Mahasiswa
memiliki tiga peran dan fungsi yakni agen perubahan, kontrol sosial,
dan stok penerus bangsa. Tentunya mahasiswa hendaknya juga menjunjung
tridharma perguruan tinggi seperti pendidikan, penelitian dan pengabdian
masyarakat. Maka mahasiswa yang memilih menjadi aktivis di kampus,
justru seharusnya memiliki visi yang lebih jauh ke depan dibanding
mahasiswa yang bukan aktivis.
Beberapa
kata kunci yang dikaitkan dengan aktivis adalah organisatoris dengan
perjuangan kolektif, intelektualisme dan misi sosial sebagai pejuang
keadilan. Sedangkan aktivis sejati memiliki kriteria sebagai berikut
memiliki idealisme yang kuat, sifat negarawan, berkualitas dan cerdas,
serta konseptor ataupun pelaksana gerakan.
Aktivis
juga manusia biasa yang tidak memiliki tiket bebas dari kesalahan
ataupun dosa. Tentuya mereka memiliki gaya hidup. Walaupun banyak dari
aktivis yang hidup dalam kemudahan dan segala kemewahan, tidak sedikit
aktivis yang hidup dalam kesederhanaan. Selain itu, itu biasanya mereka
haus akan ilmu pengetahuan sehingga sangat gemar membaca. Bahkan
pengalaman hidup para aktivis tidak jarang diwarnai dengan penderitaan,
tekanan dan bahkan konflik berdarah namun tetap kukuh pada garis
perjuangannya. Lebih parahnya, gara-gara menjadi aktivis yang kritis,
terkadang mereka harus menjadi korban konspirasi politik busuk hingga
harus mencicipi tak sedapnya dekaman penjara akibat kurangnya rasa
kekeluargaan pihak kampus atau kepentingan-kepentingan tertentu.
Lagi-lagi aktivis selalu menghadang tantangan dari hasil advokasi dalam
membela kebenaran. Idealnya, mereka memiliki mental baja bukan mental
kerupuk. Saat ini aktivis cenderung tenteram dan tanpa konflik, malah
sering terjadi bentrokan dan konflik antar mahasiswa. Setelah itu,
aktivis harus bersikap moderat, ekstra sabar agar dapat menghadapi
orang-orang dengan model, karakter dan sifat-sifat yang sangat
berlainan. Berkaitan dengan itu, aktivis harus bisa menjadi manajer
(pengatur) konflik yang handal. Aktivis sebaiknya mampu menjadi sumber
inspirasi bagi orang-orang sekitarnya. Dan terakhir, mereka cenderung
bertindak demi kepentingan organisasi. Dengan begitu, aktivis diharapkan
dapat menjadi pemimpin masyarakat dan dapat berfikir bebas. Walaupun
demikian, kriteria-kriteria tersebut tak banyak ditemui seutuhnya dalam
sesosok aktivis dan tak sedikit pula aktivis yang menggadaikan dan
melacurkan idealismenya demi mendapatkan kepentingan sesaat seperti
jabatan, posisi, pekerjaan, uang, mobil, dan keuntungan lainnya. Aktivis
yang seperti ini biasanya ditunggangi beberapa individu ataupun
kelompok elit yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu.
Kader-kader aktivis yang seperti inilah yang sangat jauh dari
kualifikasi aktivis sejati. Akibatnya, aktivis yang tidak berbuat
demikian mendapatkan getahnya. Maka dari itu, hati-hatilah dalam memilih
hingga mengkader aktivis! Sebab munculnya tokoh-tokoh besar yang tidak
jujur, KKN, korupsi dan tindakan tercela lainnya akibat dari kesalahan
dalam pengkaderan atau ditabrakkan dengan suasana dan kondisi yang sulit
serta dilematis, yakni konfrontasi dengan kebutuhan dan kepentingan. Di
dalam perguruan tinggi, siapa saja yang bertanggungjawab dan dapat
mengantisipasi hal ini terjadi pada bangsa ini? Rektorkah? Mahasiswakah?
Dosenkah? Atau siapa? Seperti inikah pendidikan karakter yang
diharapkan?
Sebenarnya
menjadi aktivis adalah sebuah ikhtiar untuk merubah dan menciptakan
pribadi-pribadi yang fenomenal. Karena pengetahuan, pengalaman dan
kelebihan yang dimiliki aktivis dapat menjadi modal yang baik untuk
menjadi orang besar. Contohnya Soekarno dan Mohammad Hatta adalah dua
orang besar pada awala kemerdekaan yang memulai perjuangannya dengan
memulai perjuangannya dengan menjadi aktivis kemahasiswaan.bahkan konsep nation and character building berasal
dari teori dan karya Bung Karno. Sementara Bung Hatta merupakan puncak
intelektual-aktivis yang tetap menjaga martabat dan kualitas moralnya
sampai ke liang lahat. Tak lain bahwa Bung hatta memiliki soft skill
yang bagus. Contoh-contoh aktivis yang menjadi orang besar pada konteks
sekarang, misalnya Jusuf Kalla (Aktivis HMI), Anas Urbaningrum (mantan
PB HMI), Muhaimin Iskandar (mantan Ketua PB PMII), Rama Pratama (mantan
Ketua Senat UI), Amien Rais (pendiri IMM) dan masih banyak yang lainnya.
Begitu pula halnya Nurcholish Madjid (Cak Nur), pernah menjabat sebagai
ketua umum PB HMI. Beliau dikenal sebagai tokoh besar yang disegani
karena pemikirannya. Dalam dunia aktivis, bagi Cak Nur adalah
dunia yang tidak hanya mengasah kepekaan intelektual dan berisi dengan
aktivisme ekstrim, tetapi juga mendukungnya dalam membentuk karakter
ketokohan.
Biarpun begitu aktivis juga harus memiliki soft skill yang
baik untuk mencapai tujuan-tujan tersebut. Softskill merupakan
kemampuan diri dalam mengatur emosional dan sosial, seperti
berkomunikasi efektif, mampu bekerjasama dalam tim, pandai membina
hubungan interpersonal dan sebagainya. Hal ini semestinya dimiliki
mahasiswa sebelum mengabdi di perusahaan, pemerintahan atau masyarakat.
Biasanya orang yang hanya menghandalkan hard skill tidak begitu
diminati dan karirnya sulit untuk menanjak. Menjadi aktivis kampus yang
mengikuti kegiatan ektrakurikuler tidak hanya diharapkan dapat
berkontribusi di lingkungan sekitarnya pada bidangnya masing-masing
tetapi juga dapat bermanfaat bagi dirinya secara pribadi dalam rangka
pengembangan diri khususnya soft skill. Sebab pengembangan diri bisa dilakukan melalui mengikuti pelayanan konseling dan kegiatan ekstrakurikuler.
Pemilihan
program pengembangan diri melalui ekstrakurikuler hendaknya dapat
dipertimbangkan sebaik mungkin. Sementara kegiatan ekstrakurikuler
adalah kegiatan kemahasiswaan yang meliputi: penalaran dan keilmuan,
minat dan kegemaran, upaya perbaikan kesejahteraan mahasiswa dan bakti
sosial bagi masyarakat. Berhubung banyaknya organisasi dan
kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang dapat diikuti baik di dalam
(Himpunan, BEM, MPM, BPM, MTM, DPM, UKM, dan sebagainya) maupun di luar
kampus (SAPMA PP, HMI, KAMMI, PMII, GMNI, AMPG, ikatan mahasiswa
berdasarkan asal daerah ataupun keilmuan dan sejenisnya), hal ini dapat
dikaitkan dengan perencanaan hidup ke depannya. Tak hanya sekedar
mempertimbangkan hobi saja melainkan faktor-faktor lain juga perlu
dipertimbangkan. Faktor internal dan eksternal diri dapat
dipertimbangkan. Faktor internal bisa dilihat dari motivasi, minat/hobi,
kelemahan dan kelebihan diri. Sedangkan faktor eksternal dapat
diperhatikan misalnya resiko, peluang dan prospeknya.
Dengan begitu, dalam pengambilan keputusan dalam pemilihan kegiatan yang
diikuti dapat dilakukan sebijak mungkin. Bahkan penilaian faktor-faktor
tersebut tidak hanya perlu dilakukan secara rasional namun
diseimbangkan dengan emosional pun bisa dijadikan takarannya. Dan
kenormatifan perlu juga dapat ditambahkan sebagai pertimbangan dalam
standar penilaian kebijakan- kebijakan yang akan diambil. Maka dari itu,
aktivis kampus atau sering disebut aktivis mahasiswa ini harus memiliki
lifeplan yang jelas dan tepat. Sehingga tidak salah dalam memilih wadah
untuk pengembangan dirinya. Garis besarnya hal ini dilakukan agar tidak
salah mengambil pilihan hingga kegiatan-kegiatan yang diikuti merupakan
bagian kebutuhan dari diri sendiri dan tidak hanya hanya sekedar
mengisi waktu luang sehabis kegiatan akademik yang merupakan menu utama.
Penyelesaian
studi akademik (wisuda) tepat waktu merupakan idaman para mahasiswa.
Namun pertanyaan bagi mahasiswa yang sedang berstatus wisudawan/ti
adalah “Apa saja bekal yang telah dipersiapkan untuk terjun ke
masyarakat dan menghadapi persaingan global yang semakin ketat setelah
menyelesaikan perkuliahan alias wisuda selain nilai yang bagus?” atau
“Apakah telah memanfaatkan waktu sebaik mungkin sebelum diwisuda?” atau
“Apa kelebihannya dan softskill yang dimiliki dibanding lulusan akademik
lainnya?”. Beruntunglah bagi para lulusan akademik yang
dapat menjawabnya tanpa beban dan berkesimpulan telah menyiapkan dirinya
sebaik-baik mungkin. Apalagi bagi purna aktivis mahasiswa yang tepat
dalam mempersiapkan dirinya. Faktanya, banyak juga aktivis mahasiswa
yang berhasil diwisuda tepat waktu. Bahkan pada umumnya laris diincar
oleh pemburu lulusan akademik berkualitas dari berbagai kalangan.
Setidaknya ada juga yang bisa mandiri membuka lapangan kerja sendiri.
Aktivis mahasiswa yang berhasil mempersiapkan dirinya dan setelah wisuda
bak mutiara yang jadi rebutan bagi para pemburu mutiara serta
layaknya intan yang tak akan berkarat, meski dibawa kemanapun tetaplah
intan yang kharismatik. Hal ini didukung dengan organisasi kemahasiswaan
memiliki salah satu fungsi sebagai sarana dan wahana pembinaan dan
pengembangan kader-kader bangsa yang berpotensi dalam melanjutkan
kesinambungan pembangunan nasional.
Meskipun
demikian, masih banyak mahasiswa yang apatis terhadap kegiatan
ekstrakurikuler contohnya dalam berorganisasi. Tuntutan akademik sering
dijadikan alasan ketika ditanyakan sebab ketidak-ikutsertaannya.
Sebenarnya lambat atau cepat selesainya lama studi tergantung kepada
kemampuan memanajemen waktu yang dimiliki agar dapat
memprioritaskan hal-hal yang seharusnya didahulukan. Aktivis yang
berprestasi dan memiliki visi yang bagus, biasanya memiliki jadwal
kegiatan harian, mingguan dan bulanan hingga target pencapaian dalam
kehidupannya (life plan). Selain itu, ketika
dihadapi berbagai masalah, dia harus menyelesaikannya dengan baik.
Caranya dimulai dari menginventarisir dan mengidentifikasi masalah yang
dihadapi, kemudian diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu masalah
yang penting dan mendesak, penting dan tidak mendesak, tidak penting
dan mendesak serta tidak penting dan tidak mendesak. Setelah itu, baru
diselesaikan sesuai kebutuhan dan urutan yang diprioritaskan. Begitulah
hendaknya manajemen masalah yang digunakan agar dapat diselesaikan
secara efisien dan efektif. Dalam hal ini, kecerdasan Adversity Quetiont aktivis mahasiswa sangat dituntut.
Idealnya
waktu penyelesaian kuliah adalah empat tahun. Akibatnya aktivis
mahasiswa seharusnya menyesuaikan aktivitasnya dengan jadwal
perkuliahannya bukan sebaliknya. Perencanaan dalam berorganisasi pun
harus terencana dan dinamis sebagai bukti progress kemampuan dan karir
dalam berorganisasi. Misalnya tahun pertama mengikuti berbagai kegiatan
ekstrakuriler untuk mencari jati diri bagi yang belum menemukannya,
memantapkan soft skill, mempersiapkan diri menjadi pengurus
organisasi dan menimba/mengaplikasikan ilmu di luar jam perkuliahan.
Seterusnya pada tahun kedua aktif menjadi pengurus organisasi
kemahasiswaaan tingkat jurusan yang merupakan wadah mengembangkan
penalaran dan keilmuan di jurusan masing-masing dan sebagai koordinator
umum mahasiswa pada jurusan tersebut. Selanjutnya berpartisipasi sebagai
pelaksana kegiatan kemahasiswaan dengan menjadi pengurus organisasi di
tingkat fakultas pada tahun ketiga. Pada tahun ini diperlukan pengalaman
dan kemampuan lebih dalam berkoordinasi dengan organisasi yang yang ada
di bawahnya. Karena cakupannya lebih besar. Apabila mahasiswa tahun
ketiga masih aktif di organisasi tingkat jurusan, sangat dirasa rugi
dari pencapaian karir berorganisasi. Kemudian di tahun akhir akademik,
dapat mengaplikasikan ilmu dan pengalaman dari organisasi sebelumnya
dengan melibatkan diri sebagai pelaksana kegiatan kemahasiswaan pada
organisasi kemahasiswaan di tingkat universitas. Tantangan pada
organisasi ini tidak hanya pada lingkungan universitas saja tetapi juga
harus kritis terhadap isu daerah, nasional dan internasional. Sehingga
pada tahun kelima, sudah dapat menggunakan gelar sarjananya dengan
mengaplikasikan ilmu-ilmu dan pengalaman dari bangku perkuliahan maupun
di luar perkuliahan seperti organisasi. Apalagi masyarakat akan mengakui
eksistensi aktivis berdasarkan penilaian-penilaian yang bersifat
normatif, misalnya terkait gelar ataupun pendidikan (akademik) formal
lainnya.
Maka
dari itu, pola pengkaderan dan pelatihan bagi mahasiswa dalam
berorganisasi sangatlah penting diperhatikan. Perlunya adanya
kualifikasi kader yang tidak hanya berpatokan kepada historis, kultur
dan senioritas yang telah ada semenjak tahun-tahun sebelumnya.
Dibutuhkan revolusioner-revolusioner mahasiswa untuk menyikapi hal ini.
Revolusioner yang berfikir dinamis, ilmiah, intelektual, dan tidak
seperti katak dalam tempurung. Penulis menyarankan bahwa pola kecerdasan
dan kebutuhan IE-4OK perlu dijadikan rekomendasi dalam mengasah kemampuan aktivis dalam setiap aktivitasnya. IE-4OK
adalah Iman, Emosional, Originalitas, Otak, Otot, Ongkos dan
Komunikasi. Item-item tersebut dirasa perlu karena mengingat aktivis
bukan hanya makhluk sosial tetapi juga makhluk individu yang memiliki
kebutuhan-kebutuhan pribadi yang sangat mendasar. Sebaiknya perwakilan
mahasiswa tingkat perguruan tinggi yang menampung dan menyalurkan
aspirasi mahasiswa, menetapkan garis-garis besar program dan kegiatan
kemahasiswaan pada organisasi kemahasiswaan, dapat menetapkan kebijakan
mengenai pola pengkaderan dan pelatihan sesuai bentuk dan badan
organisasi kemahsiswaan yang bersangkutan.
Sementara
bentuk dan badan kelengkapan organisasi kemahasiswaan baik itu di
tingkat jurusan, fakultas dan universitas ditetapkan berdasarkan
kesepakatan antar mahasiswa, tidak bertentangan dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku, dan statuta perguruan tinggi yang
bersangkutan.\Hanya saja di setiap perguruan tinggi terdapat satu
organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi yang menaungi semua
aktivitas kemahasiswaan. Bagaimana realitanya?
Berlama-lama
menjadi aktivis mahasiswa dengan mengabaikan perkuliahan merupakan
kebudayaan kampus yang sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan zaman.
Dahulu bisa tamat tujuh hingga sembilan tahun. Sekarang persaingan
semakin ketat. Dalam kurun waktu tujuh tahun saja sebenarnya sudah bisa
menyelesaikan program sarjana (Starata 1) dan master
(Strata 2) serta sedang mengikuti perkuliahan di program doktor (Strata
3). Ini dibuktikan banyaknya doktor-doktor bahkan professor muda yang
bermunculan. Bagaimana dengan rencana Anda?
Nah,
sekarang apakah krisis kaderisasi aktivis terjadi di setiap perguruan
tinggi dan apakah realita senioritas selalu menjadi toksin kultur dalam
pola pengkaderan aktivis mahasiswa? Serta apa saja sebenarnya yang
menjadi akar permasalahan timbulnya ribuan mahasiswa yang apatis
terhadap organisasi kemahasiswaan sejauh ini? Apakah benar aktivis
mahasiswa cenderung anarkis dan frontal akibat pola pengkaderan yang
tidak tepat? Bagaimana pola pengkaderan aktivis mahasiswa saat ini?achmad Badaruddin