Cinta itu seperti bisul. Jika ditelantarkan dia akan
semakin besar dan menyakitkan. Dalam hal ini Bonang yang mencoba
melupakan perasaannya pada Nisye, cewek kece yang ditemuinya di Plaza
Senayan benar-benar melakukan kesalahan fatal.
Bonang terlalu banyak waktu untuk menyendiri. sejak mencicipi es krim Hagen Daz gratis dan memandang bidadari wangi itu, Bonang lebih banyak terduduk di kasurnya yang berbau iler untuk menulis diary. Jelas perlahan-lahan sang bisulpun membesar. Pada puncaknya sakit yang diderita Bonang tidak bisa dia tanggung lagi. Bonang lalu memutuskan untuk membedah sang bisul, dia akan mentuntaskan perasaannya pada Nisye.
Sabtu itu Bonang bolos sekolah. Dia memborong Mang Abung supir Bajaj di gang sebelah untuk membantunya melacak dan membuntuti Nisye dari seberang SMA 6 di Bulungan. Duit untuk menyewa Abung, adalah duit colongan dari celengan si Ucok – adiknya – yang disembunyikan di balik dinding triplek kamarnya. Berbekal kekeran plastik pinjaman dari si Partijo sahabatnya yang punya bengkel sepeda, Bonang terduduk di bangku belakang bajaj yang diparkir di balik tenda bubur ayam, mengarahkan teropong itu menunggu anak sekolah bubaran.
Tidak lama kemudian lonceng bubaran kelas terdengar. Satu persatu anak-anak murid sekolahan elit itu muncul. Banyak yang pulang menyetir mobil sendiri membuat Bonang ngiri, tapi ada juga beberapa yang jalan kaki atau dijemput supir. 10 Menit kemudian, Nisye muncul membuat hati Bonang meledak-ledak seperti petasan cabe rawit di malam takbiran. Nisye melangkah dengan anggun. Lenggoknya seperti pragawati pro tapi minus over acting. Kulit tubuhnya terang bagai pualam. Rambutnya lepas terjun lurus ke pundak. Beberapa memancar diatas dahi membuat wajahnya semakin manis. Tidak lama kemudian sebuah mobil Volvo hitam datang menghampiri, sekejab Nisye hilang masuk kedalam lalu mobil mewah itupun mulai melesat.
Seperti seorang private detective di film-film barat, Bonang menepuk Abung untuk segera membuntuti Volvo hitam metalik tahun 99 itu. Dengan semangat Abung menerjang jalan, berkelebatan dan menukik membuntuti mobil Nisye di antara ratusan mobil yang berseliweran. Tapi sedan berkaca gelap itu memang bukan mudah untuk disaingi-bahkan untuk Abung yang juara rally Bajaj tahun 97/98 se-DKI berturut-turut itu sekalipun. Mesin Bajaj Abung melengking, menjerit bekerja keras mengeluarkan asap pekat melesat mati-matian mengekor sedan itu via Radio Dalam menuju Pondok Indah. Kata orang, Tuhan selalu berpihak pada orang susah. Dan Tuhan kali dengan sengaja ini membuat jalan di perumahan mewah macet tidak seperti biasanya. Bonang dan Abung akhirnya bisa lega, dengan santai mereka menyusul mendekat mobil Nisye yang berbelok ke Jalan Lapangan Golf.
Bonang menyuruh Abung untuk memarkirkan bajajnya 200 meter dari sebuah rumah raksasa berpagar tinggi yang pintu gerbang otomatisnya baru saja tertutup setelah sang sedan masuk. Dengan teropong plastik yang lensanya dekil, Bonang berusaha mencuri visi. Dia terbelakak menyaksikan betapa mewahnya ini rumah. Pekarangannya sebesar lapangan bola. Selain pos satpam ada juga kandang burung raksasa yang samar-samar membelakangi sebuah kolam renang ukuran olympic. Tubuh Bonang gemetaran seperti kena ayan. Kali ini nyalinya hampir saja kandas. Bagaimana mungkin dia sanggup menyerahkan surat yang dibuatnya untuk Nisye yang telah menghabiskan waktu 10 jam sepanjang malam?
Abung juga ikutan gemetar "Itu pasti rumah mentri nang.." katanya panik. "Atau barangkali rumah jendral bintang 8", kata Abung lagi. "Pulang aje yuk?", rengek Abung. Tapi Bonang menggeleng mantap, bagaimanapun dia sudah berada disini dan bisul ini harus diselesaikan supaya dia tidak menderita lagi.
Dari jam ke jam Bonang terduduk dibangku belakang Bajaj. Abung yang tadinya kesal akhirnya cuma bisa pasrah. "susah memang mengurus orang yang lagi jatuh cintrong, semuanye jadi pade gile", pikir Abung sambil menghisap kreteknya yang terakhir. Bajaj tetap terpaku di tempat. Sang satpam rumah Nisye yang dari tadi mengamati mulai curiga dan menghampiri mereka. Abung cepat-cepat menyalakan mesin karena panik "wah, aku nggak mau berurusan dengan ABRI", kata anak yang nggak pernah sekolah ini.Karena Abung memang pernah melihat sendiri bagaimana seorang mahasiswa digebuki polisi di dekat semanggi waktu ada demontrasi. Tapi Bonang segera menenangkan, dia bergegas melesat keluar dari bajaj mendekati sang satpam bertampang ancur seperti Baramuli.
Sang satpam menghardik seperti anjing sakit kepala. Bonang menjawab dengan tenang. Tanpa basa-basi diceritakan sejujurnya kisah bisul dan roman ini pada sang satpam yang ternyata orang Batak satu marga dengan Bonang. Setelah tertawa terbahak-bahak tidak habis-habisnya mendengar cerita burung merindukan planet Pluto seperti itu, akhirnya Tigor sang satpam itu bersedia membantu Bonang menyerahkan surat bau tensoplas pada majikannya dengan syarat lain kali Bonang membawa dua bungkus rokok Jisamsu kalau mau dibantu. Bonang berjanji dan segera bergegas kembali ke Bajaj. Tigor kembali ke istana, dan langsung menghilang mencari Nisye. Bajaj berlalu menuju kebayoran lama. Keringat Abung dan Bonang bercucuran, matahari Jakarta masih garang memanggang semua benda-benda di tempat terbuka. Nisye sedang berenang menyebrangi kolam renang untuk yang ketujuh kali, ketika Tigor datang menghampiri dan menyerahkan sepucuk kertas dekil padanya di pinggiran kolam dekat sauna.
Sambil terkekeh-kekeh Tigorpun pergi meninggali Nisye yang terbengong-bengong tidak mengerti semua ini. Setelah meneguk orange juice terakhir dan menyelimuti tubuhnya yang berkelok bagai highway di Puncak dengan handuk, Nisye membuka dan membaca isi surat:
Selamat siang.
Barangkali memang sangat keterlaluan bila aku berani mengirimkan padamu surat yang tidak berharga ini. Kamu mungkin sudah lupa denganku. Kamu mungkin tidak pernah mengenalku lagi. Tapi biarlah dengan surat ini aku mentuntaskan segala-galanya.
Namaku Bonang, aku tidak tahu namamu, tapi jelas aku mengenalmu karena kamulah yang menabrakku di plaza senayan seminggu yang lalu.
Sejujurnya aku harus bilang, aku tidak pernah melupakan wajahmu, bening matamu dan jemarimu yang lembut yang menari di dadaku ketika sedang membersihkan es krim mahalmu itu. Barangkali ini satu kegilaan, barangkali aku sudah sinting dan barangkali aku perlu psikater, tapi aku merasa bahwa ada sesuatu yang aneh terjadi di antara kita, sesuatu getaran dalam frekwensi yang sama.
Makanya aku sekarang berani menulis ini padamu untuk bertanya, apakah kamu merasakan hal yang sama?
Namaku Bonang, aku anak gang. Tuhan menakdirkanku lahir dari keluarga supir mikrolet. Jelas aku tidak bangga dengan ini, tapi aku juga tidak malu. Kedua orang tuaku walaupun begitu adalah pasangan sehidup semati yang akur menempuh hidup bersama walaupun dalam keadaan jauh dari sederhana.
Mungkin aku jatuh cinta padamu, entahlah..
Semua ini sebenarnya cuma angan-angan seorang gila, seorang anak gang yang sekolah di STM kurang terurus di Lapangan Banteng sana. Sebuah cinta memang tidak selalu berjalan mulus aku sadari itu, kini biarkan aku permisi dulu.
TTD
Bonang Tapebolong
NB: Kalau ingin membalas ini surat, tolong titipi pada si Memet, dia tukang pangkas rambut di salon "Jabrik" di Pasar Bendungan Hilir. Dia bencong centil, jangan berikan pada si Nuraini, assistennya itu tukang buka dan baca surat orang.
—
Tangan Nisye gemetaran, kekosongan hatinya tiba-tiba sirna sebentar. Lalu sekejab dia berlari mencari Tigor, menanyakan "kemana orang yang beri ini surat?", sambil melongok-longkokan kepala keluar gerbang. Tigor terbelalak, untuk pertama kali dia melihat tuan puterinya ini berwajah semu merekah. Tigor tahu Nisye sedang jatuh cinta…. (*)
bersambung..
salam Habe dari Amerika
Bonang terlalu banyak waktu untuk menyendiri. sejak mencicipi es krim Hagen Daz gratis dan memandang bidadari wangi itu, Bonang lebih banyak terduduk di kasurnya yang berbau iler untuk menulis diary. Jelas perlahan-lahan sang bisulpun membesar. Pada puncaknya sakit yang diderita Bonang tidak bisa dia tanggung lagi. Bonang lalu memutuskan untuk membedah sang bisul, dia akan mentuntaskan perasaannya pada Nisye.
Sabtu itu Bonang bolos sekolah. Dia memborong Mang Abung supir Bajaj di gang sebelah untuk membantunya melacak dan membuntuti Nisye dari seberang SMA 6 di Bulungan. Duit untuk menyewa Abung, adalah duit colongan dari celengan si Ucok – adiknya – yang disembunyikan di balik dinding triplek kamarnya. Berbekal kekeran plastik pinjaman dari si Partijo sahabatnya yang punya bengkel sepeda, Bonang terduduk di bangku belakang bajaj yang diparkir di balik tenda bubur ayam, mengarahkan teropong itu menunggu anak sekolah bubaran.
Tidak lama kemudian lonceng bubaran kelas terdengar. Satu persatu anak-anak murid sekolahan elit itu muncul. Banyak yang pulang menyetir mobil sendiri membuat Bonang ngiri, tapi ada juga beberapa yang jalan kaki atau dijemput supir. 10 Menit kemudian, Nisye muncul membuat hati Bonang meledak-ledak seperti petasan cabe rawit di malam takbiran. Nisye melangkah dengan anggun. Lenggoknya seperti pragawati pro tapi minus over acting. Kulit tubuhnya terang bagai pualam. Rambutnya lepas terjun lurus ke pundak. Beberapa memancar diatas dahi membuat wajahnya semakin manis. Tidak lama kemudian sebuah mobil Volvo hitam datang menghampiri, sekejab Nisye hilang masuk kedalam lalu mobil mewah itupun mulai melesat.
Seperti seorang private detective di film-film barat, Bonang menepuk Abung untuk segera membuntuti Volvo hitam metalik tahun 99 itu. Dengan semangat Abung menerjang jalan, berkelebatan dan menukik membuntuti mobil Nisye di antara ratusan mobil yang berseliweran. Tapi sedan berkaca gelap itu memang bukan mudah untuk disaingi-bahkan untuk Abung yang juara rally Bajaj tahun 97/98 se-DKI berturut-turut itu sekalipun. Mesin Bajaj Abung melengking, menjerit bekerja keras mengeluarkan asap pekat melesat mati-matian mengekor sedan itu via Radio Dalam menuju Pondok Indah. Kata orang, Tuhan selalu berpihak pada orang susah. Dan Tuhan kali dengan sengaja ini membuat jalan di perumahan mewah macet tidak seperti biasanya. Bonang dan Abung akhirnya bisa lega, dengan santai mereka menyusul mendekat mobil Nisye yang berbelok ke Jalan Lapangan Golf.
Bonang menyuruh Abung untuk memarkirkan bajajnya 200 meter dari sebuah rumah raksasa berpagar tinggi yang pintu gerbang otomatisnya baru saja tertutup setelah sang sedan masuk. Dengan teropong plastik yang lensanya dekil, Bonang berusaha mencuri visi. Dia terbelakak menyaksikan betapa mewahnya ini rumah. Pekarangannya sebesar lapangan bola. Selain pos satpam ada juga kandang burung raksasa yang samar-samar membelakangi sebuah kolam renang ukuran olympic. Tubuh Bonang gemetaran seperti kena ayan. Kali ini nyalinya hampir saja kandas. Bagaimana mungkin dia sanggup menyerahkan surat yang dibuatnya untuk Nisye yang telah menghabiskan waktu 10 jam sepanjang malam?
Abung juga ikutan gemetar "Itu pasti rumah mentri nang.." katanya panik. "Atau barangkali rumah jendral bintang 8", kata Abung lagi. "Pulang aje yuk?", rengek Abung. Tapi Bonang menggeleng mantap, bagaimanapun dia sudah berada disini dan bisul ini harus diselesaikan supaya dia tidak menderita lagi.
Dari jam ke jam Bonang terduduk dibangku belakang Bajaj. Abung yang tadinya kesal akhirnya cuma bisa pasrah. "susah memang mengurus orang yang lagi jatuh cintrong, semuanye jadi pade gile", pikir Abung sambil menghisap kreteknya yang terakhir. Bajaj tetap terpaku di tempat. Sang satpam rumah Nisye yang dari tadi mengamati mulai curiga dan menghampiri mereka. Abung cepat-cepat menyalakan mesin karena panik "wah, aku nggak mau berurusan dengan ABRI", kata anak yang nggak pernah sekolah ini.Karena Abung memang pernah melihat sendiri bagaimana seorang mahasiswa digebuki polisi di dekat semanggi waktu ada demontrasi. Tapi Bonang segera menenangkan, dia bergegas melesat keluar dari bajaj mendekati sang satpam bertampang ancur seperti Baramuli.
Sang satpam menghardik seperti anjing sakit kepala. Bonang menjawab dengan tenang. Tanpa basa-basi diceritakan sejujurnya kisah bisul dan roman ini pada sang satpam yang ternyata orang Batak satu marga dengan Bonang. Setelah tertawa terbahak-bahak tidak habis-habisnya mendengar cerita burung merindukan planet Pluto seperti itu, akhirnya Tigor sang satpam itu bersedia membantu Bonang menyerahkan surat bau tensoplas pada majikannya dengan syarat lain kali Bonang membawa dua bungkus rokok Jisamsu kalau mau dibantu. Bonang berjanji dan segera bergegas kembali ke Bajaj. Tigor kembali ke istana, dan langsung menghilang mencari Nisye. Bajaj berlalu menuju kebayoran lama. Keringat Abung dan Bonang bercucuran, matahari Jakarta masih garang memanggang semua benda-benda di tempat terbuka. Nisye sedang berenang menyebrangi kolam renang untuk yang ketujuh kali, ketika Tigor datang menghampiri dan menyerahkan sepucuk kertas dekil padanya di pinggiran kolam dekat sauna.
Sambil terkekeh-kekeh Tigorpun pergi meninggali Nisye yang terbengong-bengong tidak mengerti semua ini. Setelah meneguk orange juice terakhir dan menyelimuti tubuhnya yang berkelok bagai highway di Puncak dengan handuk, Nisye membuka dan membaca isi surat:
Selamat siang.
Barangkali memang sangat keterlaluan bila aku berani mengirimkan padamu surat yang tidak berharga ini. Kamu mungkin sudah lupa denganku. Kamu mungkin tidak pernah mengenalku lagi. Tapi biarlah dengan surat ini aku mentuntaskan segala-galanya.
Namaku Bonang, aku tidak tahu namamu, tapi jelas aku mengenalmu karena kamulah yang menabrakku di plaza senayan seminggu yang lalu.
Sejujurnya aku harus bilang, aku tidak pernah melupakan wajahmu, bening matamu dan jemarimu yang lembut yang menari di dadaku ketika sedang membersihkan es krim mahalmu itu. Barangkali ini satu kegilaan, barangkali aku sudah sinting dan barangkali aku perlu psikater, tapi aku merasa bahwa ada sesuatu yang aneh terjadi di antara kita, sesuatu getaran dalam frekwensi yang sama.
Makanya aku sekarang berani menulis ini padamu untuk bertanya, apakah kamu merasakan hal yang sama?
Namaku Bonang, aku anak gang. Tuhan menakdirkanku lahir dari keluarga supir mikrolet. Jelas aku tidak bangga dengan ini, tapi aku juga tidak malu. Kedua orang tuaku walaupun begitu adalah pasangan sehidup semati yang akur menempuh hidup bersama walaupun dalam keadaan jauh dari sederhana.
Mungkin aku jatuh cinta padamu, entahlah..
Semua ini sebenarnya cuma angan-angan seorang gila, seorang anak gang yang sekolah di STM kurang terurus di Lapangan Banteng sana. Sebuah cinta memang tidak selalu berjalan mulus aku sadari itu, kini biarkan aku permisi dulu.
TTD
Bonang Tapebolong
NB: Kalau ingin membalas ini surat, tolong titipi pada si Memet, dia tukang pangkas rambut di salon "Jabrik" di Pasar Bendungan Hilir. Dia bencong centil, jangan berikan pada si Nuraini, assistennya itu tukang buka dan baca surat orang.
—
Tangan Nisye gemetaran, kekosongan hatinya tiba-tiba sirna sebentar. Lalu sekejab dia berlari mencari Tigor, menanyakan "kemana orang yang beri ini surat?", sambil melongok-longkokan kepala keluar gerbang. Tigor terbelalak, untuk pertama kali dia melihat tuan puterinya ini berwajah semu merekah. Tigor tahu Nisye sedang jatuh cinta…. (*)
bersambung..
salam Habe dari Amerika