Ada lelucon ringan: “Tidak Ada Restoran Padang di Padang”. Ya, tentu saja tidak. Yang ada, misalnya, hanya Restoran “Pagi Sore” di kota Padang, Restoran Datuk dan Sate Mak Sukur—yang sempat dicicipi dan disukai Presiden kita sewaktu berkunjung ke Sumbar—di kota kelahiranku Padang Panjang atau Warung Nasi Kapau “Uni Lis” di Pasar Ateh, Bukit Tinggi.Jadi tidak ada yang namanya Restoran Padang “Pagi Sore”, Sate Padang Mak Sukur dan seterusnya, dan seterusnya.
Saya tidak tahu apakah Prof Dr Syafei Maarif yang orang Padang
(baca: Minang) pernah mendengar lelucon ini. Yang jelas ketika Buya
Syafei, begitu beliau biasanya disapa, memimpin Komisi Organisasi pada
Muktamar Muhammadiyah 44 di Jakarta tahun 2000 yang kemudian memilihnya
menjadi Ketum Muhammadiyah, Komisi tersebut memutuskan untuk tetap
mempertahankan Pancasila sebagai asas Muhammadiyah, namun sayang
keputusan Komisi Organisasi ini dibatalkan oleh Rapat Pleno Muktamar
yang kemudian menetapkan Islam sebagai asas organisasi.
Menurut hemat saya memang agak berlebihan jika Muhammadiyah
menyatakan menggunakan asas Islam, sebab namanya saja sudah
Muhammadiyah, yang secara harafiah berarti “Pengikut Muhammad”. Dan
menjadi pengikut Muhammad tidak mesti berhenti menjadi orang
Indonesia, di mana Pancasila oleh “founding fathers” Republik ini
sudah ditetapkan sebagai platform bersama bagi bangsa yang plural
ini.
Panglima Sudirman yang mantan guru sekolah Muhammadiyah,
dengan paru-paru tinggal sebelah memimpin TNI bergerilya dari
hutan-ke hutan melawan serdadu pendudukan Belanda guna
memperlihatkan kepada dunia, bahwa Republik Indonesia tetap eksis
walaupun pucuk pimpinan tertinggi negara Sukarno-Hatta ditahan dan
dibuang ke Bangka. Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa Proklamator,
Penggali Pancasila dan Bapak Bangsa Bung Karno juga merupakan
warga Muhammadiyah dan memberi wasiat agar jika beliau wafat beliau
menginginkan jenasah beliau ditutupi oleh bendera Merah Putih dan
bendera Muhammadiyah (!)
Begitu memimpin Muhammadiyah—bersama-sama KH Hasyim Muzadi Ketua
Umum PB NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia yang dengan
tegas menegaskan bahwa bentuk NKRI ini sudah final—Buya Syafei aktif
dan banyak berkiprah dalam forum lintas agama bersama pimpinan
tertinggi organisasi keagamaan lainnya dengan tidak kenal lelah
mengkampanyekan pluralisme, kekitaan dan keindonesiaan. Dan dengan
lidah yang sama tajamnya sama dengan penanya, diberbagai kesempatan
beliau sering menyerang kelompok radikal Islam yang sektarian dan
suka melakukan tindak kekerasan yang dinisbatkannya sebagai “preman
berjubah”. Dia juga sangat toleran terhadap kelompok liberal baik di
luar maupun dalam lingkungan Muhammadiyah, dan tidak pernah
ikut-ikutan menghujat Jemaah Ahmadiyah.
Di bawah ini saya lampirkan salah satu tulisan terbaru (14
Februari 2006) Buya Safei: “Membangun kembali Ke-kita-an Indonesia”.
Saya kutip antara lain: “Konsep kekitaan Indonesia adalah sebuah
on-going process, bukan sesuatu yang final. Memang kita sudah punya
Sumpah Pemuda, Proklamasi 17 Agustus 1945, sebagai puncak-puncak
capaian dari Pergerakan Nasional, tetapi semuanya itu belum cukup,
bahkan bisa berantakan, kalau kita lalai untuk menjaga dan
memeliharanya. Kelalaian inilah menurut saya yang berlaku selama ini
sehingga apa yang disebut jati diri bangsa itu belum mantap, jika
bukan masih oleng”
Saya pikir tulisan ini bagus untuk refleksi diri, apakah kita di Apakabar ini—yang sesuai dengan “values” atau “mission statement” dari milis ini yang kira-kira berbunyi: “Membangun Indonesia yang pluralis, rasional dan sekuler—perduli dengan jati diri bangsa ini, masih mempunyai ikatan emosional yang kuat dengan atribut utama kebangsaan seperti “Sang Saka Merah Putih” atau Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya” berikut pesan-pesan yang ada di dalamnya.
Atau kita cuek saja terhadap bahaya distegrasi yang mengamcam bangsa ini yang disebabkan oleh egoisme dan hedonisme pribadi dan kelompok yang sangat berlebihan, upaya-upaya untuk merusak desentralisasi/otonomi daerah dengan sukuisme/daerahisme yang kebablasan, pengembangan nasionalisme yang tidak peka kepada kemanusiaan, sektariniasme dan upaya-upaya untuk merusak demokrasi melalui demokratisasi.
Kalau masih perduli, lalu gimana?
Wassalam, Darwin
====================================================================
Membangun kembali Ke-kita-an Indonesia
Ahmad Syafii Maarif
Republika
Selasa, 14 Februari 2006
Membangun kembali Ke-kita-an Indonesia
Pada 19 Januari 2006 Yayasan Jati Diri Bangsa meminta saya
untuk menyampaikan pidato singkat, bertempat di aula Askes Jakarta.
Saya diminta berbicara tentang upaya bagaimana Indonesia tercinta
ini tidak terus meluncur ke arah ketidakpastian, baik secara moral,
maupun yang menyangkut kesadaran berbangsa dan bernegara. Melalui
modifikasi di sana-sini, apa yang saya sampaikan di depan para
undangan pada forum itu merupakan isi pokok Resonansi kali ini.
Konsep kekitaan Indonesia adalah sebuah on-going process, bukan
sesuatu yang final. Memang kita sudah punya Sumpah Pemuda,
Proklamasi 17 Agustus 1945, sebagai puncak-puncak capaian dari
Pergerakan Nasional, tetapi semuanya itu belum cukup, bahkan bisa
berantakan, kalau kita lalai untuk menjaga dan memeliharanya.
Kelalaian inilah menurut saya yang berlaku selama ini sehingga apa
yang disebut jati diri bangsa itu belum mantap, jika bukan masih
oleng.
Dengan segala rasa hormat saya kepada Bung Karno dan Pak Harto
sebagai presiden Indonesia pertama dan kedua yang telah menakhodai
republik ini selama 53 tahun, keduanya juga telah melakukan
kesalahan-kesalahan yang mendasar terhadap konstitusi kita dan
pelaksanaannya. Kedua Bapak Bangsa ini telah membunuh demokrasi atas
nama demokrasi. Lebih tragis lagi adalah nasib yang menimpa
Pancasila yang memuat nilai-nilai luhur dan agung itu lebih banyak
dijadikan retorika politik untuk kekuasaan, bukan untuk mencapai
tujuan proklamasi berupa “tegaknya keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”.
Sumber pokok dari segala kekacauan dan konflik yang terus saja
berlangsung, dengan skala kecil atau besar, adalah karena nasib
keadilan yang diperkosa dan diterlantarkan. Dengan ungkapan lain,
jika kita memang sungguh-sungguh dan jujur untuk membangun kembali
“ke-kita-an Indonesia”, maka seluruh gerak pembangunan kita harus
diarahkan kepada upaya menegakkan keadilan ini. Ketidakpedulian
terhadap yang satu ini, jangan berharap cita-cita untuk membangun
“kekitaan” akan menjadi hari depan Indonesia.
Sejak 1998, bangsa ini yang diwakili oleh MPR telah berupaya
menata kembali kehidupan bangsa ini melalui perubahan konstitusi.
Dengan segala kelemahan di sana-sini, ada dua pilar utama yang patut
kita hargai. Pertama, pembatasan masa jabatan presiden/wakil
presiden; kedua, pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung
oleh rakyat. Sekarang kita sedang berada dalam proses transisional
yang dinamis dan kreatif dalam “menguji coba” kedua pilar konstitusi
itu.
Kendala terbesar yang kita hadapi sekarang adalah langkanya
jumlah negarawan yang punya visi jauh ke depan, bukan mereka yang
terpaku dan terpukau oleh kepentingan jangka pendek untuk diri dan
kelompoknya. Yang berkeliaran sekarang di panggung politik Indonesia
adalah jenis manusia yang kedua ini. Bangsa ini kehilangan
keteladanan. Tokoh-tokoh sipil yang dinilai punya wawasan
kenegarawanan satu persatu pergi menghadap Allah untuk tidak
kembali. Bangsa ini kata banyak pendapat benar-benar telah
kehilangan keteladanan sampai ke tingkat yang paling bawah. Cobalah
adakan penelitian sosial pada di akar rumput, alangkah sukarnya
mencari sosok yang bisa diteladani oleh rakyat banyak. Berapa
banyaknya kepala desa yang diminta mundur oleh rakyat karena
ketiadaan amanah dan keteladanan. Proyek-proyek bantuan untuk desa
jarang yang tidak disunat oleh aparat desanya. Jadi, dari pucuk sampai
ke pangkal aparat negara banyak sekali yang bermasalah, umumnya
menyangkut masalah keuangan. Posisi uang telah mengalahkan agama.
Itu belum lagi kita berbicara tentang masalah pengangguran yang
dari hari ke hari semakin mengembung. Lapangan kerja, alangkah
sulitnya, termasuk bagi mereka yang berpendidikan tinggi. Kalau
begitu, apakah ada solusinya? Sebagai sebuah bangsa merdeka, kita
tidak boleh kehilangan harapan untuk memperbaiki keadaan yang sudah
rusak ini. Sekalipun sangat berat, salah satu bentuk solusi itu
adanya kesediaan kita untuk mengubah secara fundamental sikap mental
kita yang korup dan semifeodal kepada mental demokrasi yang
autentik dan jujur dengan tujuan tunggal: menegakkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang dituntut secara
tegas oleh Pancasila.
Tindakan pemerintah untuk memberantas korupsi haruslah dilihat
dalam perspektif menegakkan keadilan ini, dan harus didukung oleh
seluruh kekuatan bangsa. Inilah kanker sosial-ekonomi yang
melumpuhkan apa yang kita bangun selama ini. Pemerintah tidak boleh
pandang bulu dalam mengejar para koruptor itu. Cara Cina dengan
menggantung atau menghukum mereka patut dicontoh setelah melalui
proses hukum yang adil, terbuka, tanpa pilih kasih.
(Ahmad Syafii Maarif )
oleh Darwin Bahar