SBY saya maksudkan, Soesilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia, terpilih dua kali, menang pemilihan presiden mayoritas mutlak. Kekuasaannya tinggal dua tahun lagi. Mengacu ke judul, tak ada maksud menuding. Sejatinya tajuk ini saya angkat dari fakta, baik saya temui sendiri maupun dari memverifikasi kalimat, pernyataan, tabiat laku-lakon diperbuat.
Di saat awal mendirikan Partai Demokrat, SBY telah mengawalinya dengan laku memanfaatkan sarana negara. Tepatnya kantor Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan untuk mengadakan rapat-rapat pembentukan partai. Setidaknya saya mendengar cerita langsung dari Max Sopacua, mangkal sebagai wartawan TVRI di sana, kini salah satu Ketua DPP Partai Demokrat. Ia acap menyelinap di usai jam kantor membicarakan pendirian Partai Demokrat di fasilitas negara itu. Hal ini juga pernah diceritakan Kurdi Mustofa, salah satu Deputi di Menkopolhukam kala itu, kini Ketua Persaudaran Haji Indonesia.
Di ranah manapun segala sesuatu dimulai dengan memanfaatkan segala sesuatu tidak pada porsinya mengalirkan ketidak-baikan. Tidak maslahat. Ini sabda alam saja adanya.
Dalam perkembangan perjalan politik SBY, sebutlah di saat kampanye presiden. Di depan Komisi Etik Komisi Pemberantasan Korupsi, dari obrolan ringan dengan mantan salah satu Ketua KPK, saya mendapatkan konfirmasi bahwa: KPK pernah menanyakan sumber-sumber dana kampanye SBY. Untuk beberapa sumber dana besar, SBY selalu menyebut, “Tulis saja dari Hamba Allah.” Giliran dicecar lagi, “Tulis dari Hamba Allah Satu, Dua dan seterusnya.”
Bila puncak kekusaan negara demikian, apatah pula di bawahnya?
Di perkembangan saya di medio hingga penghujung tahun ini terlibat menyusun buku panduan pengawasan Pemilu dengan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) untuk Organisasi Masyarakat dan Jurnalis, juga ikut mensosialisasikan ke-4 kota; maka saya pun menemui fakta, bahwa pada 2009 lalu, Bawaslu pernah melaporkan sumber dana kampanye SBY lumayan besar melebihi ketentuan Undang-Undang di Bank BTPN. Apa lacur? Bawaslu melaporkan ke polisi, pihak kepolisan kala itu jangankan memproses, menerima saja tidak. Apakah karena polisi langsung berada di bawah presiden? Bisa jadi 2009 jabatan kedua SBY.
Jauh sebelumnya, di masa awal menjagokan diri menjadi Presiden, SBY pernah meminta ke rakyat, berilah dia kesempatan menjadi presiden sekali saja. Ia pun menyebut nama Tuhan, demi Tuhan hanya untuk sekali saja. Kenyataannya Tuhan pun sudah ditipu SBY. Dan kepada rakyat banyak ia katakan tidak akan berdekat-dekat dengan konglomerat hitam, nyatanya kini bukan dekat lagi tetapi lengket.
Bila diteruskan kalimat ini, mengalirkan panjang tipu-tipu. Pada kasus korupsi Nazaruddin, di mana saya sempat melakukan Skype ketika dia melarikan diri, yang dianggap publik fenomenon itu. SBY ke publik mengaku tidak paham apa terjadi. Tumpahan kesahalan seakan SBY tujukan ke pengurus partai.
Padahal secara faktual, kasus uang suap, dan uang dolar dalam amplop ditemukan di Kongres Partai Demokrat di Bandung yang memenangkan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum, nyata diketahui oleh SBY. Atas pengetahuannya itu, maka SBY menyusun kabinat Partai Demokrat dengan cara-cara akomodatif. Dan indikasi uang yang mengalir ke Kongres Partai Demopkrat itu, sudah terang benderang berasal antara lain dari proyek Hambalang, sebagai mana sudah berkali-kali dituturkan Nazaruddin.
Mencloknya dua orang mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Anas Urbaningrum dan belakangan Andi Nurpati ke Partai Demokrat, memperkuat dugaan permainan teknologi informasi KPU. Indikasi penggelembungan angka kemenangan SBY, seakan bukan basa-basi, ditambah fakta adanya peristiwa lampu mati di saat perhitungan suara di Hotel Borobudur, angka-angka kemenangan kemudian signifikan. Perihal ini sempat hendak diangkat mantan ketua KPK Antasari Azhar, tetapi ia bernasib diprodeo.
Century, juga sebuah kebijakan yang dihindari diakuai diketahui oleh SBY. Beragam fakta mengungkap termasuk dokumen yang dimiliki Misbakhun, mengatakan SBY sangat tahu akan kebijakan pengambilan langkah bailout ini. Dan karena langkah mengingkari kebenaran itu, sosok ibu-ibu seperti Kirana, yang hanya staf biasa menupang kehidupan keluarganya, karena suami sakit, membesarkan anak dari menjadi karyawan di Century., kini harus mendekam 10 tahun penjara. Begitulah kememimpinan SBY terhadap kaum ibu.
Saya pun secara tak sengaja pernah bertanya dua hari sebelum mantan Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa mengundurkan diri. Pertanyaan saya padanya: berapa kali selama menjadi menteri diajak rapat empat mata oleh SBY? Di luar dugan saya sama sekali: Suharso menjawab tidak pernah sekalipun ada rapat kordinasi empat mata bersama presiden. Yang ada hanya rapat-rapat kabinet formal di istana negara.
Sebagai mana sebuah opini, kolom yang normal ditulis 500 kata, hingga alinea ini sudah 677 kata. Dan panjang lagi bisa dituliskan akan laku “tipu-tipu” SBY sebagai pribadi terlebih sebagai presiden. Ia acap mengatakan tidak mencampuri urusan hukum. mendukung pemberantasan korupsi, dengan paparan di atas apakah ia bisa menggigit?
Dalam perjalanan saya sebagai citizen journalist, kebetulan Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), menjalin kerjasama pelatihan menulis dengan Puspen TNI, di mana saya menjadi salah satu pengajar. Dari dialog informal dengan perwira menengah di TNI, dapat informasi di era kinilah intelijen TNI berada di titik terlemah. Sebagai penglima tertinggi TNI, saya menduga hal ini bukan tidak diketahui SBY, tetapi bisa saja disengaja. SBY memberi porsi lebih ke polisi.
Memberi lebih porsi ke polisi itu, dapat dilihat dari kerjasama Densus 88 dengan Amerika Serikat. Program dan anggaran yang overlap dengan Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan SBY seakan membiarkan indikasi korupsi tinggi di sana. Lebih dari itu, dari 700 mereka dianggap teroris, setidaknya sepertiga saya ragukan keterorisannya. Mengapa saya berani mengatakan demikian, saya memiliki sumber yang kredibel di dalam BNPT sendiri. Kalau sudah begini, suatu saat akan menjadi api dalam sekam bagaimana indikasi laku SBY sebagai pemimpin melanggar HAM berat.
Entah pola apa yang iya terapkan dalam kepemimpinannya, SBY tidak berpikir bagi meningkatnya kesejahteraan rakyat. Ia cenderung hanya berpikir untuk ke atas dan di atas. Ia konsen ke ekonomi makro dan kredit consumer, bermain aman dari berbagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) dominan dari pajak kendaraan bermotor, ekenomi riil melempem. Pola komunikasi Opini Kontra Opini (OKO) terus ia kembangkan, untuk mebangun citra personalnya baik.
Barulah di era kepemimpinan SBY, saya mendengar negara ini mengimpor Singkong. Sehingga di media sosial saya katakan SBY sejatinya sudah dilaknat pohon singkong se Indonesia.
Tulisan ini akan bersambung ke bagian dua. Namun sebagai penutup saya sebagai pribadi, Narliswandi Piliang, ingin mengetuk lubuk hati SBY paling dalam, agar mundur saja sebagai presiden. Sehingga beragam niat baik dan program kebaikan untuk bangsa ini dapat berjalan, tidak tersandera, pemberantasan korupsi utamanya.
Iwan Piliang