MENELUSURI kawasan Palinggam, dari arah pantai Padang, menuju arah Pulau Air - - nama sebuah kawasan, bukan pulau — melewati bangunan-bangunan tua, menjadi saksi sejarah kesibukan perdagangan di pelabuhan Pantai kota Padang, Sumatera Barat. Beberapa bangunan bak ruko era silam, berlantai dua dengan pilar-pilar kayu ulin bercat kusam mengelupas.
Setiap menyimak bangunan seperti itu ingatan saya selalu melayang ke kawasan Tanjong Pagar, Singapura. Bangunan sejenis, mirip abis, di sana dipugar. Bentuk aslinya, baik kontruksi, pintu dan jendela dibiarkan sama. Dinding dicat baru, suasana elok, ruangan berpendingin. Kini banyak dihuni bagi perkantoran dan restoran modern. Makan di salah satu kedai di kawasan itu, selain menggoyang lidah, menikmati suasana, menjadi pengalaman tersendiri.
Menjadi pertanyaan, mengapa di Padang bangunan demikian dibiarkan saja?
Di tengah pertanyaan itu membuncah di benak, mata saya tertuju ke sosok seorang bapak. Ia mangkal di sebuah pertigaan bersebelahan dengan bangunan gudang di bagian atasnya bertuliskan 1906. Namanya Aljasir
Ia sudah mangkal di sana sejak 1978. Di atas “kereta dorong” beroda sepeda tiga, di atasnya bagaikan meja, menampung sebuah panci aluminium berdiameter selengan orang dewasa. Di dalamnya cincau hijau. Di depan panci, berderet botol segi empat, mirip botol minuman keras Johny Walker. Sebuah botol pantatnya saya angkat, tertera tulisan; Liquer, Scotland, nomor seri 1260V. Deretan botol itu disekat kotak-kotak kayu.
Di dalam botol berisi air berwarna hijau daun, ada 36, racikan dari daun kacang tujuh. Di samping kiri botol ada pula berisi gula enau. Di sebelah kanan botol air hitam. Warna hitam itu konon air dari daun Samiloto, berkhasiat untuk penyakit diabetes.
Tidak ada judul di kereta dagangan itu.
“Ini Ubek Tawa,” ujar Aljasir.
Penasaran akan yang disebut Ubek tawa itu saya memesan segelas.
Saya perhatikan bapak itu mengambil salah satu botol berisi air gula merah, lalu menuangkan botol air hijau, menambahkan dua sendok besar cincau hijau, memberi air peras jeruk nipis, plus air dari sebuah botol berisi kuning kehijauan - - konon ini aroma jeruk sitrun. Adonan itulah yang disebut Ubek Tawa.
Jika mangacu ke judul Ubek Tawa, dalam bahasa Indonesia dapat diartikan Obat Tawar. Namun minuman itu setelah saya tenggak, dominan berasa beraroma daun cincau dan jeruk nipis manis gula merah. Air daun hijau itu merupakan perasan daun kacang tujuh.
Untuk mendapatkan cincau sapanci besar itu, Aljasir mengaku menggodok daun cincau satu plastik kresek hitam besar. Sedangkan mendapatkan 36 botol air kacang tujuh, ia memeras 8 ikat daun kacang tujuh. Per ikatnya segenggaman orang dewasa.
“Kasiat minuman ini untuk panas dalam, antara lain.”
Saya pun menyimak ada telur itik di rak bagian atas dagangan Aljasir. Saya penasaran untuk apa pula telur bebek itu? Rupanya jika mau, pembeli bisa menambahkan ke kuning telur bebek. Mengadonkannya, kuning telur dikocok, baru dimasukkan racikan Ubek Tawa bak di atas. Maka di gelas akan keluar menuman berbusa mengundang selera.
Saya coba gelas kedua, terasa segar di lidah, tak ada sama sekali aroma amis telur. Penasaran juga mengapa bisa? Bisa jadi telur itu kalah oleh rasa jeruk, daun kacang tujuh dan cincau.
Aljazir mengaku bermodalkan Rp 150 ribu sehari. “Jika hari baik, tidak hujan, penjualan sehari terkadang lebih Rp 500 ribu,” ujarnya. Jika hujan, orang tak banyak keluar rumah, omzetnya hanya di kisaran Rp 300 ribu saja. Jika rata-rata penjulannya sehari Rp 400 ribu, maka Rp 250 ribu perhari untung bersihnya. Itu artinya setidaknya ia mendapatkan Rp 7,5 juta sebulan.
Dari berjualan Ubek Tawa, Aljasir mengaku mampu menyekolahkan anaknya dua orang. Satu sudah bekerja dan seorang lagi masih kuliah. Ia pun mengatakan sudah membangunkan rumah untuk anaknya dalam skala kecil.
Sejak 1978, pria yang berpantalon coklat, bersandal kulit hitam itu konsisten berjualan di lokasi itu. Kendati tak mengenal istilah manajemen pemasaran modern, agaknya, inilah disebut kiat mudah diingat orang itu. Konsisten berada di tempat sama.
Saya perhatikan setiap orang yang lewat di kawasan itu, disapanya, dominan menngenalnya. Entah karena dikenal itu, ia tak menaruk judul apapun di gerobak dagangannya itu. Alam seakan mengenalkannya ke publik pelanggan.
Saban hari ia di lokasi dari pukul 16 hingga pukul maksimal 23 malam. Saya perhatikan selama duduk di bangku panjang yang disediakan bagi pembeli, sudah ada 6 orang yang duduk membeli dan 3 orang minta dibungkus. Seorang Bapak tua dengan tetap di atas motornya, dengan raut wajah diam, langsung dibuatkan Ubek Tawa pakai telur itik. Sesosok muda sangaja datang bersepeda, kepada saya mengatakan Ubek Tawa minuman segar menyehatkan.
Di literatur saya coba cari di internet, tidak menemukan apa saja khasiat Ubek Tawa. Namun saya menyimak ada situs internet kaos bermerk Kapuyuak, membuat desain khas Ubek Tawa, warna hijaunya khas, mirip sekali dengan hijau daun kacang tujuh di botol-botol Ubek Tawa. Tampak sekali produsen t-shirt itu menangkap tajam bahwa Ubek Tawa sudah menjadi bagian unik minuman bersejarah kota Padang.
Dalam perjalanan pulang ke kawasan kediaman Dinas Gubernur Padang, di mana di aulanya, pada 20- 21 Oktober ini berlangsung Pelatihan Jurnalis Warga dan Reportase. Menulis literair dan reportase ini bagian tugas yang saya berikan ke peserta; Saya pun menugaskan diri sendiri melakukannya. Lantas saya menyimak dari taksi, di tepi jalan lain ada juga penjual Ubek Tawa lainnya.
Di lokasi berbeda itu, sudah ada tambahan jamu ber-merk bersase terlihat di rak kacanya. Jadi, Ubek Tawa plus jamu. Berbeda sekali dengan Ubek Tawa ala Aljasir murni alami, kecuali satu tambahan sitrun.
Membayangkan wajah Aljasir selalu tersenyum melayani pembeli, pada sosok sepertinya saya dapat berkaca akan sebuah etos kerja luar biasa, konsisten pada apa dipercayainya menghasilkan, mulia berdiri di telapak kaki sendiri, di tempat sama.
catatan Iwan Piliang