Sejak remaja, kutelah mendengar istilah Dosen Killer
di arena perguruan tinggi. Sebuah ensiklopedi yang dihadiahkan kepada
dosen yang lekat perilaku tak edukatifnya, serem, pelit nilai, tak
kompromistik, ditakuti, tak ramah, irit senyuman, boros umpatan, mimik
kaku, dan mudah menggugurkan kelulusan mahasiswa. Dosen Killer yang
kualihbahasakan secara bebas sebagai dosen sadis, dosen kejam atau
tepatnya digelari dengan dosen pembunuh.
* * *
Setelah kujadi mahasiswa, kutemukan
dosen dengan ciri-ciri yang termaktub di atas, pulalah memenui
syarat-syarat sebagai dosen killer. Itu dulu…!. Sekarang, kutelah sangat
jarang berjumpa dosen bertabiat serupa itu.
Kemarin, Selasa, 25 Sepetember 2014,
Pukul 16.00 (WITA), penulis memberi kuliah (Tatap Muka IV), tertayanglah
enam (6) slide di layar. Kukatakan pada mahasiswaku: “Saudara-saudara. Simak dengan seksama slide ini. Soal UTS-ku bersumber dari slide dua dan lima”.
Selepas kuucapkan ini, pandangan mahasiswaku memlototi slide itu dengan
sangat fokusnya. Serupa inilah kebiasaanku setiap perkuliahan,
bocoran-bocoran soal senantiasa kusampaikan kepada mahasiswaku.
* * *
“Wah, enak. Tiap minggu ada bocoran
soal”, demikian celoteh seorang mahasiswa yang duduk di jejeran kursi
tengah. Sayapun berbalik kepadanya dan berucap: “Dosen yang tak
memberi bocoran soal atau kisi-kisi kepada mahasiswanya adalah dosen
pembunuh mahasiswa. Ia membiarkan mahasiswanya belajar terlalu luas”. Ungakapanku ini, tiada kusangka disahuti seisi ruang kuliah dengan yel-yel ala demonstrasi: “Betuuuul….”.
* * *
Sambutan mahasiswa semester V ini
membuatku terperangah. Konsentrasiku terbelah, antara mengajar dengan
meresapi teriakan ‘betul’ ini. Kian kumaknainya, kian jauh kucari
hakikatnya. Maka bergumamlah batinku bahwa perangai dosen yang ’saena’e
dhewe’ membuat soal-soal tanpa kisi-kisi. Mahasiswa ibarat diajak ke
medan ‘pertempuran’ namun tak memperlihatkan peta. Terkuraslah energi
dan pikiran mahasiswa untuk meraba-raba soal-soal apa yang harus
dihadapinya, ‘problem’ apa yang wajib dihadapinya di medan ujian itu?.
Bahkan keduanya (dosen dan mahasiswa),
kadang tak tahu menahu untuk apa ujian itu dilakukan?. Apa karena motif
LULUS?. Jika hanya tujuan LULUS ini yang menjadi dasar
diselenggarakannya ujian demi ujian, maka pantaslah jika setiap ujian
itu tiada membekas di setiap pikiran dan perasaan mahasiswa. Padahal
jauh dari itu, ujian adalah mengukur kognitif dan mentalitas mahasiswa.
Mengukur sikap-sikap mahasiswa untuk fair. Sesungguhnya, mahasiswa dapat menolak ujian jika Out of Context.
* * *
Selanjutnya, sekian banyak dosen hanya mampu membuat soal
tapi tak sanggup merancang pertanyaan-pertanyaan, tak menyertakan
tingkat kesulitan, tak memargin batas toleransi kebenaran dan kesalahan
jawaban. Dan berapa banyak dosen tak mengembalikan ‘lembar hasil kerja’
mahasiswa, berapa banyak dosen yang tak melakukan editing
soal-soal yang diberikannya. Berapa banyak dosen yang memberikan ujian
tetapi tak memahami apa subtansi ilmiah dari ujian itu. Maka jadilah
‘Arena Ujian’ yang minim kualitas. Mereka membiarkan mahasiswanya
terbingung-bingung karena gagal menemukan hubungan pertanyaan dengan
pengetahuan mereka. Akibatnya, mahasiswa lunglai, bahkan putus asa dan
asal ‘nembak’ jawaban.
Tak mudah menjadi dosen, pun tak mudah jadi mahasiswa. Sebab kerap kudengar, mahasiswa datang ke kampus untuk kuliah, kuliah untuk ujian, ujian untuk lulus, lulus untuk lupa.
Dan serupa itulah sketsa pendidikan di perguruan tinggi kita. Mahasiswa
terbiarkan belajar tanpa arah, ujian tanpa kisi-kisi. Kusebutlah dosen
seperti ini sebagai dosen pembunuh mahasiswa. Ia membunuh peluang
mahasiswa untuk lulus dengan sempurna, edukatif dalam nuansa akademik
yang berbudaya dan berkeadilan.
Dan itulah dosen pembunuh mahasiswa di abad semoderen inicatatan Muhammad Armand Freedom Writers Kompasianer