Ketiklah kata “novel” di Google, maka kata lanjutan
yang teratas direkomendasikan Google adalah “novel baswedan”. Sama
dengan kalau anda ketikkan kata “save”, maka kata lanjutannya yang ada
di posisi paling atas adalah “save kpk”. Itu tandanya kedua kata itu
adalah kata terpopuler akhir-akhir ini. Sebelum ini, kita mungkin tak
pernah mengenal siapa itu Novel Baswedan. Lalu,kalau dia hanyalah salah
satu dari 88 penyidik KPK, kenapa sedemikian pentingnya dia
sampai-sampai KPK mempertaruhkan lembaganya untuk melindungi Novel?
SIAPA NOVEL DAN KENAPA MENJADI SIMBOLISASI REPRESENTASI KPK
Ternyata Novel bukan sembarangan penyidik. Ia
bergabung menjadi penyidik KPK sejak tahun 2006, semasa KPK masih
dipimpin Antasari Azhar. Selama 6 tahun di KPK, Novel telah
menyidik kasus-kasus besar yang berhasil menyeret tokoh-tokoh besar dari
partai politik maupun pejabat negara. Novel Baswedan adalah penyidik yang menangani penyidikan kasus mega korupsi Wisma Atlet yang melibatkan Muhammad Nazaruddin,
mantan Bendahara Umum Partai Demokrat. Bahkan Novel pernah dihadirkan
dalam persidangan Nazaruddin, atas permintaan pengacara Nazar yang
menggugat proses penyidikan KPK.
Novel pula lah yang menyidik kasus dugaan suap cek pelawat, yang akhirnya menyeret Nunun Nurbaetie
– istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun – duduk di kursi pesakitan
dan berakhir di balik jeruji penjara. Novel juga yang ditugaskan untuk
menyidik kasus suap lahan sawit yang melibatkan Bupati Buol Amran Batalipu dan akhirnya menyeret pula Siti Hartati Murdaya, mantan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat. Terakhir, Novel menjadi Ketua Tim Satgas penyidik kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM. Dia pula yang memimpin penggeledahan gedung Korlantas Mabes Polri
pada bulan Ramadhan lalu. Novel bahkan sempat bersitegang dengan polisi
saat itu, yang mencoba menghalang-halangi proses penggeledahan.
Jadi, bisa dipahami bukan kalau polisi dan mantan
polisi yang masih sangat loyal pada korps Kepolisian sebegitu marahnya
pada Novel, yang dianggap tak lagi loyal pada institusi asalnya.
Kebetulan pula, Novel adalah salah satu penyidik yang meminta untuk menjadi penyidik tetap KPK.
Sebegitu pentingnya peran Novel dalam berbagai
kasus besar yang melibatkan tersangka “seleb” dan jadi pusat perhatian
publik. Bahkan dalam kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM yang
melibatkan Irjen Pol. Djoko Susilo, Novel memegang peran sentral. Maka
tak heran jika Novel menjadi simbolisme representasi KPK yang sedang berhadapan dengan Polri dalam kasus simulator SIM.
DAHSYATNYA KRIMINALISASI
Masih ngat awal mula kejadian kriminalisasi
terhadap Ketua KPK Antasari Azhar? Saat itu selama 1,5 tahun menjabat
sebagai Ketua KPK, Antasari menunjukkan tajinya dalam menangkap basah
para koruptor. Ada Arthalita Suryani, Jaksa Urip Tri Gunawan, politisi
Al Amin Nasution, dll. Di bawah kepemimpinan Antasari, tampak
peningkatan kinerja KPK yang sangat signifikan. Saat itu, Antasari-lah yang menjadi figur sentral KPK. Maka Antasari-lah yang dibidik untuk dikriminalkan.
Mendadak saja AA dituduh sebagai otak/intellectual dader pembunuhan atas Nasruddin Zulkarnain, dengan motif rebutan gadis caddy
tempat mereka berdua biasa bermain golf bersama. Saat itu, tak ada
satupun yang bereaksi. AA sejak awal memang tak didukung LSM dan
penggiat anti korupsi. Maka ketika ia dibelit masalah, semula tak ada
yang membela.
Sampai akhirnya muncul banyak kejanggalan. Rani
Juliani – gadis yang disebut jadi rebutan – selama berbulan-bulan
menghilang tak diketahui jejaknya, tiba-tiba muncul dan lancar
memberikan keterangan pers, dengan ekspresi datar seolah menghafalkan
naskah. Keluarga Rani, yang semula tak banyak tahu siapa suami sirri
anaknya, tiba-tiba bapak Rani lancar mendongeng bahwa dia kerap jadi
tempat curhat menantunya. Lalu bersuaralah Kompol Williardi Wizard di
sidang pengadilan, membuka semua skenario dimana ia semula diminta ikut
memainkan peranan, tapi kemudian atasan-atasannya mengingkari janjinya.
Saat itulah publik baru terperangah dan terkaget-kaget dengan dahsyatnya
rekayasa tuduhan kepada Antasari Azhar.
Meski kemudian bukti-bukti teknis menunjukkan
kejanggalan, mulai dari kondisi korban yang mayatnya sudah diacak-acak
sebelum diserahkan ke dokter forensik; peluru yang bersarang di tubuh
korban tak sama dengan jenis senjata yang dijadikan barang bukti; pistol
yang berbeda yang dihadirkan di persidangan, dll. Tapi toh fakta-fakta
ini tak membuat AA terbebas dari hukum. Bahkan upaya Peninjauan Kembali
pun tak memberikan hasil. Sedemikian dahsyatnya rekayasa hukum untuk
mengkriminalkan Antasari, karena peran pentingnya dalam banyak kasus
besar. Antasari tetap dihukum penjara 18 tahun, meski ia berkelakuan
baik, tetap tak mendapat remisi. Bahkan ijin menghadiri resepsi
pernikahan putrinya saja dipersulit. Bandngkan dengan koruptor-koruptor
besar yang hampir semua vonisnya kurang dari 4 tahun, dikurangi remisi
dan pembebasan bersyarat, mereka cukup menghuni sel penjara 1–2 tahun
saja.
KEJANGGALAN TUDUHAN TERHADAP NOVEL
Sebagaimana kasus kriminalisasi yang dipaksakan,
dalam kasus tuduhan terhadap Niovel pun ada banyak kejanggalan seperti
dipaparkan Juru Bicara KPK, Johan Budi dalam jumpa persnya beberapa
kali. KPK bersikeras bahwa Novel tak terlibat langsung dalam
penganiayaan sekelompok pencuri sarang walet yang mengakibatkan kematian
salah satu pelakunya. Bahkan Novel yang saat itu menjabat sebagai
Kasatreskrim Polres Bengkulu, sedang berada di kantor saat kejadian.
Hanya saja sebagai atasan ia ikut bertanggungjawab atas kelalaian anak
buahnya dan telah dijatuhi sanksi etik berupa teguran.
Jika benar Novel bersalah, kenapa ia dibiarkan masih menjabat sebagai Kasatreskrim Polres Bengkulu sampai Oktober 2005? Bahkan kemudian Novel masih melanjutkan pendidikannya ke PTIK dan dipromosikan ke KPK.
Bukankah Polri selalu berkilah bahwa para penyidiknya yang dikirim ke
KPK adalah anggota terbaik Polri? Apakah ketika mengajukan Novel ke KPK
dulu Polri menutupi rekam jejak Novel?
Yang lebih janggal lagi, menurut keterangan Johan Budi, sampai saat ini belum pernah dilakukan uji balistik terhadap peluru yang bersarang di tubuh korban,
untuk menentukan benar tidaknya peluru itu keluar dari pistol milik
Novel. Bahkan kasus 8 tahun lalu itu tiba-tiba dibuka kembali setelah
adanya laporan polisi tertanggal 1 Oktober 2012. 4 hari kemudian, Dirreskrim Polda Bengkulu akan menangkap Novel. Penangkapan yang sangat aneh, mengingat Novel belum pernah dipanggil sekalipun sebagai tersangka atas kasus ini.
Belum lagi teknis penangkapan yang tak masuk akal : hanya untuk
menangkap 1 orang anggotanya sendiri Polri sampai perlu mengerahkan 2
kompi pasukan untuk mengepung gedung KPK. Lebay bukan?
Apalagi kemudian keluarga korban bersuara, mereka
tak ingin dijadikan kambing hitam biang keladi memanasnya konflik Polri
vs KPK. Keluarga korban mengaku tidak benar bahwa mereka
melaporkan kembali Novel. Mereka hanya mengirimkan surat permohonan
keadilan pada tanggal 21 September 2012 dan tidakpernah membuat LP
(Laporan Polisi) terteanggal 1 Oktober 2012. Pernyataan keluarga korban ini sudah disiarkan media TV.
Lucu sebenarnya, sebab di negeri ini setiap tahun
begitu banyak kasus polisi salah tangkap, salah tembak, menganiaya
warga, yang kemudian menguap begitu saja. Beberapa waktu lalu seorang
bapak separuh baya berjalan kaki dari Malang menuju Jakarta bahkan kini
meneruskan jalan kakinya menuju Mekkah, karena mencari keadilan atas
putra tunggalnya yang meninggal 12 tahun lalu karena ditabrak oknum
polisi, tapi si polisi penabrak tak pernah dihukum secara pidana, bahkan
terus naik pangkat dan masih menjabat sampai sekarang. Kalo memang
polisi akan menegakkan hukum atas anggotanya sendiri yang terlibat kasus
penganiayaan dan tindak pidana lainnya, maka akan muncul ratusan kasus
lain yang jadi PR Polri selama 10 – 15 tahun terakhir ini.
Pantas saja kalau Mahfud MD mengatakan bahwa rakyat
sekarang sudah terlalu pintar untuk dibodohi soal hukum. Terlalu
telanjang upaya kriminalisasi ini. Tentu saja jika benar Novel bersalah,
KPK harus merelakan penyidiknya menjalani pemeriksaan. Kepolisian pun
harus adil, sejumlah kasus serupa pun harus ditangani pula, bukan semata
karena Novel pemegang kunci kasus simulator SIM yang diduga akan
melibatkan sekurangnya 6 Jendral polisi lainnya selain Djoko Susilo,
yang ikut membubuhkan parafnya pada surat keputusan penunjukan pemenang
tender pengadaan alat simulator SIM tersebut.
Belum lagi kasus Nazaruddin yang ditangani Novel,
tentu tak berhenti sampai pada kasus Wisma Atlet saja. Bukankah sejumlah
nama penting yang disebut Nazar sampai saat ini memang masih
“digantung” KPK? Misalnya nama Anas Urbaningrum, Mirwan Amir dan
politisi lainnya. Penyidikan atas Nazaruddin pun melebar ke kasus
korupsi Hambalang, yang nota bene dijanjikan KPK akan diumumkan
tersangkanya pada akhir tahun ini. Jadi, tentu keberadaan Novel memang
sangat sentral dan strategis untuk kasus-kasus besar.
Semalam, dalam pidatonya SBY menegaskan bahwa penyidikan kasus korupsi simulator SIM ada di tangan KPK dan tidak dipisah,
artinya seluruh berkas para tersangka menjadi kewenangan KPK. Maka
peran Novel makin penting lagi. Meski SBY sudah menegaskan saat ini timingnya
tidak tepat untuk mengusut kasus Novel, tentu upaya-upaya menghalangi
pemberantasan korupsi tak akan menyerah begitu saja. Beberapa pengamat
mulai mengkhawatirkan, jangan-jangan beberapa bulan lagi kasus ini akan
diangkat lagi. Apalagi ketika ditanya wartawan semalam soal ini, Kapolri
tak tegas mengatakan akan menghentikannya.
Kali ini rakyat memang sudah tidak bodoh, tapi
kekuatan koruptor yang bersatu padu melawan kehendak rakyat memberantas
korupsi, tetap bisa berjaya. Maka, kepedulian punlik untuk terus
memantau kelanjutan kasus ini, perlu terus disiagakan. Jangan sampai ada
AA kedua!
CATATAN :
Sekedar informasi tambahan, Kapolda Bengkulu yang saat ini menjabat, Brigjend
Pol Drs. Albertus Julius Benny Mokalu, SH., ternyata baru dilantik 10
(sepuluh) hari sebelum kasus pengepungan Gedung KPK dan upaya
penangkapan Novel Baswedan oleh Dirreskrim Polda Bengkulu. Apakah ini
berarti sesuatu? Silakan pembaca menganalisa sendiri.
Apakah ini sama dengen ketika Williardy
Wizaard diminta untuk mencari dan mengkoordinir pembunuh-pembunuh
bayaran yang tujuan akhirnya adalah menjadikan Antasari Azhar sebagai
tersangka.
Tambahan informasi pula, keluarga korban
meninggal yang diduga “ditembak” oleh Novel, ternyata justru tak
keberatan jika kasus yang menimpa saudara mereka ditutup secara hukum.
Lalu…, siapa sebenarnya yg menginginkan kasus ini dibuka kembali?
catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer