Bagian pertama tulisan ini, telah mendapatkan tanggapan meriah di media sosial. Bambang Walujo Wahab, di twitter
mengatakan secara terbuka, ia bisa menambahkan lebih banyak lagi urusan
tipu itu. Beberapa kawan lantas memintanya menuliskan, tapi hingga bagian dua ini saya tulis belum terlihat jua.
Mohammad Hasin Adi, di Kompasiana, menyarankan melakukan konperensi pers terhadap premis saya tulis.
Ia katakan, “Siapa tahu Bapak Iwan bisa jadi pahlawan. Dan mudah-mudahan tidak
jadi pecundang. ”Bagi saya menulis bukan untuk menjadi pahlawan. Bukan
pula untuk mencetak uang. Tetapi saya konsisten taat kaedah kepada
ilmu yang diajarkan dosen saya di fakultas komunikasi. Komunikasi
menyampaikan pesan, landasannya akal, budi, hati nurani. Kalau
keberpihakannya, Bill Kovach dan Tom Rosentiel di buku The Element of
Journalism secara nyata dan jernih menuliskan: hanya kebenaran untuk
warga, lain tidak.
Ada juga tentu pembelaan kepada SBY. “SBY
dan Boediono mempermudah perinjinan impor alat tanam padi saya yang di
persulit oleh birokrat kementrian perdagangan. Maka di mata saya beliau
berdua adalah pemimpin yg baik dan hanya dirusak wibawanya oleh birokrat
busuk, DPR busuk dan LSM busuk, semoga kalian semua terbakar di neraka
karena mempersulit dan membohongi rakyat kecil, merongrong kekuasaan dan
wibawa pemerintah yang sah terpilih oleh rakyat,” tulis Cucun Wijaya, masih di Kompasiana.
Begitulah dinamika di media sosial. Setiap
orang dapat merespon secara interaktif setiap info kita tuliskan. Poin
utama saya selalu, perihal ini akan meningkatkan mutu peradaban jika semua
pihak terlibat di proses tanggap menanggap, tulis menulis, identitasnya
jelas, batang hidungnya nyata, sehingga komentar miring pun dapat dipertanggung-jawabkan.
Sebagaimana saya menulis, tentulah tidak asal njeplak. Semua saya paparkan berangkat dari sumber kredibel, verifikasi fakta di media, serta proses perjalanan menjadi jurnalis warga, bisa dibilang tidak singkat dengan volume tulisan dapat di-trace.
Dari semua dinamika itu, setelah dua hari tulisan bagian pertama saya upload, saya
menyimak di RCTI bahwa Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) RI, menyampaikan bahwa Boediono, sebagai Wapres, sudah bisa dilengserkan DPR, karena status kasus bail
out Bank Century sudah ditingkatkan penyidikannya oleh KPK. Menjadi
pertanyaan saya mengapa Samad mendorong DPR, bukankah wewenang KPK acap dikatakan super body? Begitu KPK menetapkan Boediono tersangka, maka seketika itu juga ia harus lengser. Dari kenyataan ini saya melihat tarik ulur, karena secara nyata memelorotkan kekuasaan SBY yang di tulisan 1 memang bergelimang tipu.
Melanjutkan bagian dua ini, ingin saya ingatkan Anda. Ihwal kampanye
presiden SBY di televisi pada 2009 lalu. Anda tentu mafhum jingle
Indomie. Di antara liriknya, “Dari Sabang sampai Merauke Indomie
seleraku.” Lirik asli itu telah dipelesetkan ujungnya menjadi ,”SBY
pilihanku.”
Sejak jingle pelesetan itu keluar saya tak
pernah menyimak ada badan independen atau semacam Komisi Penyiaran
menegur langkah itu. Semua seakan diam seribu basa. Bila tak keliru saya seakan bernyanyi sendiri di media sosial mengatakan bahwa Indomie
telah melakukan pelanggran etika nyata. Mengapa? Karena sebuah iklan
produk, mulai dari biaya produksinya, pembelian slot iklan media,
semuanya mereka bebankan ke total cost produksi produk. Itu artinya konsumen ikut memikul biaya. Sebuah jingle lalu dikenal, dibiayai semua rakyat sebagai pembeli itu produk.
Eh dengan semena-mena produk itu mengalihkan jingle top of mind itu untuk kepentingan seseorang menjadi presiden. Saya sangat percaya di
2009 itu pastilah tidak semua pemakan Indomie pendukung SBY. Namun
khalayak semuanya seakan sudah dikooptasi menyanyikan SBY pilihanku.
Di lain sisi perilaku kelompok usaha Salim di era silam melakukan
monopoli impor gandum. Kini walaupun dipecah-pecah unit usahanya, tetap
saja masih dalam satu atap usaha. Kapitalisasi dari “revolusi”
pangan warga ke mie instan telah membuat Indomie menjadi bagian utama
pemasukan Salim Grup. Setidaknya hingga Oktober di tahun
ini saja untung Indofood sudah mencapai Rp 14 triliun. Dengan
kapitalisasi tambun, kelompok usaha ini memang bisa saja menjadikan
seseorang presiden RI, apalagi pola politik kini segala-gala harus fulus
mulus.
Kembali ke SBY, dukungan seharusnya ia tolak, seperti pelesetan jingle
Indomie tidak ber-etik itu, dia nikmati saja. Bahkan dari informasi tim
komunikasi SBY kala 2009, SBY menikmati betul. SBY anggap sebagai
kampanye signifikan memenangkannya.
Bisa Anda bayangkan sensitifitas seorang kepala negara pilihan demikian?
Maka tidaklah salah bila kemudian sebagai presiden SBY melakukan banyak hal kontradiktif. Sebutlah contoh ia secara terang-gamblang mengkritik keras Foke, Mantan Gubernur DKI di forum rapat resmi gubernur, terbuka ke media. Tetapi ia pula kemudian menjagokan Foke kembali menjadi gubernur DKI.
Beberapa kali dalam pidatonya SBY mengkritik ortang yang tertidur mendengar pidatonya. Bahkan kanak-kanak tertidur pun tak lepas dari tegurannya. SBY
telah menghinakan jabatan presiden secara langusung, dengan mengkritik
kanak-kanak tertidur mendengar pidatonya, tanpa peduli ia harus
instropeksi diri, kepada siapa ia berpidato, di mana, untuk apa, premis
apa pas?
Maka dalam fakta dan kenyataan demikian, SBY
pun menjadi linglung. Ia memberikan saja grasi bagi tindak kejahatan
besar di bidang narkoba. Ia memberi dua grasi atas kejahatan narkoba di
tahun ini.
Bila sudah demikian; sudah tak tahu di mana ia berpidato sehingga
anak kecilpun harus dikritik dan tak paham narkoba adalah kejahatan
amat besar, dan bangsa serta negara ini kini sudah menjadi pasar nerkoba
terbesar: SBY memang linglung. Saya tak tahu kata apa yang harus
ditujukan kepadanya selain: mundur!
Tulisan ini akan belanjut ke bagian tiga, ihwal indikasi perannya di dalam monopoli pengadaan BBM di unit usaha Pertamina, Petral, bersama Hatta Rajasa. Sementara, ini saya naikkan dulu. Esok sebelum tutup tahun saya publish bagian tiga.