Gundah gulana. Kata ini hadir di benakku. Kuwas-was usai melirik artikel di Kompas.com: Waspadai Anak Sekolah Direkrut Jadi Teroris. Artikelku
ini, burai kecemasan atas nasib putraku -juga putra Anda- kelak jika
benar-benar teroris itu menyasar anak sekolah sebagai area pengaderan
(rekrutmen). Terbayang mimpi buruk itu, dada putraku bergantungan bom bunuh diri, berlilitan kabel-kabel, tewaskan puluhan manusia, hancurkan segala apa di seputarnya.
Pembaca
Para orangtua
Para guru
Yang kumuliakan.
Para orangtua
Para guru
Yang kumuliakan.
Anak-anak kita sedang dalam intaian teroris, mereka target empuk untuk menyandang gelar ‘teroris muda’. Kusebut teroris muda setelah mencermati dengan seksama ucapan
mantan anggota Jemaah Islamiyah (JI) Nasir Abas mengingatkan agar semua
pihak mewaspadai rekrutmen teroris yang mulai menyasar anak sekolah.
Selanjutnya, kekhawatiranku sangat beralasan -dari sisi psikologik-
sebab anak sekolah yang dalam Psikologi Perkembangan disebut sebagai
remaja awal-remaja akhir.
Kecemasankupun berjengger-jengger
setelah memahami bahwa masa remaja sebagai periode peralihan, yaitu
peralihan dari masa kanak-kanak ke peralihan masa dewasa, di usia ini
hadir periode perubahan, periode usia bermasalah. Berikutnya, zona usia
sebagai era mencari identitas, ‘usia ketakutan’ dengan bergamnya bentuk
penyesuaian diri.
‘Risetlah’ anak remaja kita jika kita
bersamanya. Maka Anda akan menemukan perilaku mereka, persis yang
terdapat di ruas buku Psikologi Umum (Usman Effendy). Remaja tidak
stabil, keadaan emosinya goncang, mudah condong kepada ekstrim, sering
terdorong, bersemangat, peka, mudah tersinggung, dan perhatiannya
terpusat pada dirinya.
* * *
Pembaca sekalian.
Tulisan ini bukanlah ‘teror’ namun jika
Anda sebagai orang tua dan tetap merasa aman-aman saja, maka berbedalah
perasaanku dengan Anda. Sebab, kini kuberandai-andai, ber-nightmare.
Bagaimana jadinya jika putraku jadi teroris dan tiada sama sekali
firasatku akan tindakan kekerasan yang ia lakukan. Dan, hari ini
kuberjanji akan bersosialisasi dan berinteraksi dengan putraku untuk
urusan ‘maha berat’ yang satu ini.
* * *
Kutakut terlambat mem-protek pikirannya
akan ‘gerakan cuci otak’ yang bakal dilakukan oleh para teroris. Sebelum
semuanya terjadi, biarlah saya selaku ayah mengalokasikan waktu
istimewa untuk mengisi otaknya dengan pikiran-pikiran yang humansitik.
Kutakut jika pikiran-pikiran dehumanistik akan rasuki dirinya dan
menciptakan bentukan-bentukan ‘perilaku baru’ yang berorientasi kuat
‘tuk lenyapkan nyawa orang lain, nyawa sesama.
* * *
Dan ikrarkan dalam pikiran, batin dan
seluruh isi kalbu Anda, katakan: “Saya tak rela menjadi ayah dari
seorang teroris…!”. Selanjutnya, apa yang wajib Anda lakukan untuk
mencegah semua itu?. Pikirlah baik-baik dan waspadalah….!!!. Sebab
anak-anak kita dalam intaian teroris yang mematikan itucatatan Muhammad Armand freedom writers kompasianer