WIDIYA TRISNA
PENDIDIKAN SOSIOLOGI ANTROPOLOGI
FIS UNP 2011
Arrgghhhh,
sekejap memang terasa sangat letih, aura senang dan aura betis yang ingin
berhenti berjalan membaur jadi satu hingga akhirnya aku menemukan halte untuk naik
bus kota kembali ke kos. Berpuluh peluh mencucur di jengat ku, memang jalan
dari dalam aula gubernur tak jauh untuk halte yang didepan ini.
Dua
puluh menit setelahnya aku sudah tergopoh duduk di kursi bus. Berjuta bau rasa
terbang kemana dia suka, mata ku melayang sesukanya hingga terhenti pada satu titik. Titik dimana tingginya
sekitar satu meter lebih , berkulit kelam dengan gaya repper, kumuh dan kusam.
Hanya lucu saja ternyata identifikasi dan dampak kemiskinan di kota dalam materi
sosiologi perkotaan ada tampak didepan
mataku sendiri, tidak hanya seperti yang kulihat di tv atau ku browsing di
internet ataupun seperti yang dijelaskan oleh dosen mata kuliah sosiologi
perkotaan.
“ongkosnyo
ni” seraya menggerakkan segumpal tangan yang berisi recehan
“ooooo..”
Aku
terperanjak, bergegas mencari uang dua ribuan untuk bayar ongkos bus ini, aku masih tergagap
gagap berproses dalam bis. Rempong saja rasanya. Knek bus berlalu saat uang dua
ribuan ku serahkan. Imajinasi kuterbang merangkai kata kata yang kira kira
bunyinya seperti ini “laki laki yang menjadi knek bus ku takarkan berumur
sekitar 10 tahun, seharusnya dia bersekolah bukannya menjadi knek bus ples
dengan mengidentifikasi gaya repper”.
Selintas aku ingin bertanya padanya,
kenapa anda tidak bersekolah ? dimana orang tua anda ? kenapa bergaya repper ?
apakah menurut anda repper dan punk itu baik ? anda di suruh oleh orang tua
berprofesi sebagai knek bus ? apakah orang tua anda tau ? aku ingin mengatakan gaya
yang di tiru itu sunnguh tak sedap dipandang mata. Karena berbeda sangat dengan
budaya lokal kita orang minang dan styles anak yang seusia dengannya.
Tapi
pertanyaan dan perkataan itu aku simpan
di balik hati, takut dia tersinggung.
Fenomena kemiskinan dikota berawal dari
urbanisasi penduduk yang melangit, mereka menganggap dikota bnayak tersedia
lapangan pekerjaan padahal pada nyata nya itu tidak. Kelanjutan dari urbanisasi
berdampak pada sektor pekerjaan, faktanya terjadi ketimpangan antara jumlah
pencari kerja dengan ketersediaan lapangan kerja alias terbentuklah penggangguran.
Siklus selanjutnya berjalan menuju tingkat kriminalitas yang tinggi, timbulnya
permukiman kumuh, rendahnya tingkat pendidikan, dimana anak seumuran sekolah
tidak sekolah karena keterbatasan biaya.
Mestipun
sekolah tidak bayar tapi buku dan atribut segala macamnya mengeluarkan banyak
biaya. Sejauh ini program pemerintah
dalam pemberantasan kemiskinan dan peningkatan mutu pendidikan memang sudah
jalan, kendatipun demikian panah yang ditancapkan pemerintah belum tepat
sasaran. Miris sekali rasanya anak seusia laki laki knek bus ini yang
seharusnya mencicipi masa sekolah lebur hanya karena keterbasan biaya.
Hal
yang kupikirkan terputus saat knek bus ini memukul bagian besi bis dengan
bongkahan logam, tink tink tink kira
kira seperti itulah bunyinya. Akupun turun. Untuk sampai di kos aku harus
melanjutkan perjalanan dengan angkot labor. 40 menit perjalanan akhirnya aku
menginjak kaki di kedai sebelah kos yang jualan sambal.
“masih
ada sambal nya ni ?”
“ada
diak, tengok lah ?”
“ayam bakar se
lah ni”
“kuliah ? kok sore kali pulangnya wdya ?
“kuliah ? kok sore kali pulangnya wdya ?
“enggak ni, ini
abis ikut acara di khatib. Panek”
“duduk la dulu”
“lai banyak samba yang abis sahari ko ni ?”
“haaaa lumayan la ya, tapi indak lo do”
“ancak lo jawaban uni ko ma, lumayan tapi indak”
“duduk la dulu”
“lai banyak samba yang abis sahari ko ni ?”
“haaaa lumayan la ya, tapi indak lo do”
“ancak lo jawaban uni ko ma, lumayan tapi indak”
“hahhaaa
tu baa juo lai” jawab uni sambil membungkus sambal yang saya pesan.
Suasana
kian akrab dengan uni eci penjual sambal di sebelah kosku, lebih tepatnya
langganan kos kami. Biasanya suasana takkan seakrab ini. Tapi enyahlah. Kalau
uni eci tidak berjualan maka hari itu kami harus perai makan nasi dan mengganti dengan makanan cadangan ala anak
kos.
“uda
ma ni ?” kulayangkan pertanyaan sambil memangsa sepotong pepaya [waaaahh
segarnya]
“lai
di belakang, dak jo ado lapangan krajo lai. Tapaso jo nolongan uni masak ” curhat uni padaku.
“saba se lah dulu ni, bsuak ado tu ma”
“basaba tu iyo jo, tapi sampai bilo ? anak uni duo urang, skolah kaduonyo, ma lah katakurehan dek uni. Amuahnyo baranti nan baduo tu skolah lai.
“basaba tu iyo jo, tapi sampai bilo ? anak uni duo urang, skolah kaduonyo, ma lah katakurehan dek uni. Amuahnyo baranti nan baduo tu skolah lai.
“eeehh manga lo sampai ka baranti. Bak kecek gaek ambo razaki anak skolah tu ado ado se nyo tu. Bara sadonyo ni ?
“9 rb sadonyo ya”
“mksih ni”
Tepat pukul 17: 14 aku
beranjak meninggalkan tataran palanta tempat uni eci berjualan.
Perbandingan
yang terlalu signifikan dengan fenomena
fenomena dampak kemiskinan dikota. Antara uni eci dengan anak kecil yang saya
temukan di bus sebagai seorang knek. Keluarga uni eci yang melakukan migrasi
sementara ke kota Padang dan berprofesi sebagai pedagang sambal, suaminya
seorang penganguran yang hanya membantu bantu dimana penghasilan digunakan
untuk menyekolahkan anaknya di kampong. Sedangkan anak laki laki tadi rela
menjadi knek bis dengan melewatkan masa sekolah, sungguh malang, apakah orng tuanya tidak tau
atau malah menyuruh hal demikian , entah lah.
Menurut
saya, Fenomena dampak kemiskinan yang ada di kota padang ini hanya bisa dituntaskan apabila program
program dari pemerintah berjalan mencapai titik target disertai dengan peran
serta masyarakat yang peduli negeri. Melibatkan mahasiswa sebagai agent of change , agent of
leader, dan agent of control.demi terbukanya jalan untuk perubhan dan kemajuan negri.
[ Yakin, usaha, sampai !]