Akhir dari semua itu, Golkar memperoleh 70% suara lebih dalam Pemilu 1997. Memang, bukan rahasia lagi bahwa Pemilu di era Orba penuh dengan kecurangan dan rekayasa hasil Pemilu, terutama di daerah-daerah terpencil. Tapi inilah capaian terbesar Golkar sejak tahun ’70-an. Sebagai hadiahnya, Ketua Umum Golkar, Harmoko, dijadikan Ketua DPR/MPR periode 1997 – 2002, yang akhirnya berhenti di tengah jalan karena tumbangnya Orba lewat gerakan Reformasi.
Setelah terpilih jadi Ketua DPR/MPR, Harmoko yang juga dikenal sebagai “pembisik” Soeharto, menyampaikan kepada Soeharto bahwa hasilnya bersafari keliling Indonesia menunjukkan rakyat Indonesia masih menghendaki Pak Harto menjadi Presiden RI. Untuk meyakinkan, dibuatlah event “kebulatan tekad” mendukung Pak Harto kembali dicalonkan sebagai Presiden RI pada SU MPR 1998. Berbagai ormas dan kelompok masyarakat diperalat untuk melakukan apel kebulatan tekad di berbagai daerah. Akhirnya, majulah Pak Harto menjadi Presiden RI untuk ke-7 kalinya meski 70 hari setelah dilantik terpaksa mundur karena terbukti gerakan mahasiswa dan masyarakat tak menghendakinya lagi. Itu sebabnya Pak Harto pernah berucap bahwa ia dijebak/dibohongi Harmoko.
Dulu Harmoko-lah yang mendorongnya maju menjadi Presiden lagi dengan alasan rakyat masih menghendaki. Tapi pada ZSenin sore, 17 Mei 1998, Harmoko bersama 4 pimpinan MPR lainnya, justru meminta Pak Harto legowo mengundurkan diri. Mungkin karena merasa dikhianati itulah, maka ketika Pak Harto sakit dan dirawat di RSPP terakhir kalinya sebelum wafat, keluarga melarang Harmoko menjenguk Pak Harto. Bisa dimaklumi seperti apa sakitnya hati Pak Harto, dikhianati oleh orang yang paling dipercayainya. Orang yang membisiki dan mendorongnya untuk maju, tapi kemudian orang yang sama memintanya untuk mundur.
——————————————————————–
Orang-orang kepercayaan di seputar pusat kekuasaan memang terkadang bisa kebablasan dan menjerumuskan sang penguasa itu sendiri. Setiap penguasa memiliki orang kepercayaannya sendiri dan hampir selalu ada “Brutus” di lingkaran kekuasaan.
Ketika Presiden SBY memberikan grasi kepada Meirika Franola dengan menganulir vonis hukuman mati jadi penjara seumur hidup, tapi setahun kemudian terbukti Olla masih aktif mengendalikan perdagangan narkoba internasional, Presiden SBY berdalih bahwa beliau mendapatkan informasi Olla hanyalah kurir biasa, bukan bandar. Entah siapa “pembisik” yang telah membuat Presiden SBY tergelincir mengambil keputusan yang keliru. Meski dalam pidatonya SBY terang-terangan menyebut ada yang memberinya informasi salah soal Olla, tapi SBY masih menutupi siapa pembisik sesat tersebut.
Bukan kali ini saja SBY “dikerjain” orang kepercayaannya. Masih ingat tragedi padi Supertroy HL beberapa tahun lalu? Adalah Heru Lelono yang memperkenalkan varietas padi baru yang konon katanya bisa panen tiga kali dalam setahun tanpa perlu ada tanaman sela. Bahkan SBY diajak dalam panen raya pertama. Tragisnya, hanya sekali itu saja ada panen raya, karena selanjutnya yang terjadi justru para petani yang berdemo dan mengamuk karena mereka malah merugi.
Juga ketika ada seorang yang mengaku mampu mengubah air menjadi energi pengganti BBM yang disebut blue energy, yang kemudian ternyata hanya isapan jempol belaka. Orang dibalik blue energy itu pun kabarnya dibawa oleh orang dekat Presiden. Bayangkan, seorang Presiden yang dikenal juga sebagai intelektual karena bergelar Doktor, bisa dikerjain begitu saja untuk hal-hal yang sebenarnya sepele, hanya karena terlalu percaya pada orang dekatnya.
Melihat tayangan ILC semalam, yang topiknya tentang menakar kejujuran Dipo Alam dan Dahlan Iskan, saya justru makin miris sekaligus prihatin dengan kondisi Presiden SBY. Sampai dua kali Presiden perlu mengeluarkan pernyataan resmi dalam pidatonya, yang pertama meminta agar para pembantunya di kabinet fokus pada tugas pokok mereka dan yang kedua meminta komitmen mereka untuk tetap menjalankan tugas sampai tuntas di 2014. Ini menunjukkan betapa galaunya Presiden dengan berbagai manuver para pembantunya yang mencoba mencari “panggung” politik sendiri-sendiri. Terlebih manuver Dipo Alam, yang seharusnya sebagai Seskab ia bisa menjadi “ketua kelas” yang baik bagi Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2, tapi justru menyulut ketidakharmonisan di kalangan anggota Kabinet akibat tindakannya. Jika aksi Dipo Alam dibiarkan, bukan tak mungkin Presiden SBY makin kehilangan wibawanya dan kehilangan kendali atas kinerja para pembantunya.
——————————————————————–
Kedua contoh di atas adalah pengalaman dari Presiden yang pernah berkuasa dan yang sedang berkuasa. Lalu bagaimana dengan mereka yang belum berkuasa dan didorong untuk memasuki perebutan kekuasaan karena ada pihak lain yang ingin mengambil keuntungan? Ini tak tertutup kemungkinannya.
Adalah Mahfud MD, Ketua MK yang saat ini namanya dalam berbagai polling selalu masuk deretan atas nama-nama yang dikehendaki publik untuk memegang tampuk kepemimpinan nasional 2014. Kemarin pagi, TV One mewawancarai Mahfud MD dalam satu sessi khusus. Berulang kali host acara itu – terutama host pria – mencoba memancing reaksi Mahfud tentang wacana pencalonannya sebagai Capres 2014. Dengan cerdik dan bijak, Mahfud berhasil mengelak dari desakan untuk memberikan jawaban “yes or no”.
Ada yang menarik dari pernyataan Mahfud. Saat itu host memancing Mahfud soal reaksinya atas pencalonan Rhoma Irama sebagai capres PKB. Bukankah dulu Mahfud juga orang PKB, kenapa PKB tak mencalonkan Mahfud? Dengan santai Mahfud menjawab bahwa dirinya punya “ikatan emosional” dengan PKB karena partai itu didirikan oleh Gus Dur dan dirinya tumbuh bersama Gus Dur. Ikatan emosional dalam pengertian Mahfud bisa saja rasa suka, senang, marah, kecewa, sedih dan sebagainya, melihat berbagai manuver partai pimpinan Muhaimin sekarang.
Mengenai pencalonan Rhoma dan kenapa bukan dirinya, Mahfud menjawab diplomatis : “Oh, saya juga sudah ditawari oleh orang PKB. Ada orang-orang PKB yang menawari saya, tapi saya belum menjawab. Kalau soal ditawari oleh kyai dan ulama, banyak juga kyai dan ulama yang menawari saya, tapi saya kan gak perlu memberi tahu dulu”. Intinya Mahfud berpesan (menurutnya itu pesan terutama untuk dirinya sendiri) : agar siapapun jangan ge-er – termasuk Rhoma Irama – kalau ditawari atau didorong-dorong untuk maju menjadi Capres pada 2014. Parpol bisa saja menawarkan kendaraan politik bukan hanya pada satu orang tokoh saja. Begitupun para ulama dan kyai yang jumlahnya cukup banyak se-Indonesia, mereka masing-masing punya jago sendiri untuk didorong maju pada 2014. Sebab dukungan itu sejatinya belum bulat.
Ucapan Mahfud itu serasa menohok bagi Rhoma Irama – seandainya beliau bisa merasa – mengingat Rhoma seolah sudah “kemrungsung” dengan adanya dukungan dari sekelompok ulama yang memintanya maju menjadi Presiden. Bahkan dalam beberapa pernyataannya di berbagai media TV akhir-akhir ini, malahan terkesan Bang Rhoma yang tak mau lagi mundur sehingga ia pun melakukan proses-proses politik dengan menawarkan diri pada parpol-parpol yang bersedia mengusungnya. Tak hanya itu, organisasi pemusik dangdut yang selama ini mendukung Rhoma Irama pun kini melakukan persiapan untuk mengusung Rhoma. Bersiap melakukan sosialisasi pencapresan Rhoma dan memberikan counter atas citra negatif yang bisa merusak kredibilitas Rhoma sebagai Capres. Itu semua demi melancarkan jalan Rhoma menuju RI-1.
Belajar dari pengalaman Pak Harto yang didorong Harmoko, tidakkah Rhoma berpikir seribu kali untuk mencalonkan diri pada Pilpres 2014? Sudahkah Rhoma menimbang-nimbang kemampuan dirinya menjadi kepala negara di tengah krisis multidimensi dan kesulitan ekonomi yang mendera negeri ini? Bukankah menyandarkan diri pada kepiawaian para pembantunya – seperti dalam jawabannya saat ditanya Najwa Shihab – justru berpotensi menggelincirkannya jika ia sendiri tak menguasai permasalahan dan strategi jalan keluarnya? Tidakkah Rhoma kuatir bahwa dorongan pada dirinya untuk maju sejatinya sama dengan bisikan yang melambungkan tapi sekaligus juga menjerumuskan? Kalau Presiden SBY yang berlatar belakang militer, pernah jadi Assospol Kasospol ABRI – artinya paham politik betul – pernah jadi Menkopolhukam, serta didukung partai pemenang Pemilu saja masih bisa dikerjain oleh orang-orang disekitarnya, apalagi jika orang tersebut tak memiliki kapabilitas mumpuni dalam masalah politik dan kenegaraan.
Sungguh kasihan sebenarnya melihat bagaimana Rhoma Irama belakangan ini jadi bulan-bulanan gurauan di media sosial, internet dan smartphone. Bahkan urusan pribadi rumahtangga dan masa lalunya pun diungkit kembali dan dijadikan sindiran. Sesuatu yang sebenarnya tak perlu terjadi jika Rhoma tak mengumumkan dirinya siap berlaga dalam Pilpres 2014. Bahkan belakangan muncul joke melecehkan yang menyandingkan Rhoma Irama dengan Aceng Fikri. Barusan saya menerima gambarnya melalui BBM. Menyedihkan bukan? Bandingkan reaksi publik menyikapi wacana pencapresan Jusuf Kalla misalnya, atau Mahfud MD, atau Dahlan Iskan, meski mereka sama-sama belum punya kendaraan politik yang pasti akan mengusungnya.
Sayang sekali kalau Rhoma Irama tak belajar dari pengalaman pahit dari Pilgub DKI yang masih membekas sampai sekarang. Bukankah ketika ia tergelincir issu SARA, Timses Foke pun tak mengakuinya sebagai anggota Tim Kampanye meski jelas-jelas jadi bintang iklan kampanye Foke di televisi? Sungguh sayang kalau tokoh senior sekaliber Rhoma Irama bisa terpengaruh oleh pembisik yang mendorong-dorongnya. Seperti halnya Pak Harto, sesungguhnya desakan pembisik itu tak akan terwujud kalau saja dalam diri pribadi yang dibisiki tak ada ambisi sama sekali.
catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer