Di sebulan ini, film Indonesia menjadi
topik hangat: Habibie dan Ainun. Hingga 3 Januari lalu, penonton
mencapai 2,1 juta dalam dua minggu. Angka itu mencatat rekor tertinggi,
bahkan kata produsernya akan masuk Museuem Rekor Indonesia (MURI).
Kendati belum meraih angka 5 juta penonton bak Laskar Pelangi, Habibie & Ainun, fenomenon.
Menjadi fenomena pula, karena berbagai
pihak membicarakan ihwal kisah cinta Habibie dan Ainun. Gosip di media
sosial, bicara tentang romantis dan kesetiaan Habibie. Bila sudah sampai di sini, sebagai pria, saya pastilah tak sepadan dengan Habibie.
Kendati demikian, pada kesempatan ini ingin saya menulis, premis tersirat lain di film itu. Tak bisa dipungkiri, terungkap kekecewan Habibie akan industri dirintisnya di saat di ujung pemerintahan Soeharto, terjerembab, terbengkalai,
Industri Peswat Terbang Nurtanio (IPTN) - - kini PT Dirgantara
Indonesia. Di bagian akhir filmnya Habibie mengajak Ainun ke hanggar
pesawat N250. Habibie menggerakkan baling-baling. Tangannya geram. Ia
memeluk Ainun.
“Gara-gara ini, waktuku minim untukmu dan anak-anak,” kata Habibie.
“Bayangkan 17.000 pulau di Indonesia butuh alat transportasi cepat, murah.”
Bertekad membangun industri peswat terbang, menderma-baktikan ilmu belajar di Jerman, Habibie pulang dengan semangat cemerlang. Apa
lacur, di kemudian hari ia menghadapi kemurungan, pesawat mangkrak
berdebu di IPTN. Sebagaimana di film, terang-benderang Habibie
menghadapi vendor pengusaha culas, terbiasa menyogok, giliran ditolak mengancam bawa-bawa backing. Juga oknum jenderal di awal-awal membangun industri tidak sreg rencana Habibie. Kuat diugaan sang jenderal memang kaki tangan asing.
Asing-Aseng di ranah kongkalingkong.
Di lapangan sebagaimna pernah saya verifikasi,
saya menemukan seorang saksi membayar kolomnis untuk menembus KOMPAS
dan TEMPO seharga US $ 5.000 perkolom opini. Kolomnis bernama, mereka berikan tulisan 500 kata. Intinya tulisan memojokkan, menjelekkan
IPTN dan program Habibie. Puncaknya ketika IPTN membarter peswatnya
dengan beras ketan dari Thailand, isu miring pun menjadi-jadi.
Padahal, ketika saya sempat pada 2010 lalu ke Emirat Arab, keluarga Syekh Zayed, memberi tempat terhormat kepada Habibie. Peswat N-235 produksi IPTN mereka cat putih dijadikan pesawat VVIP. Dan bila saya tak keliru, Habibie dijadikan keluarga kehormatan, konon diangkat anak. Maka setiap Habibie ke Emirat Arab, pastilah disambut langsung saudaranya, keluarga raja, dihormati sekali.
Lain halnya di negaranya sendiri. Banyak pihak
mencibir. Bahkan ketika beberapa time line saya tulis di twitter Minggu
malam, ada follower mengaku industrialis hebat. Ia mengatakan pada 1987
sudah menulis bahwa produktifitas IPTN rendah. Bagi saya sosok orang Indonesia demikian sudah termakan isu luar tak ingin tumbuhnya industri manufaktur untuk kepentingan lokal.
Dan lebih sadis lagi, sebagaimana saksi mata
Said Didu, di media sosial mengatakan, di saat pertanggung-jawaban
Presiden Habibie di DPR, ada anggota DPR bertindak, maaf, bak kaki empat. Mereka berteriak huuuu di saat Habibie masuk sidang pleno DPR. Dalam
perkembangan waktu saya menemukan indikasi fakta nyata, ternyata untuk
huuu itu ada dana Rp 50 miliar digelontorkan kepada sebuah fraksi di
DPR.
Habibie pun tidak diterima pertanggung-jawabannya di DPR.
Industri peswat terbang RI seakan mangkrak.
Dan kemudian seakan terhenti. Fakta
nyata-nyata memang disuruh hentikan oleh IMF, melalui surat resmi yang
dituangkan ke nota kesepahaman dalam bantuan IMF terhadap Indonesia
untuk tidak meneruskan industri strategis termasuk IPTN.
“IPTN dihentikan karena Habibie ingin membangun
pesawat jet N 2130, karena memang terbukti sangat laris di pasaran,”
kata Said Didu, Mentan Sekjen Kementrian BUMN, di Twitter.
Apa lacur. Industri strategis kita
memang diperkosa. Sama halnya sebagaimana acap saya tulis, perusahaan
otomotif seperti Perkasa teknologinya didukung oleh Steir pun mangkrak berserak. Potensi? Jangan ditanya.
Kini simaklah pesawat bagaikan N250, kita membeli dari Cina. Bahkan
pesawat jet seperti hendak dibangun oleh IPTN, di format hampir sama,
dibeli penerbangan nasional ratusan, menjadi belanja terbanyak dalam sejarah beli-beli pesawat dunia.
Lengkaplah sudah.
Di saat orang heboh film
Habibie dan Ainun, mata saya berkaca. Membayangkan sahabat saya seperti
Dadang Erawan di Bandung. Ia doktor aeronatika, mantan IPTN. Isterinya
di Bandung membuat usaha yoghurt berlabel Odise. Lumayan laris. Entah
karena isterinya orang Perancis atau memang ada peruntungan di sana,
tapi kegigihannya mengikuti tender-tender dunia di pembuatan wind tunel (terowongan angin) untuk uji kelaikan terbang pesawat, satu dua membuahkan hasil. Paling tidak ada saja order kepadanya di harga US $ 1,5 juta dalam setahun. Bagi saya ini luar biasa, bukti bahwa anak-anak Indonesia mumpuni.
Sahabat satunya lagi Hemat Dwi Nuryanto,
pendiri Zamrud teknologi. Saya pun kadang merinding dengan
karya-karyanya di aplikasi kini. Otomasi radio 2.0 di jaringan www.diradio.net,
adalah karyanya. Ia berkantor di gedung di belakang Masjid Salman,
Bandung. Bersama timnya mereka membuat aplikasi otomasi radio RISE,
yang memudahkan penyiar, pendengar, pengiklan dalam menyimak
mengoperasikan radio. Bahkan seorang penyiar dapat me-remote siaran dari
gadget-nya di mana pun ada akses internet. Siaran sambil ngopi di
gunung pun bisa. Pengiklan dapat menyimak real time penayangannya.
Pemilik tahu pendapatan bisnisnya itungan klik.
Baik Dadang dan Hemat, punya pula teman
seangkatan. Nah ini bikin saya marah. Teman meraka itu sudah lama
bekerja membuat pesawat tanpa awak untuk Malaysia. Entah untuk apa bagi
Malaysia. Saya duga ya untuk memata-matai Indonesia. Maka suatu hari
pernah saya laporkan ke Menkopulhukam, Djoko Suyanto, agar anak-anak
hebat seperti ini dibawa pulang. Saya diminta ketemu
Deputinya, alhasil katanya belum ada anggaran untuk itu. Padahal membawa
pulang ajak omong, sementara dengan biaya Rp 5 juta juga beres, lalu
berikutnya bisa dibuat rencana kerja, program dan sebagainya.
Brain drain insinyur hebat yang disekolahkan
Habibie banyak sekali, bukan hanya seperti cerita di atas. Di industri
peasawat Boeing beberapa manajer mantan IPTN.
Maka atas dasar itu, saya lantang saja bicara. Orang Indonesia menghina IPTN, menghina Habibie, dengan huuu di DPR misalnya, lebih jauh membuat segala kehebatan bangsa sendiri mati, sejatinya jasadnya saja manusia. Hatinya tak lebih dari sosok berkaki empat. Mungkin tepatnya manusia berkaki empat anteknya IMF beserta sekutu.
Lain tidak.