Sejak awal berdirinya ormas Nasdem, saya sudah
pesimis pada organisasi ini. Organisasi kemasyarakatan ini mengusung
issu gerakan perubahan dan restorasi menuju Indonesia baru. Bukan hanya
issu / slogan yang digaungkan yang membuat pesimis, namun sejarah
pembentukannya-lah yang membuat kita tak layak menyandangkan harapan
terlalu banyak pada ormas ini.
Oktober 2009, jelang Munas Golkar di Riau, psywar,
perang issu dan opini antara Surya Paloh vs Aburizal Bakrie memanas.
Keduanya memanfaatkan stasiun televisi yang dimiliki untuk menaikkan
citranya sekaligus menjatuhkan citra pesaingnya. Ical relatif lebih
mudah dibidik melalui issu ganti rugi warga Sidoarjo korban lumpur
Lapindo. Kebetulan saat itu kasus mafia pajak Gayus Tambunan belum
terkuak. Lewat acara andalannya Kick Andy, Metro TV mengundang sejumlah
korban lumpur Lapindo untuk bertestimoni.
Sebaliknya, ibarat petinju,
Ical hanya mencoba untuk bertahan dari pukulan lawannya tanpa bisa
memukul balik. Menggunakan daya tarik acara AKI Malam dengan host Tina
Talissa yang saat itu jadi idola, dilakukanlah telewawancara dengan 2
orang “perwakilan” korban lumpur Lapindo yang menyampaikan terima kasih
atas “kebaikan hati” keluarga Bakrie yang telah memberikan ganti rugi
dan perlakuan yang baik bagi korban lumpur. Meski sebenarnya 2 orang
yang diwawancarai tidak benar-benar mewakili warga korban lumpur.
Akhir kata, entah karena kekuatan pengaruh
politiknya atau karena kekuatan uangnya, Ical memenangkan perebutan
kursi Ketua Umum Golkar periode 2009 – 2014, menggantikan Jusuf Kalla
yang bulan itu juga harus lengser dari jabatan Wakil Presiden pasca
kekalahannya dalam Pilpres.
Kemenangan Ical agaknya tak berlalu begitu saja.
Sebab sejak itu Surya Paloh mulai menggalang dukungan untuk membentuk
ormas yang diberi nama Nasional Demokrat (NASDEM). Awalnya Paloh
berjanji ormas ini hanyalah sebuah gerakan moral yang menyerukan
restorasi dan tidak akan menjadi partai politik. Bergabungnya sejumlah
tokoh dengan nama besar membuat Nasdem kian berkibar dalam waktu
singkat. Tak kurang Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Hj. Rustriningsih
(Wagub Jateng) pun ikut bergabung dengan Nasdem.
Tenggelam dengan hiruk pikuk ekspansi ormas Nasdem,
publik seolah dilenakan dengan slogan “restorasi” tanpa pernah mengerti
restorasi macam apa yang sedang digagas Nasdem dan ditawarkan kepada
bangsa ini sebagai sebuah pil mujarab untuk mengobati negeri yang sedang
sakit ini. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), “restorasi” berarti pengembalian atau pemulihan kepada keadaan semula (tt gedung bersejarah, kedudukan raja, negara); pemugaran.
Dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia, yang terkenal adalah Restorasi Meiji di Jepang pada pertengahan abad ke-19, yang berpuncak pada pengembalian kekuasaan kepada
Kaisar (tahun 1867) dan mengakhiri kekuasaan Keshogunan Tokugawa.
Restorasi ini menyebabkan perubahan besar-besaran pada struktur politik
dan kehidupan sosial masyarakat Jepang.
Lalu pengembalian atau pemulihan macam apa dan pada
keadaan yang bagaimanakah yang dimaksudkan Nasdem? Keadaan semula
seperti apa yang jadi tolok ukurnya? Tidakkah ini hanya sekedar barisan
sakit hati yang mencoba merebut kekuasaan yang gagal diraih? Dalam
sejarah Golkar pasca reformasi, kelompok sempalan yang kalah di internal
partai, juga berakhir tragis di kancah politik nasional.
Gagal memenangkan pertarungan melawan Akbar Tanjung dalam Munas Luar Biasa Golkar tahun 1998, Jendral (Purn.) Edi Sudrajat membentuk Partai Keadilan dan Persatuan (PKP)
pada awal 1999 yang diketuai olehnya sendiri dan Sekjennya Hayono
Isman. Alhasil, PKP lebih mirip barisan sakit hati sempalan Golkar.
Partai ini kalah telak dalam Pemilu 1999 sehingga harus berganti nama
menjadi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) agar tetap bisa
ikut Pemilu 2004. Sayangnya, partai ini pun kandas pada Pemilu 2004.
Sejak awal ormas Nasdem akan bermetamorfosis menjadi partai politik, aroma ketidaksolidan sudah meruak. Bermula dari keluarnya Sri Sultan HB X.
Padahal saat itu nama Sri Sultan sedang naik daun seiring menguatnya
tuntutan disahkannya UU Keistimewaan Jogja. Tak sekalimatpun berita
tentang hal ini yang keluar di Metro TV. Beruntung, saat itu TV One
milik Ical pun tak tertarik untuk menggoreng issu keluarnya Sri Sultan
dari Nasdem.
Jejak Sri Sultan pun akhirnya diikuti Hj. Rustriningsih, Wagub Jateng yang dalam ormas Nasdem menjabat sebagai Ketua Pengurus Wilayah Nasdem Jawa Tengah
ini resmi mundur dari Nasdem diikuti juga inisiator daerah dan pengurus
kabupaten kota. Rustri mengambil sikap ini karena , sejak awal dari
sosialisasi Ormas ini di Semarang disampaikan bahwa Nasdem adalah
organisasi kemasyarakatan untuk mengukuhkan diri sebagai organisasi
terbuka lintas propinsi dan tidak teraviliasi dengan partai. Surya
Paloh, saat itu menyatakan bahwa Nasdem adalah ormas yang sadar politik
dan akan menjadi parpol bila dikehendaki anggotanya dan dipilih melalui
referendum. Hal ini sudah dicantumkan di AD/ART dan dipertegas dalam
Rapimnas bahwa Nasdem bukan parpol.
Namun dalam perkembangannya ada partai yang
menggunakan nama, logo dan visi misinya sama dengan Ormas. Sehingga
menimbulkan persoalan besar bagi anggota dan pengurus ormas yang sesuai
undang-undang dilarang ikut politik seperti PNS dan tidak boleh
beraviliasi dengan partai poltik. Inilah pengkhianatan pertama Surya
Paloh pada komitmennya untuk tidak menjadikan Nasdem sebagai sebuah
parpol tanpa melalui referendum.
Tapi Surya Paloh memang bukan Edi Sudrajat.
Paloh tampaknya lebih punya “amunisi”, sehingga dibanding PKP, Nasdem
lebih mampu menarik minat sejumlah tokoh dan masyarakat untuk bergabung.
Keseriusan Paloh mewujudkan ambisinya dengan membesarkan Nasdem makin
menampakkan hasilnya dengan bergabungnya Hary Tanoesoedibjo sebagai
Ketua Dewan Pakar Nasdem. Dua raja media bergabung – Metro TV Grup dan
MNC Grup – di satu sisi melawan ARB – Viva Grup – di sisi lain, membuat
dunia pemberitaan seolah mengalami oligopoli sepanjang menyangkut
kepentingan Golkar dan Ical atau kepentingan Nasdem dan Paloh.
Masuknya Hary Tanoe ke partai Nasdem jelas
memberikan darah segar bagi partai Nasdem. Pegusaha muda berusia 47
tahun yang oleh Forbes dimasukkan dalam peringkat ke-29 dari 40 orang
terkaya di Indonesia ini makin memperkokoh kemampuan finansial partai
pemula yang baru seumur jagung. Di saat parpol lain yang telah
mendudukkan wakil-wakilnya di parlemen dan kabinet dirundung issu
mengisi pundi-pundi partainya melalui kongkalikong anggaran di DPR dan
sejumlah kementrian, partai Nasdem yang masih bayi seolah tak mengenal
kesulitan kuangan. Di saat partai lain harus pandai-pandai mengatur
belanja iklan di media televisi dan hanya memilih moment tertentu saja
untuk beriklan, Nasdem justru bebas membombardir pemirsa dengan serangan
udara melalui Metro TV dan jaringan MNC TV.
Kini, hanya selang 4 hari sebelum
dilaksanakannya Kongres Partai Nasdem yang pertama pada 25 Januari
nanti, Sang Ketua Dewan Pakar menyatakan dirinya mundur dari Nasdem
karena sudah beda visi. Hary Tanoe tak sendiri, ia bersama
sekjen Partai Nasdem Ahmad Rofiq, sekjen Gerakan Pemuda Nasional
Demokrat DPW DKI Jakarta Saiful Haq, serta Endang Tirtana, Wakil Ketua
Internal DPP Partai Nasdem menggelar jumpa pers terkait pengunduran diri
mereka dari Partai Nasdem. Meski Surya Paloh berusaha mengecilkan arti pengunduran diri HT dengan menyebutnya ingin berkonsentrasi di dunia bisnis karena hendak membeli TV milik Bakrie,
tak urung mundurnya HT jadi pemberitaan yang cukuop menarik. Tentu saja
TV One yang paling bersemangat memberitakan sejak beberapa hari
sebelumnya, ketika ada demo dan perpecahan di tubuh Garda Pemuda Nasdem.
Memang Hary Tanoe dikabarkan dekat dengan kelompok muda di Nasdem.
Ketua DPW Partai Nasdem Jawa Barat, Rustam Efendi pun ikut mengundurkan diri karena merasa sudah tak ada harapan lagi di Nasdem.
Bisa jadi langkah Rustam akan diikuti “gerbong”nya. Dalam Pilgub Jabar,
Nasdem ikut mendukung Cagub-Cawagub Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar.
Entah bagaimana nasib Nasdem kelak. Yang jelas,
pengambilan nomor urut parpol peserta Pemilu 2014 baru seminggu
sebelumnya (14/01/2013) dilaksanakan dan Nasdem mendapatkan nomor urut
1, musim kampanye sudah dimulai 10 hari sebelumnya (11/01/2013), tapi
gempa besar sudah mengguncang Nasdem, satu-satunya parpol baru yang
lolos verifikasi KPU. Kalau sebelum bertarung saja sudah pecah di dalam,
bagaimana akan solid menggalang dukungan masyarakat>
Bagaimanapun juga, langkah Hary Tanoe
cukup bijak. Ia memilih mundur sebelum Kongres, tidak merusuh dari
dalam. Mengingat sudah makin dekatnya Pemilu 2014, tak mungkin lagi bagi
HT membuat parpol baru, kecuali dia mau menunggu sampai 2019. Sebagai
pengusaha yang baru masuk dunia poltik, tampaknya HT memang tidak
memilih jalan politicky yang tricky. Kalau benar kata Paloh
bahwa HT akan sedang berkonsentrasi ikut pelelangan TV One dan ANTV
milik Bakrie, kalau nantinya kedua stasiun TV itu jatuh ke tangan HT,
bukan tak mungkin hegemoni media TV dan portal berita akan dikuasai HT
dan Nasdem bisa makin babak belur dihajar pemberitaan.
Catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer