Minggu pagi kemarin, saya belanja ke pasar
tradisional. Niatnya cari kakap merah. Abang tukang sayur langganan tak
pernah bawa ikan jenis begini, sebab dia takmau spekulasi kalau tak laku
dibeli. Saya sedang berjalan menuju los ikan segar yang letaknya persis
setelah los daging ayam, ketika terdengar celotehan bersemangat seorang
ibu penjual : “Yang ini rasa ayam, yang ini rasa sapi” katanya. Saya
langsung menoleh ke kiri, memastikan saya tak salah dengar dan tak salah
lihat. Los daging ayam posisinya di sebelah kanan saya dan saya tepat
di depan ujung los daging ayam yang dipisahkan lorong selebar 1 meter
dengan los ikan segar. Si ibu yang saya dengar tadi ada di sisi kiri
saya. Lapaknya berisi aneka macam sayuran, cabe dan tomat.
Tangan si ibu menunjuk 2 kotak kayu berisi jamur
putih yang lebar-lebar. Saya tahu jamur itu sama dengan yang biasa
dibawa tukang sayur langganan. Sejak tadi di beberapa lapak penjual
sayur pun saya lihat jamur yang sama. Harganya murah banget, kalau tak
salah seplastik Rp. 2.500,00. Kata Bang Amin, tukang sayur langganan Ibu
saya, digoreng dengan tepung bumbu enak, kriuk-kriuk. Ibu saya pernah
beli untuk dimasak jadi campuran sop. Yang saya heran, si ibu penjual
sayuran tadi mempromosikan jamur jualannya berasa ayam dan sapi. Ahaaii!
Bukankah jamur itu tetumbuhan? Bagaimana sesuatu yang nabati bisa
berasa hewani sedangkan itu masih mentah?
Saya tersenyum sendiri. Hoax juga neh si ibu. Apa
jamurnya dipupuk pakai bubuk Roy** atau Sa**ku rasa ayam dan sapi, jadi
saat dipanen jamurnya berasa sesuai pupuknya? Saya lihat seorang ibu
muda yang mendengar celoteh ibu penjual sayur, kemudian membeli jamur
itu. Saya lanjutkan berjalan menuju los ikan segar, mencari penjual ikan
kakap merah. Sekilo kakap sudah di tangan, saya pun keluar dari los dan
melewati lapak ibu penjual sayur tadi. Seorang lelaki muda tampak
memborong jamur se-tas kresek penuh. Rupanya dia pembeli terakhir. Sebab
2 kotak kayu isi jamur itu sudah ludes. Wah, hebat juga strategi
promosi si ibu ini, dalam tempo beberapa menit jamur dagangannya laris
manis terjual.
Itulah fenomena taktik berjualan kebanyakan pedagang kita. Asal “ngecap”
meski tak masuk akal, tapi toh pembeli tanpa pikir panjang percaya saja
dan rela membeli. Bertemulah yang suka membohongi dengan yang mau
dibohongi. Tentu tak salah kalau pembeli memang membeli karena niatnya
akan memasak jamur, bukan karena tergiur rasa ayam atau sapi. Tapi kalau
kemudian dia berharap mendapatkan rasa ayam atau sapi dari jamur murah
itu, akankah si ibu penjual menjamin pembelinya akan benar-benar
mendapatkan rasa ayam dan sapi dari jamur jualannya?
“Berani Jujur Hebat”, tag kampanye yang sudah 2 tahun ini dipakai KPK. Kata Bambang Widjojanto kata-kata itu dipilih karena nilai kejujuran itulah yang kini hilang dari peradaban bangsa kita.
Kalau sering nonton tayangan Reportase Investigasi di Trans TV setiap
Sabtu dan Minggu sore – saya sendiri sudah lama tak menontonnya – sejak
beberapa tahun lalu, banyak sekali ditayangkan trik-trik curang para
pedagang. Ada beras yang diberi pemutih Bay***n agar pembeli mengira itu
beras kualitas bagus, ada penjual tempe yang dibuat dengan aneka
campuran kimiawi berbahaya agar kedelai kualitas buruk yang jadi bahan
bakunya bisa terlihat kuning rata dan cepat matang dalam semalam saja.
Belum lagi fenomena kecurangan yang dilakukan para
penjual makanan matang. Ada donat seribu perak yang digoreng dalam
minyak yang sudah dicelupi lilin agar permukaan donat tertutup, udara
tak bisa masuk, sehingga donat tetap terkihat menggelembung dan empuk
sampai sore.
Atau lumpia seribu perak yang kulitnya bercampur borax
sehingga kenyal. Ada juga penjual gorengan yang menggoreng tas-tas
kresek bekas dalam minyak yang akan dipakai menggoreng dagangannya, agar
gorengan terasa renyah kriuk-kriuk. Atau penjual gorengan yang membeli
minyak goreng bekas buangan dari restoran besar dan hotel-hotel
berbintang, yang harganya jelas jauh lebih murah. Ada pula penjual kue
yang membeli telur ayam pecah dari agen telur, padahal telur-telur pecah
itu tak disimpan di lemari pendingin, sehingga berbagai bakteri dan
serangga masuk. Tampak jelas lalat dan belatung bercampur dalam telur
yang kemudian dibuat jadi campuran kue jualannya. Ada nugget yang biasa
dijual sebagai jajanan anak SD berbahan baku ayam tiren alias ayam mati
kemaren. Atau pewarna berbahaya bagi tubuh manusia yang dipakai sebagai
pembuat rainbow cake, bahkan bukan hanya rainbow cake yang dijual di
pasar saja, tapi juga yang dijual di toko kue. Bahkan ayam bumbu kuning
yang banyak dijual ternyata bumbunya bukan kunyit melainkan obat kompres
luka luar semacam Ri**nol. Kaskus pernah membahasnya. Menjijikkan
bukan?
Itulah fenomena sebagian perilaku pedagang di
negeri ini, tidak semuanya memang. Demi mengejar untung besar dan
menghemat modal, apapun dilakukan meski membahayakan pembeli. Perilaku
mencurangi timbangan, menyembunyikan kecacatan barang, dll seolah sudah
menjadi trik yang berlaku umum. Saya teringat ketika di Jepang dulu saya
kerap membeli pisang harga diskon 50%. Biasanya pisang itu dikemas
dalam kantong plastik, karena sudah tak utuh 1 sisir. Saya pilih yang
hanya isi 3 buah saja. Saat sudah di depan kasir, selalau kasirnya akan
menanyakan : “Anda yakin akan membeli ini?”. Lalu dia menunjukkan
seluruh sisi pisang, dimana ada bagian yang menandakan pisang itu sudah
terlalu matang dan akan busuk 1-2 hari ke depan. Penjualnya meyakinkan
bahwa saya tak tertipu membeli buah hampir busuk meski harganya diskon.
Setelah saya jelaskan bahwa saya akan memakannya malam ini juga untuk
makan malam, barulah ia masukkan harganya ke mesin hitung. Jadi penjual
meyakinkan dulu pada pembeli bahwa ia membeli “barang setengah rusak”
karena itu harganya didiskon.
Lalu kenapa di masyarakat kita yang terjadi justru
sebaliknya?! Bukan hanya kecacatan barang yang disembunyikan, bahkan
kalau bisa barang kualitas buruk dijual dengan harga barang kualitas
baik. Kasus beras berpemutih atau tempe berpewarna adalah contohnya.
Boro-boro meyakinkan pembeli agar tak tertipu, disini pembeli justru
sering ditipu. Jamur biasa dikatakan berasa ayam dan sapi atau kue donat
digoreng bersama lilin atau cemilan yang digoreng dalam minyak yang
diberi plastik kresek, adalah sebagian contoh penipuan konsumen.
Entah apa yang sudah terjadi pada bangsa ini,
sampai-sampai kejujuran jadi barang langka. Sejak dari masyarakat kelas
bawah – penjual eceran di pasar tradisional – sampai pejabat negara,
seolah berlomba untuk tidak berlaku jujur. Mulai dari dunia perdagangan
sampai pendidikan diwarnai ketidakjujuran. Kita mungkin belum lupa
bagaimana guru dan Kepsek merencanakan, melatih dan mengindoktrinasikan
contek massal di sebuah sekolah di Surabaya tahun 2011 lalu. Ternyata
fenomena contek massal itu terjadi di beberapa kota dengan modus
beragam. Ada guru yang memberikan bocoran soal atau guru yang memandu
siswa mengerjakan soal ujian. Semua hanya demi “prestasi” dan predikat
sekolah. Kalau baik predikat kelulusan siswa, maka naiklah nilai tawar
sekolah dalam penerimaan siswa baru. Naik pula pemasukan sekolah dari
calon siswa. Uang! Ya, sebagian besar tujuan akhirnya memang uang.
Para orang tua jaman dulu mendidik anak-anak mereka dengan banyak larangan karena alasan pamali, ora elok.
Termasuk larangan dalam perilaku sehari-hari. Banyak larangan itu cukup
efektif dan tertanam kuat dalam benak anak-anak jaman dulu, terbawa
hingga mereka dewasa. Lalu kenapa tidak dihidupkan kembali dalam keluarga jaman modern ini : larangan untuk berperilaku tidak jujur?
Pamali berbohong, tipu-tipu, mencontek, dll. Kalau doktrin “jangan
makan daging babi karena itu haram” bisa begitu efektif diajarkan sejak
kecil, kenapa tidak dipraktekkan juga menjadi “jangan sekali-kali melakukan korupsi karena itu haram, sama dengan mencuri” atau bisa juga “jangan makan dari uang hasil korupsi, hasil mencuri, karena itu akan jadi daging busuk yang merusak badan dan pikiranmu”.
Mungkin saja sebagian keluarga jaman sekarang tidak
lagi mencoba menerapkan itu, karena kedua orang tua justru sudah
melupakan kehati-hatian soal halal dan haram dalam mencari rejeki yang
katanya “demi anak-anak”. Pedagang yang tidak jujur dan pejabat yang
korup sama-sama mencari nafkah dengan cara tidak jujur. Mereka sama-sama
menghidupi keluarganya dari sesuatu yang tidak halal, maka tak perlu
heran kalau anak-anak jaman sekarang susah diatur, sering melawan dan
membohongi orang tua dan gurunya, suka tawuran dan perilaku kekerasan
lainnya.
Jangan pernah menyepelekan soal makanan haram.
Makanan haram bukan sebatas yang mengandung lemak babi saja, pisang
rebus pun kalau dibeli dari uang hasil curian/penipuan sama haramnya.
Makanan masuk ke mulut, ke lambung, dicerna dan diolah, menjadi darah
dan daging, berubah jadi energi, merangsang otak berpikir dan hati
berkehendak. Itu sebabnya kalau sumber asupannya haram, tak perlu heran
jika energi yang keluar tersalur menjadi tawuran, malas berpikir dan
belajar, maunya instan saja : nyontek, serta kehendak hatinya pada
hal-hal negatif.
Jadi, seperti kata Bambang Widjojanto, kalau kita
ingin menghidupkan lagi nilai kejujuran dalam peradaban bangsa
Indonesia, mulailah dari keluarga. Suami jujur pada istri, tak ada
rekening/ uang “laki-laki” yang disembunyikan tanpa sepengetahuan istri.
Orang tua mencontohkan pada anak-anak tentang bagaimana jujur dan
amanah, anak tidak boleh ikut menikmati fasilitas jabatan bapaknya.
Hati-hati dalam mencari rejeki, lebih baik sedikit tapi halal ketimbang banyak tapi haram. Lebih baik naik sepeda onthel hasil keringat sendiri ketimbang naik mercy hasil korupsi.
Ini bukan tidak mungkin, tapi memang butuh tekad kuat. Agus Chaerudin, pria 35 tahun, seorang office boy di Bank Syariah Mandiri Bekasi, menemukan uang Rp. 100 juta
dibalik tempat sampah kantornya tanpa seorangpun mengetahuinya. Agus
bisa saja mengambilnya, gajinya sebagai OB kecil, ia masih tinggal
menumpang di rumah mertua, apalagi saat itu bulan Ramadhan, tentu uang
Rp. 100 juta sangat berarti baginya. Tapi Agus tak berani menyentuhnya, ia memilih mengembalikan uang itu ke kantornya. Ia merasa sudah cukup bersyukur diterima bekerja di sana. “Allah Maha Mengetahui, uang itu bukan hak saya”,
kata Agus saat diwawancara sebuah stasiun TV. Bapaknya yang juga
pegawai rendahan di sebuah bank, sejak kecil mendidik Agus untuk jujur.
Kalau saja semua orang tua menanamkan hal yang sama
seperti orang tua Agus Chaerudin, insya Allah tak akan lagi kita lihat
pemandangan memprihatinkan seorang Hakim Agung usia lanjut (70-an tahun)
dengan tertatih-tatih dipapah mendengarkan vonis dipecat tidak dengan
hormat karena mengubah putusan seorang bandar narkoba. Bagaimana
perasaan anak cucunya, usia tua seharusnya tinggal dinikmati dalam
kedamaian bersama keluarga. Bagaimana pula perasaan anak-anak yang
melihat tayangan sidang ibunya yang duduk sebagai pesakitan kasus
korupsi dan si ibu berbohong dalam kesaksiannya.
Alangkah indahnya kalau seluruh elemen bangsa Indonesia menjadikan “BERANI JUJUR HEBAT” sebagai resolusi bersama tahun 2013.
Para pedagang mulai yang kaki lima sampai hypermarket jujur pada
konsumen. Para pendidik menanamkan dan mencontohkan nilai kejujuran pada
anak didiknya. Para Ketua Parpol menindak kader-kadernya yang korup dan
menolak semua sumbangan bagi partainya yang tidak jelas asal-usulnya.
Tak ada lagi “uang mahar” dalam Pilkada. Para anggota parlemen jujur dan
amanah dalam membahas dan menyetujui anggaran negara.
Kalau 14 abad yang lalu Rasulullah Muhammad SAW
pernah berkata : “Seandainya Fatimah Putri Rasulullah mencuri, niscaya
aku sendiri yang akan memotong tangannya”, maka alangkah luar biasanya
jika Presiden RI berani memecat anggota kabinetnya yang diindikasi
korup, memecat anggota partainya yang terlibat korupsi atau yang tak
amanah ketika menjadi anggota KPU. Alangkah hebatnya jika Presiden
sendiri yang memerintahkan aparat penegak hukum menangkap, mengusut dan
mengadili anak buahnya yang diindikasikan tidak jujur. Tentu ini akan
mengguncangkan negeri kita, seperti Presiden China yang memerintahkan
disiapkan peti mati sejumlah anggota kabinet +1, karena yang 1 disiapkan
untuk dirinya sendiri bila terlibat korupsi. Kalau demikian yang
terjadi, mungkin kita masih bisa menyongsong tahun politik 2014 dengan
optimisme. Semoga saja, ke depan bangsa ini akan lebih baik dan beradab dengan kembalinya kejujuran. Amiiin…
Catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer