Perihal Mutasi dan
Stabilitas Birokrasi di Daerah...
Senin pagi (24/09/2012),
saya membuka facebook setelah terakhir hari jumat saya terakhir Online karena kesibukan saya pindah
kontrakan dan beres-beres pada
Sabtu-Minggunya. Sebuah hal lumrah
jika hidup di rantau orang dan belum memiliki rumah sendiri. Saya membaca
berita melalui wall RRI Kota Pariaman yang menyebutkan bahwa Walikota Pariaman Drs. Mukhlis Rahman, MM melantik 74 pejabat
eselon II, III, IV, Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah dilingkungan Pemerintah
Kota Pariaman, Jumat (21/9/2012) di Balaikota Pariaman. Terfikir oleh saya
entah sudah berapa kali terjadi mutasi dilingkungan Pemerintah Kota Pariaman sejak
Kota Pariaman dipimpin oleh Walikota yang sekarang. Kapan pejabat di sini
mempunyai waktu untuk melayani masyarakat kalau tiap sebentar terjadi mutasi
dan pergantian pejabatnya..
Sejatinya Mutasi
dilingkungan Birokrasi Pemerintah Daerah (baca PNS) adalah dalam rangka
pengembangan dan pembinaan karier PNS di daerah. Namun pada kenyataannya
seringkali mutasi pejabat struktural di daerah syarat dengan motif tertentu.
Peran Kepala Daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah memang memberikan
kewenangan untuk itu. Menurut ketentuan
Pasal 130 ayat (2) Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004,
pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam Eselon II pada
pemerintahan daerah merupakan domain kepala daerah (Bupati/Walikota). Ini
menggambarkan Kepala Daerah mempunyai otoritas kuat dalam memetakan dan
menentukan formasi jabatan di daerah. Dengan otoritasnya yang begitu kuat,
implikasi penyalahgunaan wewenang ini sering kali terjadi dalam mengelola
apartur atau pegawai negeri sipil daerah. Istilah raja-raja kecil di daerah
salah satunya dimaknai karena kepala daerah sering menyalahgunakan kewenangan
ini.
Salah satu dampaknya adalah akan berpengaruh pada stabilitas
birokrasi. Mutasi yang terlalu sering dilakukan akan menyebabkan terganggunya
kinerja birokrasi. Para pejabat tidak lagi konsen tugasnya sebagai pejabat. Ia
akan sibuk memikirkan jabatannya (terutama bagi mereka yang memang gila jabatan/takut
kehilangan jabatan). Disamping itu hal ini dapat menyebabkan dis-harmonisasi birokrat karena
persaingan jabatan dan bisa memecah-belah PNS. Ini akan berpengaruh terhadap
suasana kerja dan kinerja birokrasi itu sendiri. PNS akan lebih loyal kepada
Kepala Daerah dibandingkan menjalankan tugasnya melayani masyarakat. Budaya ABS
(Asal Bapak Senang) akan berkembang. Energi
akan terserap untuk memikirkan konflik-konflik yang syarat akan kepentingan
dalam tubuh birokrasi. Pada akhirnya pelayanan terhadap masyarakat tidak
optimal dan muaranya masyarakat juga yang akan dirugikan. Ini menjadi patologi birokrasi tersendiri sebagaimana yang
diungkapkan oleh Webber, bahwa menekankan
dominasi kekuasaan yang berlebihan dalam menjalankan sistem birokrasi yakni jika
kepala daerah dalam mengelola birokrasi menggunakan pendekatan kekuasaan yang
membabi buta dalam mengatur birokrasi, mengatur perangkat-perangkat, jabatan,
fungsi dan kewenangan berdasarkan kalkulasi tertentu.
Dalam sambutannya
Walikota mengatakan bahwa “ketika jabatan
dimaknai sebagai sebuah kekuasaan, maka jabatan itu sudah menjadi pedang, yang
akan menebas siapa saja yang menentang dan bertentangan”
(pariamankota.go.id). Mudah-mudahan Walikota sedang tidak menggunakan
pedangnya. Selanjutnya Walikota juga mengatakan, “ketika sebuah jabatan diterjemahkan sebagai pemegang wewenang, maka
kesewenang-wenangan menjadi sebuah kebiasaan”. Mudah-mudahan Walikota juga
sedang tidak menggunakan wewenangnya untuk sewenang-wenang....Wallahu’allam bissawab.
catatan Rahmat
Rio Yuherdi