foto : pajak.go.id |
Sudah 2 minggu ini pemberitaan diramaikan saling
lempar pernyataan dan saling tuding antara Menteri BUMN Dahlan Iskan
dengan beberapa anggota DPR yang terhormat dari berbagai fraksi. Yang
satu memang sedang disanjung dan di puja puji setidaknya setahun
belakangan ini karena aksinya yang santai (bersepatu kets ke istana),
cuek (naik ojek menghadiri rapat kabinet) dan merakyat (naik KRL, makan
soto di kaki lima). Sedang yang lainnya sedang dibenci dan dijadikan
tumpahan kekesalan masyarakat akibat banyaknya kasus dugaan korupsi,
suap, makelar proyek dan kong kalikong anggaran yang dilakukan beberapa
(banyak) anggotanya.
Maka, bisa ditebak kemana larinya simpati publik.
Meski tak mengenal banyak Dahlan Iskan dan tak tahu pasti
permasalahannya, masyarakat lebih memposisikan diri berada di pihak
Dahlan Iskan. Apalagi belakangan DI juga mengusung issu “BUMN sapi perah
DPR”. Sebuah issu yang ibarat kentut sudah sejak lama tercium bau
busuknya, tapi tetap tak ketahuan dari mana keluarnya gas buangan
metabolisme itu. Sejak jaman ORBA, partai penguasa saat itu memang
seolah menguasai BUMN. Ketika kekuasaan berganti, posisi Menteri BUMN
selalu diisi oleh “orang dekat” Presiden. Jaman Gus Dur jadi Presiden,
Menteri BUMN dipegang Moenir. Saat Megawati kebagian giliran berkuasa,
Laksamana Sukardi didapuk jadi Menteri BUMN. Ini menunjukkan betapa
strategisnya kementrian yang mengurusi lebih dari 100 perusahaan plat
merah itu.
Tetapi baiklah kita letakkan setiap persoalan pada proporsinya. Ada hasilaudit BPK yang menyatakan PLN pada tahun 2010 berpotensi merugikan negara sebesar Rp. 37 triliun karena adanya in-efisiensi
pemakaian BBM sebagai sumber energi pembangkit listrik. Disebutkan
“berpotensi” dan “in-efisiensi” karena seharusnya ada peluang atau
setidaknya ada kemungkinan untuk melakukan penghematan jika memakai gas,
yang menurut perhitungan BPK nilainya Rp 37 T, sedang menurut Di
seharusnya malah lebih besar dari itu.
Dalam hal ini Di mengakui dirinya saat menjadi
Dirut PLN telah mengambil kebijakan menggunakan BBM sebagai sumber
energi bagi pembangkit listrik yang menjamin pasokan listrik DKI. Hal
ini, menurut Dahlan karena gas yang dijanjikan ternyata tidak ada.
Dahlan bahkan mengaku saat itu dirinya sempat ke Iran untuk membeli gas,
bahkan sempat menginstruksikan Direksi di bawahnya untuk menjajagi
kemungkinan PLN membeli sumur gas. Alhasil, DI tak memungkiri potensi
kerugian itu memang ada dan jika kebijakannya dianggap keliru, maka
dirinya siap mempertanggung-jawabkan, bahkan sampai masuk penjara
sekalipun. Dalam 2x wawancaranya di Metro TV, Dahlan dengan firm
mengucapkan kalimat “saya bersedia dipenjara”. Bahkan dalam kesempatan
menjadi tamu di acara Mata Najwa, yang ditayangkan Rabu, 31 Oktober 2012
malam, Dahlan menambahkan jika itu terjadi dirinya dengan ikhlas akan
menjalani hukuman, berjanji tak akan membela diri dan tak akan
menangis-nangis dan bertingkah lebay.
Saya pribadi menghargai sekaligus salut dengan
pernyataan DI ini. Setidaknya DI tidak berpura-pura lupa dengan kejadian
saat ia memimpin PLN, seperti umumnya pejabt yang terserang “amnesia”
dadakan. DI juga tidak seperti Andi Mallarangeng yang selalu berkilah ia
hanya meneruskan kebijakan pendahulunya (yang membuata mantan Menpora
Adhyaksa Dault meradang) atau menyatakan tak tahu menahu karena itu
urusan anak buahnya.
Pernyataan DI yang diulang 2x dalam kesempatan dan
waktu yang berbeda, tampak lebih masuk akal dan meyakinkan ketimbang
sumpah Anas bersedia digantung di Monas jika terbukti 1 rupiah saja
korupsi dana Hambalang. Masuk akal karena DI tak menggunakan perumpamaan
yang tak dikenal (misalnya pecahan 1 rupiah) dan realistis karena ia
menyebut penjara dan tak mengkhayalkan digantung di Monas. Meyakinkan
karena Di berani mengulangi pernyataannya, sedangkan Anas sekarang
justru tampak enggan dan sedikit berang jika sumpahnya itu diungkit.
Maka, jalan terbaik bagi DI untuk
membuktikan dan menguji kebenaran keputusannya adalah : segera bersikap
kooperatif dengan menghadiri undangan Komisi VII DPR untk RDP terkait
temuan BPK itu. Tentu saja Di berhak membawa serta siapa saja
yang saat itu tahu proses pengambilan keputusan, membeberkan semua data
dan fakta yang melatarbelakangi pengambilan keputusan dll yang
diperlukan. Ini bukan bentuk membela diri, tapi bagian dari keterbukaan
untuk menlusuri apakah DI sebagai Dirut PLN saat itu memang telah
mengupayakan dengan sungguh dan dan mensinergikan semua potensi PLN
hingga sampai pada satu titik tak ada pilihan lain selain menggunakan
BBM.
Nah, kalau DI sudah bersedia mempertanggungjawabkan
keputusannya yang dinilai in-efisien, lalu bagaimana dengan DPR
sendiri? Sudahkah DPR sebagai sebuah lembaga dengan 550 anggota yang
terdiri dari 9 fraksi secara bersama-sama melakukan introspeksi atas
setiap keputusan politis yang mereka buat? Benarkah DPR relatif efisien
dan tak pernah melakukan pemborosan keuangan negara? Benarkah DPR telah
bekerja dengan efisien sehingga target legislasi terpenuhi?
Yang paling sering kita dengar cerita DPR plesiran
ke luar negeri.
Sekitar sebulan lalu TV One malah pernah menggelar acara
ILC yang topiknya khusus membahas betapa tak efektif dan tak efisiennya
studi banding DPR ke luar negeri. Lengkap dengan testimoni beberapa
perwakilan mahasiswa Indonesia di Jepang, Malaysia, Jerman, Belanda,
Perancis, dll. Kita tentu sudah pernah dengar cerita konyolbin lucu
tentang sekelompok anggota DPR yang terpotret sedang bersampan menyusuri
kanal di Denmark, disela-sela studi banding soal logo PMI ke Turki.
Alasan studi bandingnya saja sudah lucu dan “gak penting banget”.
Bukankah kalau hanya menggali sejarah lambang palang merah sedunia, bisa
dilakukan melalui internet bukan?
Begitu pula saat mereka studi banding soal “etika”
ke Yunani, yang hasilnya tak membuat anggota DPR kita jadi tampak lebih
beretika. Dan masih banyak lagi studi banding tak begitu penting dan
mengada-ada, yang ujung-ujungnya selalu kepergok mereka sedang
berbelanja di pusat-pusat belanja mewahh di negeri orang. Belum lagi
perilaku mereka membawa istri dan keluarganya saat studi banding.
Bukankah ini jelas-jelas pemborosan yang tak perlu? Bukan saja sekedar
sebuah potensi, tapi sebuah fakta! ICW, FITRA dan beberapa LSm lain
sudah sering membeberkan fakta dan data yang mereka punya.
Belum lagi keputusan membuat ruang rapat banggar
senilai 20 miliar, meski akhirnya diubah total, bukankah sudah sempat
ada dana yang keluar? Juga pengadaan mesin absensi sidik jari yang
menelan biaya 4 miliar, padahal harga finger print hanya 2,5 – 6
jutaan saja. Saya pernah menuliskannya setahun lalu dan di-HL-kan oleh
Admin. Begitupun pembangunan area parkir motor yang menelan biaya 3
miliar meski akhirnya setelah jadi parkiran motor itu lebih banyak
melompong tak terpakai. Juga renovasi toilet berbiaya 2 miliar dan
rencana pembangunan gedung baru senilai 1,7 triliun yang dibatalkan
karena besarnya hujatan publik.
Saya sebagai rakyat kebanyakan, sering berpikir :
kalau DPR membuat keputusan yang tidak efisien dan boros, kerugian
negara itu sudah jelas dan bukan sekedar potensi, lalu siapa yang berhak
memanggil DPR? Mencecar mereka dalam “dengar pendapat”?! Bukankah
mereka wakilkita tapi tak pernah mendengarkan pendapat kita lagi? Jadi,
sebenarnya DPR memanggil Dahlan Iskan dan akan mengadili keputusannya
itu demi rakyat atau demi gengsi semata? Dan kalau DPR juga mati-amtian
berkelit bahwa mereka telah bekerja keras dan berusaha menyelematkan
uang negara, apakah itu benar demi rakyat atau demi citra diri, partai
dan profesinya agar 2014 masih laku dipilih?
catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer