Ada ciri khas SBY dalam menghadapi masalah-masalah
yang terjadi di negeri ini, yaitu LAMBAN bersikap. Bahkan sekedar
mengeluarkan pernyataan pun acapkali harus dikecam publik dan para
pengamat dulu, barulah beliau mau bicara. Semisal soal penangkapan 3
karyawan Departemen Kelautan oleh Malaysia, dipancungnya TKW asal
Indonesia di Arab Saudi dan masih banyak kasus lain lagi.
Tapi tak selamanya SBY lamban, kalo hal itu
menyangkut dirinya dan partai yang didirikannya, SBY sangat sigap dan
cepat menyikapi. Semisal ketika Nazaruddin baru kabur ke Singapura lalu
ada sms yang mengatasnamakan Nazaruddin dan isinya sangat
mendiskreditkan SBY, maka tak perlu menunggu lama,saat di bandara Halim
menjelang lawatan ke luar negeri pun SBY menyempatkan bereaksi keras
atas hal ini. Juga ketika sebuah stasiun TV menayangkan wawancara
melalui Skype antara Iwan Piliang dengan Nazaruddin, besoknya SBY
langsung menghimbau agar Nazar pulang dan menyelesaikan masalahnya di
tanah air. Juga ketika Angelina Sondakh ditetapkan sebagai tersangkja
oleh KPK, hari Minggu pun SBY langsung menggelar pertemuan tertutup
dengan para petinggi dan deklarator Partai Demokrat. Bahkan sore hari
itu pula SBY langsung mengadakan jumpa pers, tak perlu menunggu hari
kerja. Pernah pula SBY cepat berkomentar, yaitu ketika kasus beredarnya
video porno Ariel Peterpan. Entah seperti apa SBY menyusun skala
prioritas mengurus negara.
Kalaupun akhirnya SBY tampil di depan publik, pernyataan sikap SBY selalu melahirkan 2 hal : ungkapan “prihatin” dan pembentukan “satgas”.
Dalam kasus TKW yang dihukum pancung di Arab Saudi, SBY yang sudah
sangat terlambat bersikap, ujung-ujungnya membentuk “satgas”. Begitu
pula ketika krisis cicak vs buaya jilid 1 tahun 2009 lalu. Setelah
didesak banyak pihak, SBY akhirnya memberikan pernyataan dan membentuk
Tim 8 yang diketuai Adnan Buyung Nasution. Sayangnya, setelah Tim
pimpinan Buyung memberikan rekomendasinya, SBY malah menunda-nunda untuk
melaksanakan rekomendasi itu. Bahkan akhirnya, dibentuklah Satgas
Pemberantasan Mafia Hukum, yang diantaranya diawaki Denny Indrayana,
yang kini malah tak jelas hasil kerjanya. Benarkah Satgas itu sudah
berhasil memberantas mafia hukum?
Hari ini rencananya Presiden SBY akan menyikapi
kisruh yang terjadi antara Polri vs KPK, setelah kemarin Mensesneg Sudi
Silalahi menyampaikan pesan bahwa Presiden “mencermati” apa yang terjadi
dan berpendapat bahwa yang terjadi belumlah terlalu genting, tidak
separah yang digembar-gemborkan. Menyedihkan sekali, begitu banyak pihak
sudah bergerak sejak Jumat malam sampai Sabtu dini hari dan gemanya
menjalar ke berbagai daerah, masih dianggap belum parah. Apakah Presiden
menunggu reaksi massa yang marah lalu bertindak anarkhis dengan cara
mereka sendiri, baru Presiden SBY menganggap parah?
Aneh sebenarnya kalau Presiden SBY selama ini
memilih diam, meski konflik Polri vs KPK sudah berjalan selama hampir 3
bulan. Kini setelah berbagai pihak dengan geram mempertanyakan “dimana
Presiden?!” bahkan singakatan KPK pun diganti menjadi Kemana Presiden
Kita, barulah SBY “berjanji” akan menengahi kasus ini. Akankah SBY benar-benar “bertindak” dan tidak sekedar “beretorika”?!
Kali ini tak cukup kata “saya prihatin”. Keprihatinan itu sudah jadi
milik publik sejak 3 bulan lalu.Kini keprihatinan itu sudah berubah
menjadi kegeraman dan sebentar lagi meledak jadi kemarahan massal.
Tak cukup pula sekedar menunjuk sekelompok
orang-orang dekatnya yang ingin diberinya “pekerjaan” untuk membentuk
satgas baru. “Negeri 1001 Satgas” itu julukan yang diberikan rakyat
setiap kali SBY membentuk satgas baru. Sebab satgas – yang biasanya
beranggotakan staf ahli Presiden atau para mantan pejabat – sama sekali
tak punya kewenangan menindak atau mengeur dan menginstruksikan suatu
langkah kongkrit, baik kepada Pinpinan KPK maupun kepada Kapolri.
Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas TNI dan Polri. Presiden yang menunjuk siapa yang akan jadi Kapolri, meski penetapannya setelah melalui fit n proper test
di DPR. Presiden bisa menegur Kapolri, kalau ia mau. Hanya butuh
komitmen dan ketegasan saja. Presiden bisa langsung menginstruksikan dan
tidak sebatas menghimbau. Jika instruksinya diabaikan, Presiden bisa
menegur keras bahkan bila perlu mencopot petinggi Polri yang membangkang
dari instruksinya. Masalahnya hanya satu : maukah dan beranikah SBY bertindak tegas?!
SBY pernah menegur keras anak SD yang tertidur
karena kelelahan saat mendengarkan pidato SBY yang mungkin membosankan
bagi anak seusia itu. Kalo sekedar seorang anak tak memperhatikan
pidatonya saja SBY berani menegur, bagaimana sikap SBY pada Kapolri?
Tampaknya kali ini kita pun tak bisa berharap terlalu banyak. Sebab
janji “menengahi” yang semula saya kira SBY akan benar-benar hadir
sebagai penengah dalam pertemuan Pimpinan KPK dan Pinpinan Polri,
ternyata tak demikian jadinya. Pertemuan itu diserahkan pada Mensesneg
Sudi Silalahi. Sedangkan SBY hanya akan memberikan pernyataannya nanti
malam setelah mendapatkan laporan dari Sudi.
Tentu efektivitas keputusan yang diambil
SBY akan berbeda jika SBY sendiri yang turun tangan menjadi penengah
dalam pertemuan Ketua KPK dan Kapolri.
SBY bisa langsung
mendengar pemaparan versi keduanya, menakar kebenaran fakta apa yang
terjadi Jumat malam di Gedung KPK, menelaah seberapa jauh perkembangan
kasus penyidikan dugaan korupsi pengadaan simulator SIM, dan berbagai
kasus yang menjadi ganjalan hubungan KPK vs Polri. Tentu saja SBY bisa
minta didampingi Menkumham dan Menkopolhukam, misalnya, atau siapa saja
yang dipandang perlu untuk dimintai pendapat dan saran. Tapi yang jelas,
jika SBY benar-benar ingin mengambil peran dalam penyelesaian
masalah ini, maka ia harus hadir sendiri, menjadi penengah, bukan hanya
mendengarkan laporan dari Sudi Silalahi saja.
Ini bukan masalah kecil. Kelangsungan pemberantasan
korupsi bisa terancam jika kerja KPK terus menerus diganggu oleh
hal-hal semacam ini. Bukankah memang ini tujuan para koruptor? Mereka
ingin memberikan kesan KPK memble, kinerja Abraham Samad, bambang
Widjojanto dkk buruk, target-target pemberantasan korupsi tak tercapai.
Katakanlah kinerja KPK memang belum sesuai harapn kita, bukankah ini
juga dipengaruhi dengan tekanan-tekanan pelemahan terhadap KPK yang
terus berkelanjutan tanpa henti, baik dari DPR maupun Kepolisian?
Termasuk dihambatnya proses pencairan dana pembanguann gedung baru KPK.
Pak Beye, jika anda belum menganggap ini kondisi
kegentingan yang memaksa, maka dimana komitmen anda dengan janji untuk
berdiri di garda terdepan pemberantasan korupsi? Bukankah Pak Beye
pernah mengatakan akan berjihad melawan korupsi? Sungguh, nanti malam
kami tak mau lagi mendengar kata “SAYA PRIHATIN” dan tak benar-benar
ogah dengan pembentukan Satgas-Satgas tak jelas, hanya untuk bisa
memberikan honorarium buat orang-orang dekat Presiden. Kali ini rakyat
butuh action Pak Beye, bukan lyrik lagu melankolis, bukan ungkapan
prihatin tapi tanpa sikap keprihatinan. Sudah lama kami merasa seolah
negeri ini tanpa pilot!
CATATAN IRA OEMAR FREEDOM WRITERS KOMPASIANER