Makin seru saja perang tanding antara cicak melawan
buaya episode ke-2 ini. Ranahnya sudah meluas kemana-mana. Bukan hanya
perang opini di media massa dengan melibatkan pendukung masing-masing,
kini bahkan sudah menyeret lembaga tinggi negara lainnya, seolah dipaksa
untuk menunjukkan keberpihakannya.
Adalah para pengacara Irjen Polisi Djoko Susilo
yang meminta fatwa hukum kepada Mahkamah Agung, untuk menentukan siapa
yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan atas kasus dugaan korupsi
pengadaan alat uji simulator SIM. Mereka adalah para pengacara terkenal,
tentunya paham betul tata cara dan aturan bagaimana meminta fatwa hukum
pada MA. Senin kemarin Ketua Muda MA Bidang Pidana Khusus, Djoko
Sarwoko menyatakn : ”MA tak akan mengeluarkan fatwa hukum, sebab yang berhak meminta fatwa MA hanyalah lembaga negara”. Dengan kata lain, MA tak akan melayani permintan perorangan!
Dengan sikap MA seperti itu, maka mestinya besok, tanggal 5 Oktober 2012, tak ada lagi alasan bagi Irjen. Pol. Djoko Susilo untuk menolak panggilan pemeriksaan oleh KPK.
Aneh sebenarnya, ketika DS menolak diperiksa oleh KPK dengan alasan
masih menunggu putusan MA – siapa yang berhak memeriksa kasus ini : KPK
atau Polri – sementara ia sudah memenuhi panggilan Polri. Bukankah
seharusnya DS tak mau dipanggil lembaga penegak hukum mana pun –
termasuk Kepolisian – sebelum ada putusan MA?
Pasca penolakan DS untuk memenuhi panggilan KPK,
Kapolri Jendral Timur Pradopo ditanya wartawan soal bersediakah beliau
datang jika dipanggil KPK terkait kasus ini, mengingat Kapolri lah yang
membubuhkan tanda tangan pada surat keputusan penunjukan vendor dalam
pengadaan alat uji simulator SIM itu. Dengan tegas dan spontan Kapolri
menjawab dirinya bersedia. Bahkan Kapolri meminta DS untuk memenuhi
panggilan KPK.
Nah, jika apa yang dikatakan Kapolri ini memang benar tulus dan bukan retorika semata, maka seharusnya
penolakan DS untuk memenuhi panggilan KPK dapat dikategorikan sebagai
bentuk penolakan / pembangkangan perintah atasan. Logikanya,
jika Polri memegang teguh doktrin patuh pada komando atasan, mestinya DS
diberi sanksi. Bukankah DS masih Jendral Polisi aktif yang terikat pada
kode etik Kepolisian yang mengharuskannya patuh pada perintah atasan
dan bukan pada saran pengacara?
Kini, yang menghimbau DS untuk memnuhi panggilan
KPK bukan hanya Kapolri, tapi juga Menkopolhukam. Akankah himbauan para
petingi Polri dan militer ini hanya jadi macan ompong belaka? Akankah
dikalahkan oleh perang urat syaraf yang dilancarkan para pengacara DS?
Kita akan bisa lihat 5 Oktober besok. Demi harga diri dan kehormatan
Irjen. Pol. Djoko Susilo dan institusi Polri, seharusnya DS dengan gentle
memenuhi panggilan KPK. Inilah kesempatan bagi DS menunjukkan dirinya
bersih. Dengan mengulur-ulur proses pemeriksaannya, sama saja DS
mengijinkan dirinya dan Polri jadi bulan-bulanan media massa. Semakin
besar resistensi DS menolak panggilan KPK, makin besar pula kecurigaan
publik. Kalau bersih, kenapa harus risih Jendral?
TUDUHAN WAKAPOLRI : KPK HABISKAN DANA BESAR MEMBAYAR KONSULTAN PENCITRAAN
Kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM ini seolah membuat Polri tersengat. Mereka
kompak menghadapi KPK. Irjen DS tak dibiarkan menghadapi masalahnya
sendiri. Setidaknya perang urat syaraf dan opini untuk mendelegitimasi
KPK dilancarkan. Salah satunya lewat pernyataan Wakil Kepala Polri
Komjen Pol. Nanan Sukarna pada 26 September 2012 lalu. Nanan menuduh KPK mengeluarkan dana sangat besar untuk membayar konsultan pencitraan.
Entah fakta apa yang mendasarI Nanan melontarkan sinyalemen itu. Apakah
Nanan bisa membuktikan tuduhannya atau tidak, masih perlu diuji.
Metro TV pernah membahas tuduhan ini dalam sebuah
dialog. Sayangnya Kabag. Penum. Div. Humas Mabes Polri, Agus Rianto,
yang menjadi nara sumber mewakili Polri, tak bisa secara spesifik menjelaskan tuduhan yang dilontarkan Wakapolri indikasinya apa.
Sebaliknya, Alex Laay, pengacara KPK, menjelaskan bahwa para pengacara,
praktisi hukum, penggiat anti korupsi, tokoh masyarakat, akademisi dan
pemuka agama yang sejak kasus cicak vs buaya tahun 2009 lalu berada di
belakang KPK, semuanya melakukan semata untuk memberikan dorongan moril
kepada KPK, karena semangat melawan korupsi. Mereka melakukannya dengan sukarela, tanpa dibayar.
Seolah hendak menjawab tuduhan Wakapolri, kemarin,
Senin petang, 1 Oktober 2012, sejumlah tokoh masyarakat dan tokoh agama
mendatangi gedung KPK untuk sekali lagi menegaskan dukungannya pada KPK
yang sedang dikeroyok DPR dan Kepolisian. Sulit membayangkan para tokoh
senior itu dibayar atau setidaknya disuruh datang oleh konsultan
pencitraan. Apakah para tokoh yang sudah punya nama itu mau disetir
hanya demi uang?
Saya masih ingat ketika kasus dugaan korupsi
simulator SIM ini sedang panas-panasnya setelah KPK menggeledah gedung
Korlantas Polri. Di tengah panasnya perang urat syaraf, Polri menggelar
buka puasa bersama yang mengundang Ketua KPK dan Presiden SBY. Dari
tayangan TV, setting acara buka puasa bersama itu termasuk meriah dan
mewah. Ibarat sebuah resepsi makan malam. Di tempat berbeda, yaitu di
gedung KPK, pimpinan KPK lainnya – selain Abraham Samad, yang sedang
menghadiri undangan Kapolri – berbuka puasa bersama beberapa tokoh dan
pemuka agama. Tampak sekali suasana buka puasa itu sangat sederhana.
Takjil yang disiapkan hanyalah sekotak kue dan minuman dalam gelas
plastik. Hidangan buka puasa pun hanyalah nasi kotak. Sama sekali jauh
dari kesan istimewa apalagi mewah. Jika KPK sengaja membuat perhelatan
buka puasa bersama dengan mengundang sejumlah tokoh yang dirancang oleh
konsultan pencitraan, tentunya setting acara tak sesederhana itu.
Wakapolri bukanlah orang sembarangan. Sebagai
orang nomor dua di jajaran Polri, tentu dan sudah selayaknya Komjen
Nana Sukarna tidak sembarangan mengeluarkan pernyataan. Kalau beliau
mengeluarkan tuduhan KPK mengeluarkan dana besar untuk membayar
konsultan pencitraan, semestinya ada bukti permulaan yang dia yakini
mengarah kesana. Bisakah Nanan mempertanggungjawabkan
tuduhannya? Jangan lupa, Nanan adalah petinggi Polri yang setiap
kata-katanya seyogyanya didukung bukti kuat dan bukan dugaan tanpa
alasan.
Demi harga diri dan kehormatan para tokoh yang
selama ini berdiri di belakang KPK dan terus memberikan dukungan moril
kepada KPK, tak ada salahnya jika mereka menuntut Wakapolri untuk
membuktikan tuduhannya. BPK sudah melakukan audit atas KPK. Tentu bisa
ditelusuri jika ada dana besar yang mengalir ke konsultan pencitraan.
Nah, beranikah Wakapolri membuktikan tuduhannya? Kalau benar, kenapa harus ragu Jendral?
catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer