Seringkali banayk orang berpikir bahwa saat melamar
pekerjaan tak perlu memberikan data yang seluruhnya benar selain
identitas diri yang tertulis dalam kartu pengenal (KTP/SIM). Begitu pun
saat diwawancarai oleh pihak Perusahaan yang “dilamar”, tak perlu
menjawab jujur sepenuhnya. Sebab adakalanya jujur itu merugikan dan bisa
jadi penyebab tak lolos seleksi. Benarkah anggapan itu? Ternyata tidak
demikian. Bisa jadi dalam waktu singkat seolah menguntungkan dan ada
dampak buruknya. Namun untuk jangka panjang dapat berpotensi merugikan
karyawan yang sudah diterima bekerja sekalipun.
Hal yang paling sering disembunyikan oleh pelamar
umumnya status pernikahan. Kenapa? Sebab untuk data ini paling mudah
“disembunyikan”. Bukankah dalam melamar pekerjaan tak pernah
disayaratkan melampirkan Surat Nikah bukan? Dalam KTP, memang ada kolom
“Status”, namun tidak berarti orang yang sudah menikah otomatis data di
KTP akan berubah pula. Untuk mengganti data pada KTP harus didahului
dengan mengajukan perubahan pada KK (Kartu Keluarga). Dari KK inilah
kemudian dipakai sebagai dasar membuat KTP. Jika seseorang yang sudah
menikah tidak melakukan perubahan KK dan kebetulan pula KTP-nya masih
berlaku, maka data dalam KTP yang tertulis pada kolom “Status” tetaplah
tertulis “Belum Kawin”.
Umumnya yang menyembunyikan status pernikahan saat
melamar pekerjaan adalah pelamar wanita. Sebab, seringkali untuk jenis
pekerjaan tertentu yang mutlak membutuhkan kehadiran fisik dari pekerja
setiap hari, perusahaan cenderung memilih pekerja yang masih lajang
ketimbang yang sudah bekerja. Misalnya untuk posisi sekretaris,
resepsionis, public relation, kasir dan beberapa pekerjaan lain yang
pendelegasiannya tidak mudah atau tidak gampang diwakili orang lain.
—————————————————————-
Pernah nonton film “Picture Perfect”?
Tokoh utama wanita di film tersebut mencari laki-laki yang bersedia
pura-pura menjadi suaminya yang dibuktikan dengan foto-foto pernikahan.
Semua itu untuk ditunjukkan demi menunjang karirnya. Si gadis sedang
berupaya agar ia bisa mendapatkan promosi dari tempatnya bekerja. Tapi
ia punya kelemahan dibanding pesaingnya karena ia belum menikah.
Kenapa status lajang dianggap kelemahan? Sebab
perspektif yang berkembang di sana seorang pekerja yang hidupnya masih
melajang dianggap belum settled dan rentan untuk keluar. Pekerja lajang
bisa kapan saja mengajukan resign untuk pindah ke perusahaan lain bahkan
ke kota lain. Sedangkan mereka yang sudah menikah dianggap lebih
terikat pada komitmen karena telah memiliki keluarga, sehingga akan
berpikir berkali-kali kalau akan berpindah-pindah pekerjaan.
Itu yang berkembang di negara barat, atau
setidaknya yang ingin disampaikan oleh film Hollywood tersebut. Di
Indonesia, pertimbangannya justru sebaliknya. Pekerja lajang dianggap
lebih bisa diandalkan untuk ditugaskan ke luar kota sewaktu-waktu, lebih
mudah diajak bekerja sampai diluar waktu kerja normal jika pekerjaan
sedang over load dan lebih tidak rentan minta ijin tak masuk kerja
karena alasan keluarga. Untuk perusahaan yang memiliki cabang di
berbagai kota, pekerja lajang dianggap lebih mudah jika harus menjalani
mutasi ke cabang lain.
Tapi bagaimana pun juga, menyembunyikan status
pernikahan saat melamar kerja bukanlah langkah bijak bahkan akan jadi
bom waktu di kemudian hari. Sebaiknya, lebih baik berterus terang dengan
status pernikahan tapi mampu menunjukkan komitmen untuk bersikap
profesional dan bertanggungjawab terhadap beban kerja. Anda memang harus
menyiapkan jawaban jika ditanya bagaimana sikap anda jika menghadapi
urusan keluarga mendadak sementara pekerjaan tak bisa ditangguhkan.
Tentunya kelak anda pun harus melakukan apa yang sudah dijanjikan saat
wawancara melamar pekerjaan.
Umumnya, pihak perusahaan yang melakukan wawancara
akan lebih menghargai pelamar yang mau berterus terang tentang kondisi
pribadinya. Saya pernah melakukan perekrutan untuk posisi Sekretaris
Eksekutif. Untuk mendapatkan pelamar yang qualified, saya memasang iklan
di sebuah web terkenal yang khusus menjembatani antara pekamar kerja
dengan pemekerja.
Dari seitar 6-7 orang kandidat yang saya panggil untuk
wawancara, ada salah satunya dalam CV yang saya unduh dari web tersebut
tertulis dia belum menikah. Namun pada saat saya wawancarai, dia
langsung mengatakan dirinya sudah menikah. Menurut pengakuannya, CV itu
sudah lama dia unggah sejak dia mendaftar jadi member web tersebut.
Sedangkan dirinya baru menikah 3-4 bulan lalu dan sejak menikah ia lupa
meng-update datanya di web. Saya dapat memaklumi alasannya, sebab yang
lebih penting adalah pengakuan lisannya.
Sebaliknya, Perusahaan kami pernah “kecolongan”
ketika seorang pelamar mengisi formulir biodata dan menuliskan dirinya
belum menikah. Padahal, saat dipanggil wawancara ia baru menikah
seminggu sebelumnya. Memang pada saat melamar ia masih lajang, tapi pada
saat dipanggil untuk mengikuti tes tulis dan wawancara, ia sudah
menikah. Salahnya, dia menulis belum menikah dalam formulir isian yang
disodorkan perusahaan kami dan ketika diwawancara pun dia mengaku belum
menikah. Masalah baru muncul ketika 3 bulan kemudian ia mulai hamil dan
ternyata kehamilannya agak rewel sehingga membuatnya tak bisa bekerja
dengan baik. Takut dituduh hamil diluar nikah, karyawan ini pun
menghadap HRD untuk berterus terang bahwa dirinya sebenarnya sudah
menikah sekaligus meminta dispensasi agar bisa bekerja ringan karena
kondisi kandungannya yang rewel.
Saat itu, pihak HRD yang merasa dibohongi
sebenarnya ingin langsung memberikan sanksi PHKk dengan tidak hormat.
Sebab dalam formulir isian yang dia isi dalam kondisi sadar, terdapat
klausul yang menyatakan bahwa ia bersumpah telah memberikan keterangan
yang benar dan bersedia untuk diperkarakan secara hukum jika kelak
terbukti ada data yang tidak benar. Hanya saja, saat itu kami
mempertimbangkan dari sisi kemanusiaan, akhirnya kami meminta ia membuat
surat pengunduran diri saja dengan alasan kondisi kesehatan yang tak
memungkinkan.
Nah, kembali ke soal kejujuran dan komitmen.
Sebenarnya yang lebih dibutuhkan perusahaan adalah komitmen karyawan
untuk bertanggungjawab atas pekerjaannya pada saat ia dibutuhkan,
terutama sepanjang jam kerja yang semestinya. Jadi bukan terfokus pada
soal status pernikahan. HRD akan lebih respek pada pelamar yang mau
berterus terang dirinya sudah menikah, namun dari hasil pendalaman saat
wawancara, pelamar bisa meyakinkan bahwa dirinya mampu berkomitmen dan
bisa mengatur skala prioritas antara pekerjaan dan keluarga. Ketimbang
mengaku masih lajang tapi ternyata dikemudian hari sering tidak optimal
dalam bekerja karena banyak direcoki urusan pribadi dan keluarga.
Kebohongan lain yang umum dilakukan pelamar adalah
soal pengalaman kerja dan posisi yang diembannya di perusahaan lama.
Untuk menaikkan posisi tawar, ada pelamar yang menghebatkan pengalaman
kerjanya dan memberikan keterangan tidak benar tentang jabatannya.
Padahal, sebutan jabatan di berbagai perusahaan bisa berbeda antara
suatu perusahaan dengan lainnya. Biasanya, untuk mengetahui kemampuan,
kompetensi teknis dan pengalaman kerja pelamar, HRD cenderung
mengeksplorasinya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan spontan
tentang studi kasus tertentu yang terkait dengan pekerjaan yang pernah
maupun akan ditangani pelamar.
Sedangkan untuk menggali sejauh mana kewenangan dan
tanggung jawab yang diberikan kepada pelamar di tempat kerjanya
terdahulu, biasanya HRD lebih suka menggalinya dari sisi rentang kendali
(span of control) dan hirarki pertanggungjawaban formal dari
pelamar di tempat kerjanya yang lama. Meski seorang pelamar mengaku
dirinya pernah menjadi Manager atau bahkan General Manager, penyebutan
jabatan itu tidak otomatis menjadi kata kunci yang baku untuk menentukan
jenjang jabatan yang diemban pelamar. Tingkatan struktur organisasi dan
besar kecilnya organisasi Perusahaan, bisa jadi lebih menentukan.
Misalnya dengan mengukur seberapa banayk karyawan yang dibawahi,
bagaimana jenjang pelaporan dan pertanggungjawabannya, seberapa banyak
kewenangan yanggg diberikan dan apakah ia memiliki kewenangan untuk
mengambil keputusan.
Nah, daripada kelabakan saat diwawancara atau
ketahuan dibelakang hari saat sudah direkrut, lebih baik memberikan
keterangan yang sebenarnya saat menuliskan CV dan saat diwawancara. Yang
lebih penting adalah bagaimana pelamar mampu menunjukkan kepada pihak
perusahaan, terutama user terkait yang akan menggunakan kemampuannya,
bahwa dirinya mampu dan mumpuni, serta punya komitmen terhadap
pekerjaan. Bagaimana pun, kejujuran itu buahnya pasti lebih manis meski
pada awalnya seolah beresiko memperkecil peluang untuk lulus.
catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer