Sekarang, mampu berbicara tentang hal-hal yang bersifat nasional, sudah menjadi tren tersendiri untuk beberapa anak muda. Berbicara menggunakan istilah khusus pun menjadi kebanggaan tersendiri. Semua seakan berlomba-lomba untuk mencari kesempatan berbicara tentang hal-hal yang sebenarnya tidak mereka mengerti seutuhnya. Sok mencaruti korupsi pada dunia politik, tapi ujian masih menyontek. Bukankah korupsi dan menyontek memiliki dasar kesalahan yang sama yaitu berbohong?
Lantang mengomentari perekonomian yang cacat dan sebagainya, tapi belum mampu berpikir kritis untuk membangun industri kreatif. Berani memperdebatkan masalah pendidikan, tapi tidak pernah menghadirkan model pembelajaran inovatif. Dan sebagainya. Ikut berbicara pada sebuah masalah tanpa bijak mengadvokasi.
Sebenarnya tidak masalah jika
memang berbicara atas dasar data, pengertian, fakta, atau sejarah yang benar
dan menghasilkan solusi yang nyata. Nah, masalahnya sekarang, tren aneh tersebut
malah dijadikan ajang keren-kerenan. Coba analisis secara sederhana saja,
generasi macam apa yang akan tercipta?
Mayoritas media pun begitu, semua
seakan saling membius dan dibius oleh segala macam pemberitaan pusat, sehingga
melupakan banyak hal kecil yang perlu dibenahi dari lingkungan kita sendiri.
Terhipnotis pada hal-hal besar, meremehkan hal-hal kecil, akhirnya semua usaha
dan pekerjaan menjadi tidak semaksimal yang semestinya. Kita lihat saja tema
diskusi-diskusi yang ada di sekeliling kita. Ada diskusi bela negara, diskusi
UU Perguruan Tinggi, diskusi pemberantasan korupsi, dan sebagainya. Semua
diskusi kebanyakan hanya berupa pemberian materi secara kaku, akhirnya diskusi
akan berakhir mengambang, tanpa ada aksi tindak lanjut yang bermanfaat. Pernah
tidak terbersit untuk mendiskusikan kebersihan toilet umum di Padang atau kebiasaan
cimeeh orang Padang? Silakan
menertawakan diri sendiri.
Tulisan ini sekedar ingin
mengajak teman-teman untuk tidak melihat terlalu jauh dan mengambang. Coba
kritis pada hal dasar yang akan memperkaya budaya dan mempengaruhi peradaban
kita. Mulailah segala sesuatu dari diri sendiri dengan menjernihkan hati.
Saya sedang bermimpi mengupas
kearifan lokal bersama teman-teman muda.
Kita mengenang aset genetik
Padang, seperti siamang dan beruk. Menciptakan merchandise unik dengan mencoba mengabadikannya dalam produk
kreatif, seperti kaos, gantungan kunci, bahkan boneka. Menjualnya secara merata
pada setiap toko terutama di lokasi wisata dan turisme.
Setelah itu saya mencicipi kekhasan
cita rasa makanan atau kuliner tradisional pada kunjungan ke Festival Kuliner Ketan.
Ada lamang tapai, beragam lapek, galamai, beragam bubur, dan kue-kue an. Sayapun
menikmati bubur ketan hitam kesukaan saya. Wah, ramai sekali pedagang yang
menebar senyum di sini.
Kemudian saya berterimakasih pada
tim yang bekerja fokus dan memaksimalkan pelayanan pada daerah pariwisata
Padang. Tiba-tiba saja saya berada di Bukittinggi dalam kereta api yang bergerak
menuju Pantai Padang. Perjalanan yang luar biasa, bibir pantai begitu bersih
dan pergerakan wisatawan terkontrol dengan tertib.
Seakan dipermainkan mesin waktu,
saya baru saja mendarat dan sedang berjalan pada koridor bandara menuju hotel. Mereka
memberikan atmosfir tradisional yang kental pada tempat-tempat yang terkait wisata
dan turisme. Mulai dari kuliner lokal pada kafe-kafenya. Lagu dan instrumen
musik lokal diputar mendengungkan telinga, Bahkan tarian beserta pakaian lokalnya
ditampilkan pada lobi. Bukan hanya orang asing berambut pirang saja yang ikut
meramaikan. Teman-teman muda pun banyak yang berusaha mengabadikan momen
tersebut dalam kamera jinjingnya.
Kemudian, adik-adik saya mulai
terangsang ikut melahirkan dan melestarikan produk lokal Padang yang unik, di
mana saja.
Ahh, mimpi indah.
Catatan Cornelia Napitupulu