Tampaknya hubungan Kepolisian Republik Indonesia
dengan KPK memang ibarat Tom and Jerry, tak pernah akur. Yang santer
mengemuka dan menarik perhatian publik adalah kasus “cicak vs buaya”
yang mencuat sekitar Oktober 2009 lalu – saat anggota DPR periode
2009-2004 belum lama dilantik – diantaranya membuahkan hasil dukungan
lebih dari sejuta facebooker. Polri ibarat ditelanjangi dengan
diputarnya rekaman pembicaraan telepon antara Anggodo Widjojo – kakak
kandung Anggoro, buronan KPK – dengan sejumlah pihak yang banyak
menyebut nama oknum Polri. Terutama Kabareskrim Mabes Polri, Susno
Duadji, yang disandikan sebagai “Truno 3”. Pertarungan cicak vs buaya,
ibarat berakhir dengan skor 1 – 0 untuk KPK.
Kini perseteruan itu kembali mencuat dalam kasus
lain, yaitu dugaan korupsi pengadaan alat simulator kemudi uji SIM.
Berbeda dengan perseteruan tahun 2009, kini pada kasus sengketa
perebutan kewenangan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat
simulator SIM ini Polri giat menggalang dukungan opini dari para pakar
hukum, untuk membenarkan tindakan mereka. Seolah berlomba dengan KPK,
pihak Polri berusaha mendahului dengan lebih dulu menetapkan para
tersangka dan menahannya. Meski surat perintah penyidikannya jelas
terbit belakangan. Secara opini di media massa, mungkin saja Polri
memenangkan debat kalau konteksnya hanya sebatas legalitas formal. Namun
dari opini publik yang disalurkan lewat media massa, kepercayaan
masyarakat kepada Polri sudah di titik nadir, jika Polri ngotot ingin
menyidik Jendral-Jendralnya yang diduga korupsi. Untuk perseteruan kali
ini, bisa dibilang hasilnya seri.
Seperti Tom yang tak pernah menyerah untuk
menaklukkan Jerry, kini Polri bikin kejutan : tidak memperpanjang masa
penugasan 20 penyidiknya di KPK. Artinya, 20 perwira penyidik Polri itu
harus kembali ke Kepolisian dan meninggalkan semua tugasnya di KPK.
Tentu saja ini sepenuhnya hak Kepolisian. Konsekwensinya : KPK secara
mendadak dan bersamaan akan kehilangan 20 penyidik sekaligus! Ini tentu
bukan kabar menggembirakan di tengah kiprah KPK yang seolah sedang kejar
tayang menangani kasus-kasus besar akhir-akhir ini. Kasus korupsi
seolah tak pernah ada habisnya di negeri ini. Satu kasus belum juga
tertangani, sudah muncul kasus baru. Lalu apa jadinya jika dengan
penyidik yang sekarang ada saja kinerja KPK masih keteteran, apalagi
kalau 20 penyidik sekaligus ditarik?
Memang, Polri mengatakan : silakan saja kalau KPK
masih membutuhkan bantuan penyidik, KPK bisa mengajukan lagi dan Polri
akan memberikan penyidik terbaik yang mereka punya (katanya). Tapi
bagaimana dengan kesinambungan (continuity) sebuah kasus yang
selama ini sudah disidik oleh seorang penyidik tertentu?
Bukankah tidak
semudah itu ganti penyidik? Penyidik yang baru – apalagi kalau baru
pertama kali ditugaskan ke KPK – tentu butuh waktu untuk beradaptasi
dengan ritme dan budaya kerja di KPK yang tentu berbeda dengan pola
kerja di Kepolisian. Penyidik baru juga perlu waktu untuk mempelajari
kasus yang selama ini sudah disidik orang lain. Tentu ini bukan langkah
efektif untuk penyelesaian kasus-kasus yang sedang “kejar tayang”.
Apalagi kinerja KPK di bawah kepemimpinan Abraham Samad sedang disorot
mengingat 3 bulan lagi tepat setahun Abraham Samad menjabat, dimana ada
banyak janji yang harus direalisasikannya dalam tempo setahun. Ini
pertaruhan besar bagi Abraham Samad dan KPK.
Maka, tak pelak lagi, tindakan Polri untuk tidak
memperpanjang penugasan 20 penyidiknya sekaligus, bukan saja kurang
tepat melainkan sangat tidak tepat! Jika selama ini ada laporan dari KPK
tentang kinerja 20 penyidik itu yang dianggap kurang memuaskan atau
melanggar kode etik, pantaslah Polri menariknya. Seperti kasus
pengembalian Kompol Broto Seno, penyidik Polri di KPK yang ditugaskan
menyidik Angelina Sondakh dan kemudian diduga memiliki hubungan istimewa
dengan yang disidik. Tapi kali ini tidak ada pengembalian dari KPK.
Bahkan kesannya KPK masih membutuhkan, namun Polri tidak mau
memperpanjang. Seolah ada pesan yang hendak disampaikan Polri pada KPK :
anda masih membutuhkan kami kan?!
Memang dilematis bagi KPK. Di satu sisi, KPK masih
belum mampu mencetak penyidik-penyidiknya sendiri yang independen, tidak
bergantung pada penyidik perbantuan dari Kepolisian dan Kejaksaan.
Sehingga kesannya dalam hal sumber daya manusia, KPK posisi tawarnya
masih relatif lemah. Disisi lain, ironisnya, 2 institusi itu –
Kepolisian dan Kejaksaan – cukup banyak oknumnya yang bermasalah dan
diduga terlibat kasus korupsi, sehingga mau tak mau KPK bersinggungan
dengannya. Dari Kejaksaan ada kasus Jaksa nakal Urip Tri Gunawan dan
Jaksa Dwi yang keduanya tertangkap tangan. Lalu ada Jaksa Cirrus Sinaga.
Tapi untunglah, Kejaksaan menyikapi perlakuan KPK terhadap oknumnya
yang terlibat korupsi dan suap, tak seperti cara Polri menyikapinya yang
cenderung resisten. Sampai saat ini, tak pernah terdengar kabar
Kejaksaan menarik penyidiknya sekaligus dari KPK, yang bisa berakibat
mandeknya kinerja KPK untuk kasus-kasus tertentu.
Kabarnya, dari 20 penyidik yang tak lagi
diperpanjang tugasnya itu, diantaranya penyidik kasus dugaan korupsi di
Korlantas Polri. Nah lho! Bukankah kasus itu justru yang sedang kejar
tayang? Sesungguhnya kasus-kasus yang sedang ditangani KPK akhir-akhir
ini adalah kasus besar yang melibatkan tersangka yang dekat dengan pusat
kekuasaan. Angelina Sondakh dan Siti Hartati Murdaya contohnya. Kasus
dugaan korupsi di Korlantas Polri, sejak masih dalam taraf penggeledahan
barang bukti sudah jadi kasus yang menarik perhatian, karena disinyalir
2 Jendral yang jadi tersangka itu tak “bermain” sendiri. Begitu pula
kasus Bupati Buol, Amran batalipu yang penangkapannya sampai melibatkan
Densus 88 segala. Jadi jelas : KPK sedang full load! Dan harus berlari dengan speed
yang tinggi pula. Sedikit saja ada gangguan terhadap struktur
organisasi dan pengawakan di tubuh KPK, bisa berpengaruh pada kinerja
KPK.
Agaknya perlu Komisi III DPR untuk memanggil kedua
institusi itu dan mempertanyakan motivasi Polri menarik 20 penyidiknya.
Apakah ini sekedar gertak sambal agar KPK mengalah dan menyerahkan
penyidikan atas kasus korupsi di Korlantas kepada Kepolisian? Seolah
dengan cara ini Polri hendak menegaskan pada KPK : jangan macam-macam,
kalian masih butuh kami! Ataukah ini bagian dari upaya pelemahan
terhadap KPK? DPR sudah sejak lama sering mengambil keputusan yang tak
berpihak pada KPK. Tidak turunnya persetujuan atas anggaran pembangunan
gedung baru untuk kantor KPK, misalnya. Ketika publik menggalang dana
untuk itu, DPR sontak bereaksi keras dan mengatakan bahwa pembahasannya
tingal sedikit lagi, minggu depan sudah ada keputusan. Tapi sudah
berlalu 2 bulan, sampai kini tak kunjung ada keputusan. Apakah langkah
Polri tak memperpanjang masa tugas 20 penyidiknya ini juga bagian dari
pelemahan kinerja KPK? Akankah diikuti dengan penyidik-penyidik lain
yang mungkin akan habis masa tugasnya di KPK dalam waktu dekat? Publik
hanya bisa menunggu dan berharap KPK bisa menanggulangi masalah ini.
Bambang Widodo Umar, pengamat Kepolisian,
menyarankan agar KPK tak perlu lagi bergantung pada Kepolisian dalam
memenuhi kebutuhan penyidik. KPK bisa meminta penyidik dari TNI.
Tampaknya terobosan baru ini perlu dipertimbangkan, agar dominasi
penyidik Polri di KPK tidak terlalu besar. Namun yang lebih penting
lagi, KPK seyogyanya segera mempersiapkan, mendidik dan melatih penyidik
independen – bukan berasal dari Kepolisian maupun Kejaksaan – agar tak
bergantung pada instansi lain. Masalahnya : mendidik dan melatih
penyidik handal dan membekalinya dengan berbagai disiplin ilmu yang
terpadu, tentu butuh biaya tidak sedikit.
Dan kalau sudah terkait
anggaran, palunya ada di tangan Komisi III DPR. Maukah mereka bersikap
kooperatif mendukung KPK, melengkapinya dengan sarana, prasarana dan
sumber daya manusia yang handal? Saya kok tidak yakin, berkaca dari
pengalaman silang sengakrut KPK vs DPR selama ini. Tampaknya, benang
kusut yang membelit kinerja KPK ini masih akan terus diulur. Semoga KPK
masih punya cukup banyak energi untuk bertahan melawan gerakan-gerakan
yang tidak pro pemberantasan korupsi. Itu doa rakyat Indonesia.
CATATAN IRA OEMAR FREEDOM WRITERS KOMPASIANER