Karno,”Berdaulat di bidang politik, berdikari
di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan,” sirna.
Tidak dipungkiri asing mempengaruhi pembuatan Undang-Undang. Kasus
signifikan pada pembuatan UU Migas, dimana badan seperti NDI, dibawah
USAID, secara terang-terangan membantu dana bagi penyusunannya.
Dalam masa reformasi pula dominan bank sawsta nasional yang dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa, beralih ke asing. Era
liberalisasi total football. Bank Indonesia dengan independensinya
selalu mengacu menyehatkan ekonomi, berpatokan kepada ketentuan bank
sentral dunia, dan bla-bla lain manut kabeh dengan IMF. Akibatnya bank
nasional yang semula sebutlah milik Aseng, beralih ke milik Asing, masuk
merambah pasar tradisonal bahkan. Contoh Bank D,
bunga banknya mencekik bak rentenir. Bank-bank demikian mendapatkan
keuntung tercepat di dunia, ya di Indonesia. Benar-benar pesta asing.
Pada fase ke-4 ini pula tak ada lagi yang namanya keberpihakan ke pengusaha lokal. Semua kredit perbankan consumer ke kredit motor, mobil, rumah, kredit tanpa agunan. Kredit modal kerja, apalagi investasi blas kabeh seakan tak boleh.
Sebaliknya modal ventura yang riil juga tak ada. Usaha-usaha
signifikan yang dilakukan kalangan muda baru, tidak mendapatkan oase
modal bak pengusaha muda di tahun 1986. Anak negeri ini seakan kian
kelas dua. Maka tidak heran bila tahun ini kita mendengar Indonesia mengimpor Singkong dari Cina. Dus, memang sulit bagi
orang biasa kebanyakan, biar punya lahan, tak bisa meminjam uang di
bank. Kalau pun bisa minjam seperti kredit tanpa agunan dengan bunga
sangat besar. Bandingkan bunga bank di Cina hari ini 7% untuk eksportir
dan kalau memang ekspor bunga 7% dikembalikan lagi oleh negara melalui
badan non bank.
Kini kita memasuki apa yang saya istilahkan menjelang fase tameng rasis ke-5
(1978, 1988, 1998, 2008, 2018). Kuat dugaan saya mereka keturunan
Tionghoa di Indonesia, akan berusaha mendudukkan presiden dari keturunan
Tionghoa pada 2019. Dengan kapitalisasi tambun, yang dibesarkan oleh
tumpah darah negeri ini, mereka dominan
memiliki capital memang sudah mulai bermain sejak 2004. Pada 2008
secara signifikan produk seperti Indomie berpolitik, pada 2009 dengan
tidak beretika memelesetkan jinglenya untuk SBY. Sermua pihak paham
siapa di belakang Salim, bagaimana sepak terjang dalam impor gandum dan
fasilitas yang diberikan di fase 1 hingga 4.
Dalam kontek menjelang fase 5 itu, saya sebagai
pribadi tidak menafikan setiap orang boleh menjadi presiden, Siapapun
dia bila Warga Negara Indonesia (WNI). Namun bila kita selalu menutup diri
bertameng dengan kata rasis seolah-olah tak boleh kita bahas, lalu
tameng itu dijadikan untuk “berpesta” mengikir belulang anak bangsa ini,
maka dalam kerangka inilah semua pihak saya himbau buka-bukaan. Kenapa
takut untuk dibahas, kenapa lalu yang mebahas dituding-tuding?
Menjelang fase kelima inilah tidak
saatnya kita saling menuding. Tetapi saling membuka diri.
Anda sudah
tambun dan kebetulan dominan keturunan Tionghoa, yang saya temui kini
sudah acap berkata uang tak mengenal negara. Anda tentu masih ingat
seorang Mahatir Muhammad, mantan Perdana Menteri Malaysia, pernah kok
secara terang-terangan meminta pihak keturunan Cina di Malaysia, untuk
rela memberi dukungan kepada penguasah bumipuetra, sehinga kejomplangan
ekonomi tidak terjadi, tidak ada pihak yang “dikikir” tulangnya.
Toh “pengikiran” tulang saya maksudkan itu, dominan memang secara angka terjadi
dari penggelapan pajak. Simak saja tulisan signifika saya ikhwal
transfer pricing. Pada 2005 saja penggelapan pajak pola transfer pricing
mencapai Rp 1.300 Triliun. Dan dominan dari pelaku terindikasi pengusaha asing, investor asing dan pengusaha keturunan Tionghoa.
Maka tidak berlebihan saya mengajak
Saudara-Saudara sebangsa dana setanah air untuk buka-bukaan. Kita tentu
tak mual balik ke era 1998, fase tameng rasis ketiga. Era kelam itu
harus kita jauhi. Namun fase sepuluh tahunan yang saya cermati, nyata
adanya di ranah kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Jadi tak
usahlah berkata jangan rasis, tetapi mari kite lebur cairkan kalimat itu
untuk bersama membuka hati, bekercedasan hati dan bekecerdsan sosial.
Dalam kerangka kecerdasan hati itu, pada sisi
humanisme, saya memverifikasi kasus pemnuhan David Hartanto di NTU,
Singapura. Kasus pembunuhan Aries, warga
Bali, di Singapura. Saya juga terdepan ikut meng-advokasi agar Kho Seng
Seng jangan dihukum, walau faktanya dia harus tetap juga dihukum denda
Rp 1miliar, hanya karena membuat surat pembaca di koran, dan cilakanya
dilakukan hukuman oleh kelompok
usaha keturunan Tionghoa juga yang benar-benar telah pesta dari
fase-fase saya sebutkan di atas. Karena itulah mari keluar dari tameng
kata rasis, kita bahas dengan kepala dingin. Yuk damai yuk, yuk
buka-bukan yuk demi Indonesia yang lebih baik.