Pernah mengalami bangun tidur badan bintul-bintul
bekas digiti nyamuk, sementara dekat pembaringan kita seekor nyamuk
dengan badan gendut tampak enggan terbang. Lalu dengan semangat kita
tepuk si nyamuk : plaakk!! Puas rasanya, meski sprei ternoda darah
nyamuk. Atau sembari nonton TV, pegang raket beraliran listrik, ketika
seekor nyamuk terbang disekitar kaki, tebaskan raket dan…creess!! Bau
gosong tubuh nyamuk membuat kita merasa puas. Lalu bagaimana kalau rasa
puas itu diekspresikan ketika seseorang usai melukai atau membunuh orang
lain?
Belakangan, media sosial ramai membicarakan komentar Mendiknas Pak Nuh, yang mengaku surprise,
kaget, karena ketika beliau bertanya pada AD, siswa yang membunuh Deny
Januar, siswa SMA Yayasan Karya 66 (Yake). Publik kemudian lebih fokus
membicarakan diksi pertanyaan Pak Nuh yang dianggap bodoh, tidak cerdas,
dari segi bahasa tidak tepat de-el-el. Sementara – sama sekali tanpa
bermaksud membela Pak Nuh – kita semua sama-sama tidak tahu konteks
situasi saat itu kenapa diksi semacam itu yang keluar dari mulut Pak
Nuh.
Saya hanya sekedar mencoba menggali kemungkinan
dari sisi sebaliknya, sebelum tanya itu terlontar. Bisa jadi, saat itu
Pak Nuh melihat ekspresi AD yang cuek, dingin atau tak tampak rasa
penyesalan dari sikap tubuh dan raut wajahnya. Bukankah komunikasi itu
bukan hanya yang verbal terucap, tapi justru body language bisa
berbicara lebih banyak? Coba ingat, bagaimana reaksi publik ketika
Afriani Susanti yang tampak cuek bebek, santai saja meski usai menabrak
13 pejalan kaki yang 9 diantaranya tewas seketika. Bahkan Afriani yang
saat itu masih dalam pengaruh berbotol-botol miras dan ecstasy sekaligus, masih sempat menulis tweet : “Emang salah gw?! Salah temen-temen gw?!”.
Lalu apa kesimpulan yang ada di benak para saksi mata saat itu? Afriani
tidak menyesal. Dan semua saksi mata di lokasi kejadian memberikan
keterangan yang sama kalau ditanya pers.
Nah, mungkin saja Pak Nuh geregetan saat melihat
ekspresi AD yang cuek dan tidak menunjukkan penyesalan. Sehingga tanya
yang spontan keluar adalah : “Bagaimana Mas, puas sudah membunuh
orang?”. Kalau saja saat itu AD menunjukkan sikap penyesalan mendalam –
seperti tayangan berita kriminal yang saya tonton di TV beberapa waktu
lalu, dimana pembunuhnya membunuh secara spontan karena tak tahan
ditagih hutang – semisal menangis, atau ekspresi penyesalan lainnya,
mungkin kalimat tanya yang keluar dari mulut Pak Nuh bukan itu.
Bahkan ada yang mencurigai Pak Nuh sengaja menjebak
AD dengan pertanyaan seperti itu, agar dia menjawab “puas”. Ah…, saya
rasa tak mungkin Pak Nuh sengaja menjebak AD, untuk apa? Ada pula yang
mempersoalkan panggilan “Mas” yang seolah mensejajarkan pelaku sebagai
orang dewasa. Mungkin kita perlu pahami, bahwa dalam masyarakat Jawa,
sapaan “Mas” dan “Mbak” bisa disandangkan pada siapa saja, tanpa
memandang usia. Dulu ketika saya masih mahasiswa dan bekerja praktek di
perusahaan, karyawan disana memanggilkami “Mbak” dan “Mas”. Ketika kami
KKN di desa, Pak Lurah yang sudah tua pun memanggil kami “Mas” dan
“Mbak”. Jadi tak perlu disalah tafsirkan terllau jauh, ini hanya faktor
kebiasaan budaya semata.
EKSPRESI BANGGA DENGAN PERILAKU KEKERASAN
Tapi sudahlah, saya bukan ahli bahasa Indonesia, saya tak tertarik membahas kalimat tanya itu. Saya justru menangkap pesan penting dari kejadian ini : sebagian siswa SMA jaman sekarang memiliki beban psikososial yang berat!
Bayangkan, membawa clurit dan aneka sajam ke sekolah, tentu sudah
direncanakan dari awal. Clurit bukan sesuatu yang bisa ditemukan begitu
saja di jalanan, bukan? Apalagi kabarnya clurit itu kerap sengaja
disembunyikan di selokan dekat sekolah atau dititipkan di warung tempat
nongkrong di sekitar sekolah, demi menghindari razia guru di sekolah.
Bukankah ini berarti remaja-remaja itu sadar sepenuhnya perbuatannya terlarang dan melanggar hukum, tapi mereka tetap ingin melakukannya?
Seseorang yang terbiasa membawa clurit sekalipun,
misalnya seorang penyabit rumput untuk memberi makan ternak, belum tentu
punya nyali menyabetkannya pada manusia, atau bahkan pada kambing
gembalaannya sekalipun! Artinya, sajam itu akan berbahaya bergantung
pada niat awal untuk apa sajam itu disiapkan. Dan niat itu bergantung
pada jiwa penggunanya. Seseorang yang jiwanya sehat, tentu tak
ada keinginan untuk menyerang, melukai apalagi membunuh makhluk
bernyawa, apalagi sesama manusia.
Inilah yang seharusnya lebih kita terima sebagai suatu fakta : anak-anak kita sehari-hari berangkat ke sekolah bukan membekali dirinya dengan buku dan alat tulis.
Mereka memenuhi tas sekolahnya dengan clurit, pisau, ikat pinggang
panjang dengan gear bergerigi di ujungnya, potongan besi panjang yang
bisa membuat kepala bocor sekali pukul, bahkan dengan batu-batu sebesar
kepalan tangan orang dewasa. Jadi, mereka bukan bersiap untuk belajar, mereka bersiaga untuk diserang atau menyerang!
Maka, tak perlu heran kalau mereka memang sejatinya benar-benar puas,
karena merasa telah mengalahkan musuh, telah bisa menyerang duluan
sebelum diserang. Bukankah tanpa di tanya pun ekspresi itu bisa dibaca
dari mimik muka dan sikap tubuh?
Kemarin saya baca tulisan di Kompasiana, kabarnya ada yang men-tweet : “anak SMA 6 dan SMA 70 lebay! Baru mati satu saja sudah heboh!”.
Nah, bukankah ini juga ekspresi betapa tidak berharganya nyawa di mata
remaja kita? Mungkin sebagian dari kita masih ingat, setahun yang lalu,
September 2011, sekelompok siswa SMA 6 Jakarta menyerang sekelompok
wartawan dari berbagai media yang sedang berkunjung ke sekolah mereka.
Kasus itu jadi ramai dibincangkan karena tweet dari salah satu pelaku
pengeroyokan yang dengan sangat bangga dan arogan menunjukkan betapa dia
“sukses” menganiaya wartawan sampai babak belur. Tweet itu kemudian di
retweet berkali-kali dan mengundang banyak kecaman. Bahkan dicopas pula
ke status Facebook beberapa penggunanya. Publik dibuat geram karena
seorang anak belasan tahun, siswa sebuah sekolah favorit, ternyata
sangat bangga melakukan penganiayaan sadis.
Kita juga pernah dikejutkan dengan status FB
seorang remaja, saat terjadi bentrok antar suporter klub bola di
Jakarta, yang menyebabkan tewasnya seorang suporter klub bola lawan. Si
penganiaya dengan bangga menulis di FB-nya bagaimana ia “berhasil”
menganiaya musuhnya sampai mati. Kabarnya, pelaku bisa diketahui justru
karena status FBnya yang dimaksudkan sebagai bentuk pamer kebanggaan
pada pacarnya. Miris bukan?
Inilah realita yang seharusnya kita tangkap : anak-anak remaja kita bangga dengan kekerasan.
Mereka menjadikan tolok ukur eksistensi dirinya dari “keberanian”
menyerang siapapun yang dianggap musuh. Dengan atau tanpa pertanyaan
yang diajukan Pak Nuh, tiadanya rasa penyesalan bahkan justru rasa puas
karena berhasil menghabisi “lawan”, tetap tak bisa dinafikan. Tanya Pak
Nuh justru sekali lagi menyadarkan kita, bahwa anak-anak kita sudah
sangat terbiasa melakukan kekerasan untuk mendongkrak eksistensi
dirinya.
GAME ONLINE, SALAH SATU KONTRIBUTOR ANARKHISME
Psikolog Elly Risman – yang dikenal sebagai pakar
parenting dan pemerhati anak – sejak beberapa tahun lalu sudah
merisaukan hal ini. Dalam berbagai kesempatan, Bu Elly selalu
mengingatkan para orang tua tentang bahaya game online bagi anak-anak. Tak main-main kata Bu Elly Risman, jika kita membiarkan anak-anak kita terbiasa asyik dengan game online,
jangan heran jika kita sebenarnya sedang mendidik teroris-teroris cilik
yang akan terbentuk watak, karakter dan perilakunya dengan pola
kekerasan.
Betapa tidak, menurut Bu Elly, dalam banyak game
online yang themanya pertarungan antar tokoh game, kekerasan selalu
mendominasi. Darah muncrat seolah nyata. Alat-alat yang digunakan untuk
menyerang lawan pun menginspirasi anak untuk menggunakannya sebagai alat
menyerang siapapun yang dianggap musuhnya. Anak yang memainkan dipicu
untuk lebih dulu menyerang sebelum diserang. Lebih cepat memulai
menyerang, lebih baik. Makin sadis caranya menyerang, dan melumpuhkan
musuh, makin puas pula si pemain game. Adrenalinnya seolah terpicu untuk
terus menyerang sebelum musuh terkapar tak bergerak dan darah membanjir
disekitarnya.
Jaman sekarang, warnet-warnet yang lokasinya dekat
sekolah atau di perumahan yang banyak anak usia sekolah, lebih banyak
terminalnya yang berfungsi sebagai game online ketimbang untuk browsing.
Anak-anak yang jenuh dengan padatnya jam pelajaran di sekolah, pulang
ke rumah tak bertemu orang tua, lebih suka nongkrong di warnet.
Berjam-jam tanpa terasa lewat begitu saja untuk bermain game online. Dan
tanpa disadari pula, kehalusan jiwanya terkikis oleh kekerasan yang
dipertontokan. Rasa jijik melihat darah, berganti jadi rasa puas melihat
darah muncrat dari tubuh lawan.
Jadi…, masihkah kita meragukan bahwa memang
sebagian remaja kita sudah teracuni kebiasaan berperilaku anarkhis dan
sadis? Apa kita masih tetap lebih tertarik mempersoalkan diksi
pertanyaan seorang Mendikbud ketimbang mengambil hikmah dari fakta yang
terjadi? Bukankah lebih baik kita mendiskusikan bagaimana sebaiknya agar
anak-anak didik itu kembali membawa buku dan alat tulis ketimbang
celurit dan ikat pinggang bergerigi. Bagaimana agar adrenalinnya lebih
terpicu untuk memecahkan soal matematika yang rumit, ketimbang untuk
menyerang lawan. Bagaimana agar anak-anak itu puas karena jago main bola
ketimbang jago menghantam anak sekolah lain. Ini bukan semata tugas
guru, beban sekolah, tapi ini tugas orang tua, beban , masyarakat.
Mungkin anak kita termasuk anak baik-baik, tapi dia tetaplah tak aman
jika lingkungan dan teman-temannya masih gemar tawuran. Sebab anak
baik-baik dan pendiam sekalipun bisa jadi korban salah sasaran
penyerangan antar pelajar.
catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer