Sontak, puja puji dan kekaguman yang selama setahun
belakangan ini ditujukan pada Dahlan Iskan, mantan pewarta yang sukses
membangun bisnis media lalu ditunjuk jadi Dirut PLN dan sejak Oktober
tahun lalu masuk kabinet pasca reshuffle. Sederhana sekali penyebabnya :
Dahlan hanya menyebut 2 nama anggota DPR yang disebut “pemeras” BUMN
saat ia dipanggil Badan Kehormatan DPR. Dua nama yang disebut berasal
dari partai merah yang memang jadi partai oposisi Pemerintah dan dari
partai kuning yang meski mengaku berkoalisi mendukung Pemerintah, namun
kerap “nakal” merecoki Tuan Presiden melalui wakil-wakilnya di parlemen.
Sementara, nama dari partai mercy biru dan partai putih-kuning yang
semula disebut-sebut, sama sekali tak ada.
Kalau saja sejak semula Dahlan hanya mengatakan ada
oknum anggota DPR yang memeras BUMN, tanpa menyebut jumlah, mungkin
publik tak akan segeram itu. Masalahnya Dahlan semula menyebut ada
sekitar 10-an nama yang sudah dia kantongi. Kalau Dahlan menyebut 9
nama, mungkin tak terllau jauh dari kata “sekitar 10-an”. Kalu
membengkak jadi 11 atau 12, juga tak akan dipersoalkan. Masalahnya :
dari 10 susut menjadi 2 itu drastis sekali! Apalagi sejak Dahlan
berseteru dengan DPR, dia pernah dipanggil SBY. Bahkan Dipo Alam sang
Sekretaris Kabinet pun jelas-jelas memposisikan diri di pihak Dahlan.
Bukankah Dipo Alam pula yang belum lama ini mengeluarkan “peringkat
korupsi” kepala daerah dan legislatif dari berbagai parpol yang
menempatkan partai merah dan kuning di atas partai mercy biru.
Kini, kredibilitas ucapan Dahlan Iskan
dipertaruhkan. Media Indonesia – koran milik Metro TV Grup – bahkan
dalam editorialnya secara khusus menyoroti hal ini dan sedikit sinis
pada Dahlan yang dianggap hanya memblow up kasus tapi ternyata tidak
siap buka-bukaan. Reaksi penelepon yang masuk sepanjang acara itu juga
beragam dan sebagian mulai mencela Dahlan Iskan. Ibarat sedang jadi
trending topic, TV One pun mengangkat issu ini dalam acara AKI Pagi.
Komentar melalui Twitter yang ditayangkan secara running pun sebagian
besar menunjukkan kekecewaan atas tak sesuainya informasi yang diberikan
Dahlan kepada BK DPR dengan issu yang dihembuskannya sendiri selama
ini. Dahlan Iskan terkena senjata makan tuan? Mari coba kita pahami
runtutan ceritanya.
Perseteruan DI vs DPR kembali memanas setelah DI 2x
tidak hadir memenuhi panggilan DPR untuk RDP. DI hanya mengirim Wakil
Menteri BUMN. DPR menolak alasannya karena DI dipanggil bukan sebagai
Menteri BUMN, tetapi sebagai mantan Dirut PLN untuk menjelaskan
kebijakannya selama menjabat Dirut PLN yang disinyalir berpotensi
merugikan keuangan negara sebesar Rp 37 triliun, seperti diungkap dalam
laporan hasil audit BPK. Potensi kerugian itu akibat PLN menggunakan BBM
sebagai sumber energi untuk pembangkit listriknya yang memasok aliran
listrik DKI. Seharusnya digunakan gas sebagai sumber energi yang lebih
murah.
Nah, disinilah kehadiran Di mutlak diperlukan untuk menjelaskan
alasan kebijakannya saat itu.
Sejak itu, entah bagaimana asal mulanya, DI
kemudian melempar issu bahwa DPR telah menjadikan BUMN sebagai sapi
perah. Kontan issu ini makin menyulut amarah anggota DPR yang menantang
DI membuka nama-nama oknum yang disebutnya sebagai pemeras. Bahkan ada
yang mengatakan DI seharusnya membawa kasus ini ke KPK, sebab praktek
suap menyuap dan permintaan uang secara paksa itu terlarang.
Dalam wawancaranya di salah satu TV, DI pernah
mengatakan ia tak ragu mengganti Dirut/ Direksi BUMN yang disinyalir
“bermain mata” dengan DPR. Menurutnya, ia memang tak bisa mendapatkan
bukti otentik perbuatan suap itu, karena tentunya kedua pihak akan
bermain cantik agar tak ada bukti tertulis. Jika menunggu pembuktian
secara hukum melalui pengadilan, menurut DI, bakal makan waktu lama
sementara kinerja BUMN di bawah Direksi yang demikian akan makin tidak
baik. Karena itu, menurut DI, ia akan mengganti Dirut/ Sireksi
menggunakan kewenangannya sebagai Menteri BUMN, entah dengan alasan
kinerja atau hal lain. Sampai di sini saya sepakat dengan argumen DI.
Sulit menemukan bukti “transaksi” haram dengan DPR yang biasanya
dilakukan tunai seperti dalam berbagai kasus, dimana uang diberikan
dalam bungkusan kardus.
Karena itu, akan lebih baik jika DI melaporkan
kecurigaannya kepada KPK, biarlah nanti KPK yang menelusuri dan mencari
bukti-bukti formalnya. KPK lebih mumpuni dalam hal ini. Ketimbang
melempar issu ini ke publik melalui media massa. Tentu saja media massa
menganggap issu ini seksi untuk terus digelindingkan. Belakangan, mantan
Menteri BUMN Kabinet Indonesia Bersatu jilid I, Sofyan Djalil ikut
membenarkan bahwa BUMN menjadi perahan DPR itu sudah sejak lama. Lalu
ada pula mantan Dirut Peruri – perusahaan negara yang dipercaya mencetak
uang – ikut membenarkan issu yang digulirkan DI. Tadinya, saya pikir DI
akan makin percaya diri seolah mendapat tambahan amunisi dari
pendahulunya dan dari mantan Dirut Peruri.
Sayangnya, alih-alih menjawab tantangan DPR dengan
melapor ke KPK, kini DI justru mereduksi tuduhannya sendiri. Maka tak
heran jika kini DPR makin punya peluang membidik DI. Mereka akan terus
mengejar DI untuk membuktikan tuduhannya. Padahal, di tengah krisi
kepercayaan yang begitu besar terhadap DPR dan terbelitnya sebagian
anggota DPR dengan issu korupsi, mengatur anggran dan mafia proyek,
sebenarnya DI sudah di atas angin. Dukungan publik sepenuhnya berpihak
pada DI. Kalau DI melaporkan pada KPK, ia akan menang telak. Tapi DI
memilih pasif menunggu dipanggil BK DPR. Padahal, masalah ini tak bakal
selesai, sebab jika tuduhan DPR memeras ditangani BK ujung-ujungnya
hanya akan jadi kasus etika saja, bukan kasus hukum berindikasi korupsi
dan gratifikasi.
Lalu kenapa DI seolah “balik badan”?
Benarkah DI
hanya mem-blow up saja issu itu tanpa dasar, demi menyerang anggota DPR
untuk tujuan menaikkan posisi tawarnya jika kelak ia hadir dalam RDP?
Atukah DI sendiri tidak “bersih” sehingga ia tak berani banyak
mengungkap khawatir balik diungkap? Atau lebih jauh dari itu ada
kesepakatan terselubung antara DI dengan penguasa untuk tak menyentuh
partai berkuasa? Adakah deal antara DI dengan parpol tertentu yang kelak
akan jadi kendaraan DI menuju kursi RI-1 di 2014? Ataukah DI sengaja
menyimpan 8 nama lainnya demi kepentingan yang lebih besar yang kelak
akan dia jadikan kartu truf jika posisinya makin terjepit? Itulah
sebagian kecurigaan publik yang mengemuka di media sepanjang sore
kemarin hingga hari ini. Setidaknya, DI kini sudah bermain di ranah
politik praktis, meski tak berparpol.
————————————————-
Menarik untuk menyimak latar belakang DI yang
berasal dari pers. DI adalah insan pers sejati. Ia tumbuh dari wartawan
biasa yang berkat kegigihannya berhasil membangun sebuah surat kabar
lokal di Surabaya bernama Jawa Pos yang kemudian menjadi besar dan
melebarkan sayapnya di seluruh penjuru tanah air melaui “Radar” di
berbagai daerah. Kini, Jawa Pos bukan lagi koran lokal Surabaya, tapi
sudah menjelma menjadi JPNN (Jawa Pos News Network) yang juga punya
jaringan TV lokal. Sebagai insan media, DI tahu betul bagaimana
menghadapi pers dan memainkan pers. DI paham benar membangun citra di
depan pers tanpa terkesan melakukan pencitraan berlebihan.
Sebuah berita yang ditulis Merdeka.com
mengulas bagaiman sepak terjang DI yang telah memukau publik selama
ini, ternyata tidak terjadi begitu saja, melainkan telah dipersiapkan
tim media yang siap meliput dan membesarkannya. Saya ingat, DI pertama
kali dikenal karena tingkah nyentriknya datang ke istana memakai sepatu
kets saat diundang Presiden SBY untuk ditawari posisi Menteri BUMN.
Siapa pula yang mengekspose soal sepatu DI? Apakah ada pengamat yang
fokus dengan sepatu DI? Tentu ada media atau wartawan yang pertama kali
membesarkan soal sepatu kets ini.
Lalu, menurut berita di Merdeka.com tersebut, saat DI membuat gebrakan naik
kereta api ke Istana Bogor untuk menghadiri rapat kabinet, aksi itu
mengundang perhatian media, sampai-sampai berita hasil rapat kabinet pun
jadi terabaikan. Berikut saya kutip beritanya : “Usut punya usut
ternyata memang rencana Dahlan itu sudah terorganisir secara rapi. Tak
hanya naik kereta, Dahlan makan soto di Stasiun Bogor, naik ojek dan
naik kereta lagi saat pulang menjadi berita hangat.”
Kita tentu masih ingat saat DI mengamuk di pintu
tol Semanggi Jakarta, saat itu pagi-pagi saya sudah mendapatkan foto
aksi DI dari 2 grup BBM yang saya ikuti. Begitu cepat meluas dari
grup-grup BBM, bahkan mengalahkan pemberitaan di internet dan TV.
Ternyata, disitu hadir juga tim medianya yang mengabadikan gambar berupa
foto dan video, lalu tim itu memberi info kepada wartawan. “Tim
medianya kasih info Dahlan abis buka pintu tol. Gambarnya juga
dibroadcast via BBM,” ujar seorang wartawan kepada merdeka.com, Selasa
(5/11), demikian tulis Merdeka.com.
Jika apa yang ditulis Merdeka.com itu benar,
alangkah kecewanya publik yang selama ini sudah begitu terpesona dengan
langkah DI. Saya harap berita itu tidak benar dan masih menunggu
keseriusan DI membuktikan ucapannya tentang 10 anggota DPR pemeras BUMN.
Jika DI punya komitmen untuk memerangi perilaku korup, maka DI-lah yang
harus berinisiatif datang ke KPK.
Saya terpikir untuk membandingkan langkah DI dengan
apa yang sudah dilakukan Mahfud MD pada bulan Mei 2011 lalu. Saat itu
pengacara Mindo Rosalina Manullang yang pertama kali menyebut nama
Muhammad Nazaruddin terlibat kasus suap Sesmenpora Wafid Muharram.
Sontak Nazar membantah keras bahkan mengaku tak kenal dengan “ibu itu”,
tak mau menyebut nama Rosa. Dalam jumpa pers didampingi Ruhut Sitompul
dan Benny K. Harman, Nazar bahkan tersenyum lebar sambil menantang semua
pihak membuktikan keterlibatannya, jangan hanya “katanya…, katanya…,
katanya!”
Dari sanalah Mahfud MD tergerak untuk melaporkan
perilaku tak terpuji Nazar yang pernah mencoba memberikan amplop berisi
uang dolar Singapura kepada Sekretaris MK. Memang, pemberian pada
Sekretaris MK itu sama sekali tak ada hubungannya dengan kasus suap
Sesmenpora. Tapi Mahfud ingin sekali lagi menyampaikan kepada SBY bahwa
Nazar yang menjabat sebagai Bendum Partai Demokrat bukanlah orang
bersih. Mahfud datang ke istana mengajak serta Sekretaris MK. Usai
bertemu SBY, Mahfud diajak melakukan konpers bersama dan Mahfud membuka
semuanya. Sejak saat itu pers dan publik jadi tahu karakter Nazar yang
sebenarnya. Pasca keterangan Mahfud MD itu, Demokrat seolah tak punya
pilihan lain selain memecat Nazar dari posisi Bendum.
Akibat tindakannya itu, Mahfud menuai kecaman dari
rekan separtai Nazar, terutama Ruhut Sitompul. Mahfud dituduh kebelet
jadi Presiden. Namun Mahfud tak surut dengan langkahnya. Karena Ruhut
terus menyerangnya, Mahfud bahkan kemudian membeberkan bahwa ia
sebenarnya sudah lama melaporkan hal ini pada SBY, hanya saja SBY
mendiamkan laporannya, sampai meledaknya kasus suap Sesmenpora. Tak
hanya itu, Mahfud MD pasang badan untuk melindungi bawahannya,
Sekretaris MK, yang berstatus PNS, agar ia tak mengalami tekanan
politis.
Mahfud juga mengatakan bukan hanya Nazar pengurus
DPP Partai Demokrat yang bermasalah hukum. Ketika ditantang, Mahfud
kemudianb membuka kasus dugaan pemalsuan Surat Putusan MK oleh mantan
Komisioner KPU, Andi Nurpati. Mahfud bahkan bisa menunjukkan bukti surat
laporannya kepada kepolisian yang sebenarnya sudah sejak 2010 hanay
saja tak ditindaklanjuti Polri, apalagi Andi Nurpati kemudian keluar
dari KPU dan masuk ke Demokraqt mengikuti jejak Anas Urbaningrum. Dari
celoteh Mahfud dan bukti-buktinya, DPR kemudian membentuk Pansus, Polri
yang lama bergeming akhirnya terpaksa bergerak.
Meski kini kasus itu
mandeg, bola panasnya bukan lagi di tangan Mahfud MD.
Nah, akankah Dahlan Iskan berani bertindak seperti
Mahfud MD? Jangan hanya melempar issu, tapi berikan keterangan langsung
kepada yang berkompeten menangani. Tak perlu berkoar pada pers dulu,
baru jika laporannya tak digubris, pers bisa diberitahu untuk membantu
melakukan trial by the press. Pak DI, rakyat kini semakin pintar.
Hendaknya jangan membuat blunder yang akan jadi bumerang bagi citra diri
Bapak. Bapak seorang profesional, lebih baik tetaplah bersikap
profesional ketimbang bermain-main api dengan politik praktis!
catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer