Pernyataan Amien Rais (AR), salah satu tokoh
Reformasi, tokoh Poros Tengah, dan kadang tampil sebagai sosok
kontroversial, mendatangkan reaksi cepat. Betapa tidak, pernyataannya
tentang “Kemenangan Jokowi-Ahok” sebagai halangan Demokrasi di
Indonesia, bersambut reaksi masyarakat.
Setidaknya, pernyataan AR sungguh melawan
arus massa DKI, yang terlanjur dianggap menjadi simbol perlawanan
ketidak-puasan Rakyat terhadap hingar-bingar politik DPR, perlawanan
terhadap isu-isu korupsi dan penyalahgunaan wewenang seputar kekuasaan
Presiden SBY, dan kontraksi politik karena bangunan hukum yang tercabik,
mendorong amat spontan seorang seperti Joko Widodo, baru dikenal
beberapa bulan setelah dipublikasikan prestasinya di kota Solo, sebagai
walikota.
AR yang berdiri bersama sejumlah Partai
“gajah”, termasuk PAN yang lama dibangun dan dibinanya, dianggap
sebagian besar rakyat DKI, sebagai perkawinan Partai-Partai yang
“menantang” rakyat, untuk menghadapi kekuatan spontan yang muncul
karenanya. Di mana-mana, orang spontan mendorong pasangan Jokowi-Ahok.
Situasi seperti tahun 1997, di mana orang spontan memberikan dukungan
kepada Mega untuk melawan status-quo Presiden Soeharto. Karena itulah,
spontanitas rakyat itu dianggap dihinakan AR, ketika menganggap Rakyat
sebagai hambatan Demokrasi, sebuah contradictio in terminis.
Memang, AR bukan seorang diri memberi
pernyataan itu.
Sejumlah orang menyatakan kekhawatiran, terutama bukan
karena Jokowi, tetapi karena wakilnya Basuki T Purnama, atau Ahok.
Jawabannya, mudah. Basuki atau Ahok bukan dijemput PDI-P atau Jokowi
dari tengah para konglomerat atau saudagar. Ahok atau Basuki diberikan
pintu politik oleh Sjahrir di Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB)
2004, dipilih warga Belitung Timur yang 90% Muslim, untuk menjadi
Bupati. Tidak ada dari mereka yang memiliki ketakutan Ahok akan
menggadaikan nasib mereka. Untuk membuktikan hal itu, AR tidak harus
menjadi warga Belitung Timur. Gus Dur (mitra perlawanan rakyat AR)
dihina pula, ketika Ahok diberi stigma sedemikian, karena selain
Sjahrir, Gus Dur memberikan dukungan terbuka, ketika Ahok maju bertarung
sebagai Cagub Provinsi Bangka-Belitung.
Rakyat jelas ingin menduga positif, bahwa
ada catatan dari seorang AR. Tetapi, pernyataan AR telah terlanjur
menjadi sebuah bumerang tajam. Sayang kalau integritas AR di bidang
politik harus tercerderai, ketika Rakyat sedang menyaksikan AR
menapakkan kaki di tengah kerumunan orang yang terbuka menghina Rakyat.
Pernyataan AR menjadi puncak yang lain, penghinaan terhadap kecerdasan
politik rakyat itu.
Puisi untuk AR
Bang Amien Rais.
Roda Perubahan berputar cepat.
Jika, terbelenggu mindset kreasi kita,
kita tergilas karenanya.
Atau, tangan kiri akan menyerang tangan kanan kita.
Angin Reformasi berubah arah.
Rakyat pemilik kedaulatan tertinggi, nanar memandang JOKOWI.
Bang Amin, mari kita bicara kepada anak-anak cucu kita.
Di bawah pohon rindang, di tanah lapang datar.
Keluar kita dari “gheto” jebakan kita.
Berbesar hati kita seperti Foke.
Arahkan telunjuk kita…..
Agar anak-cucu memandang mentari baru dari Solo..
The rising star, JOKOWI.
Bila datang hari malam.
Hari telah siang, Bang Amin.
Tenda BIRU politik sedang berkemas.
Rakyat ingin langit biru, bukan tenda biru lagi.
Di malam hari, tenda biru meradang…
Di siang hari, ia hanya tampak hidup…
Gelora harapan, kejujuran dan kesetiaan ada di hati Rakyat.
Hati rakyat, yah, hati Jokowi.
Hari sudah siang, Bang Amien.
Soeharto, ‘musuh bersama’, telah lama pergi.
Tapi, musuh terbesar kita, kata para Sufi, adalah diri kita sendiri.
Takut bayang yang bersemayam dan bertahta di lidah kita.
Dari Solo, JOKOWI membawa harapan lain untuk Jakarta Baru.
Itu kata Rakyat DKI.
Bangunlah, Bang Amien.
Hari sudah siang.
Jakarta, 3 Oktober 2012.
catatan