Karena kemarin-kemarin saya agak jarang nonton
berita TV, baru pagi tadi saya tahu kabar tentang seorang nenek pemulung
berusia 65 tahun yang hampir seluruh rambutnya sudah memutih, berqurban
2 ekor kambing. Kaum urban Jakarta yang selama ini selalu jadi “beban
sosial – ekonomi” Jakarta, ternyata mampu berqurban karena rasa “malu”.
Ya, “MALU, seumur hidup hanya minta daging qurban”, kata Mak Yati. “Saya
pikir sekali seumur hidup masa tidak pernah kurban” itu kegalauan yang
menyinggahi hati Mak yati 3 tahun lalu.
Diluar dugaan, tahun ini ternyata bukan hanya 1
ekor kambing yang bisa diqurbankan Mak yati. Ia dan suaminya, Pak Maman,
yang sama-sama pemulung, bisa membeli 2 ekor kambing seharga Rp. 1 juta
dan Rp. 2 juta untuk disumbangkan ke Masjid Al Ittihad, sebuah Masjid
megah yang terletak di kawasan elite Tebet Mas, Jakarta Selatan. Bahkan
kabarnya salah satu kambing Mak Yati itu menjadi kambing yang tersebesar
diantara 27 ekor kambing milik pengqurban lainnya yang disalurkan
melalui masjid tersebut.
Kontan saya merasa tertampar! MALU!!! Kalau saja
saya sumbangkan kambing qurban saya ke masjid yang sama, bisa jadi
kambing qurban saya pun kalah besar dari kamb ing qurban Mak Yati.
Memang, Allah tak menilai qurban seseorang dari besar – kecilnya atau
berat – ringannya timbangan daging hewan qurban. Yang dinilai Allah
adalah keikhlasan niat dan ketaqwaan kita. Hanya saja, saya jadi merasa
perlu mengevaluasi diri : selama ini sudahkah saya berusaha memberikan
yang terbaik, terbesar, ter-maksimal yang bisa saya berikan untuk
mengikuti perintah Allah?
Tiap tahun, saya tak pernah secara khusus menabung
untuk membeli hewan qurban. Padahal penghasilan saya sebulan kalau
dikonversi ke nilai harian, tentunya lebih dari penghasilan Mak yati dan
suaminya memulung sampah yang hanya dapat Rp. 25.000,- bahkan kadang
kurang setiap harinya. Entah berapa rupiah yang mereka sisihkan,
sehingga 3 tahun terkumpul 3 juta. Kalau dibuat rerata setahun terkumpul
sejuta rupiah, boleh dibilang Mak yati dan suami harus menyisihkan Rp.
3.000,- setiap harinya. Junmlah ini setidaknya 1/8 dari penghasilan
hariannya.
Saya lalu mencoba menghitung penghasilan saya
sebulan, saya bagi 30 hari, ketemulah angka rerata penghasilan saya
sehari (meski saya hanya bekerja 5 hari seminggu alias maksimal 22 hari
kerja sebulan). Lalu angka itu saya bagi 8, maka didapatlah nilai rupiah
yang “seharusnya” saya sisihkan etiap hari kalau saya ingin meneladani
Mak Yati. Lalu, kalau saya menyisihkan sejumlah itu, maka selama 30 hari
(sebulan) saya akan mendapatkan angka sekian ratus ribu dan kalau
dikalian 12 bulan dalam setahun akan menjadi sekian juta.
Masya Allah! Betapa kagetnya saya! Dengan angka itu
berarti setahun saya bisa berqurban 4 ekor kambing yang cukup besar.
Tapi apa yang bisa saya qurbankan selama ini?! Setiap tahun saya
memandangi deretan angka harga kambing qurban, lalu memilih yang tidak
terlalu besar, yang “terjangkau” untuk ukuran dompet saya, itu alasan
yang saya berikan pada diri sendiri. Paling praktis lagi berqurban pada
lembaga yang sudah menasional, sudah memiliki jaringan penjualan dan
pendistribusian hewan qurban, sehingga konversi harag hewan qurban yang
mereka tetapkan relatif murah. Meski konsekwensinya kita harus merelakan
1/3 bagian yang menjadi hak kita, karena biasanya daging qurban
didistribusikan secara nasional ke tujuan yang telah ditetapkan lembaga
itu.
Saya betul-betul malu pada tekad dan kesungguhan
Mak Yati untuk berqurban, sampai sebegitu konsistennya dia menabung dan
tidak digunakannya untuk hal lain. Padahal umumnya orang “miskin” jarang
bisa menabung karena sedikit saja uang terkumpul, selalu saja ada
kebutuhan lain yang lebih mendesak, lalu uang apapun yang ada
dipakailah. Tekad dan konsistensinya itu berbuah manis.
Sekarang mari kita coba berhitung, jika gaji kita
sebulan Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah), maka sehari penghasilan
kita Rp. 100.000,00. Artinya, kalau disisihkan 1/8-nya seperti Mak yati,
maka setiap hari kita harus menabung Rp. 12.500,00 (dua belas ribu lima
ratus rupiah). Sebulan bisa terkumpul Rp. 375.000,00 dan setahun bisa
mencapai Rp. 4.500.000,00. Kalau dibelikan kambing yang harganya Rp 1,5
juta per ekor, kita bisa berqurban 3 ekor kambing ukuran tak terlalu
besar.
Nah, bagaimana lagi dengan orang-orang yang penghasilannya lebih
besar dari 3 juta per bulan? Bagaimana dengan mereka yang berpenghasilan
puluhan juta sebulan, apa masih pantas berqurban seekor kambing dalam
setahun?
Mak Yati adalah sebuah tolok ukur. Tolok ukur atas
kesungguhan dan tekad untuk berqurban, tolok ukur atas keikhlasan
merelakan 1/8 penghasilannya ditabung supaya bisa berbagi, supaya bisa
berubah dari tangan di bawah (pengantri daging qurban) menjadi tangan di
atas (pemberi daging qurban). Ukuran pahala dan sebagainya, memang
rahasia Allah. DIA-lah yang mengukur tingkat ketakwaan kita, seperti
dalam firman-NYA : [QS. 22 : 37] “Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan)
Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah
Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah
terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada
orang-orang yang berbuat baik.”
Kalau Mak Yati yang kesehariannya hanya hidup dari
barang “sisa” saja bisa, seharusnya kita lebih bisa. Bukankah sampah
adalah barang yang sudah tersisa dari kita?
Sudah tak kita kehendaki
lagi keberadaannya di rumah kita. Lalu Mak Yati dan Pak Maman suaminya
memunguti apa-apa yang menurutnya masih bisa dijual. Rasanya malu kalau
tiap tahun hanya melirik harga kambing di deretan bawah, alasannya
“sesuai kemampuan saya”, padahal sebenarnya saya sama sekali BELUM
MEMAKSIMALKAN kemampuan saya. Mungkin sebagian dari kita – termasuk saya
– malah kerap berkilah : tahun ini saya banyak pengeluaran, tahun ini
saya harus bayar ini-itu, tahun ini ada keluarga yang sakit dan dirawat
habis biaya sekian, jadi tahun ini gak qurban dulu aah…, atau… tahun ini
qurbannya yang paling kecil saja.
Ah…, saya benar-benar malu! Mak Yati saja bisa
konsisten, uang yang sudah diniatkan ditabung untuk beli kambing qurban,
tak pernah diganggu untuk hal lain. Terima kasih Mak Yati, sudah
“menampar”ku, sudah mempermalukanku pada diri sendiri, sudah memberikan
satu teladan nyata bahwa sebenarnya kita bisa kalau tak banyak alasan.
Semoga saya bisa meniru Mak Yati. Amin.
catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer