Saya bukan warga Jakarta, tak pernah punya
keinginan berdomisili di Jakarta – bekerja di Jakarta saja sudah membuat
saya “takluk” – tapi mau tak mau ikut mencermati hiruk pikuk Pilkada
Jakarta yang gaungnya menasional, seolah pemanasan Pilpres saja.
Satu hal yang sangat saya sayangkan, dalam 2 bulan terakhir ini, pasca Pilgub putaran pertama, setelah hasil quick count
menunjukkan siapa pasangan Cagub –cawagub yang berpeluang mempin
jakarta diketahui, warga Jakarta justru dirugikan. Rugi karena mereka
kehilangan kesempatan untuk menggali lebih dalam sosok calon
pemimpinnya, bukan sebagai person tapi sebagai pemimpin yang akan
menentukan nasib warga Jakarta. Bukan sebagai sosok dengan segala macam
urusan privatnya yang tak perlu diperdebatkan. Tapi sebagai pemimpin
yang memahami permasalahan warga, yang tahu kebutuhan warga dan tahu
bagaimana mengatasinya.
Dalam 2 bulan terakhir ini perdebatan justru
terfokus pada masalah pribadi sang calon, terutama soal issu SARA yang
seperti sengaja dihembuskan. Sebab di putaran pertama masalah ini tak
pernah dianggap penting, tapi menjelang putaran kedua seolah soal ini
jadi issu utama. Coba pikirkan : pentingkah latar belakang agama ortu
kandidat (seperti yang diusung Rhoma Irama)? Bukankah kita banyak
mengenal tokoh yang tak diragukan kredibilitas dan dedikasinya lahir dan
dibesarkan dari orang tua yang berbeda keyakinan dengannya? Semisal
Muhammad Syafi’ie Antonio, pakar ekonomi syariah yang ikut membesarkan
Bank Muamalat sejak awal mula berdiri, yang terlahir dari ortu etnis
China yang non Muslim. Dulu ada ustadz terkenal bernama Syaukani Ong,
seorang yang terlahir dari keturunan etnis China non Muslim yang karena
mendapat hidayah lalu memeluk agama Islam dan jadi pendakwah. Pun juga
ada ada Anton Medan, mantan preman sekaligus napi yang kini punya
pesantren dan membina mantan napi. Jadi, relevankah membawa-bawa latar
belakang agama orang tua Cagub dengan alasan untuk mengingatkan pemilih?
Begitulah hiruk pikuk Pilgub DKI, energi warga dan
pendukung kedua pasangan Cagub terkuras untuk hal-hal yang sama sekali
tidak esensial dan tak membuat mereka jadi lebih mengerti apa yang bisa
diberikan kandidat jika kelak jadi pemimpin mereka.
Semalam, Metro TV menggelar debat Cagub-Cawagub.
Saya berharap banyak bisa ikut mendengar lebih jelas apa yang akan
mereka lakukan untuk Jakarta. Acara yang dipandu host Najwa
Shihab dan Suryopratomo ini didesain cukup megah. Pendukung kedua
pasangan sudah sejak sore memadati tempat duduk yang tersedia.
Pertanyaan host pun cukup berbobot dan berkaitan langsung
dengan masalah kronis yang membelit Jakarta. Sayangnya, cara menajwab
kedua pasangan Cagub dan Cawagub yang menurut saya pribadi sangat
mengecewakan. Isi jawabannya mungkin masih debatable, masih
bisa disanggah oleh para pakar di bidangnya, masih perlu pembuktian saat
mereka benar-benar terpilih nanti. Tapi cara mereka mengemukakan ide
itu menunjukkan karakter pribadi yang sebenarnya. Sayangnya, kekecewaan
selama 2 bulan akibat “bentrok” antar pendukung kedua calon baik di
dunia nyata maupun di dunia maya, semalam seolah menjadi paripurna
dengan penampilan kedua pasangan itu sendiri, yang ikut larut dalam
perseteruan yang kekanak-kanakan.
Saya tak ingin membahas kehandalan dan reliabilitas
dari program kerja 2 pasang kandidat itu. Saya tak punya kompetensi
menilai solusi masalah-masalah Jakarta yang ditawarkan mereka. Hanya
saja, dari caranya menjawab, terkesan Jokowi seolah sangat meremehkan
dan menggampangkan persoalan di Jakarta. Saya cukup kaget, sebab tak
menyangka Jokowi yang selama ini terkesan low profile, ternyata
bisa juga bersikap sombong. Setiap kali memulai jawaban selalu diawali
dengan kalimat yang bernada meremehkan persoalan.Begitupun bahasa tubuh
dan mimik mukanya. Jika host mencoba melakukan pendalaman atau mengejar argumennya, sikap melecehkan ini makin menjadi. Itu kesan yang saya tangkap.
Tak jauh beda dengan Jokowi, Foke sebagai incumbent, juga jumawa seolah hanya dia saja yang ahli masalah Jakarta. Apa Foke belum kapok dengan tagline
kampanye tahun 2007 “Serahkan pada ahlinya” yang justru berbalik jadi
olok-olok ketika seantero Jakarta dilanda banjir besar hanya gara-gara
hujan 2 jam saja, di bulan Oktober 2010 lalu. Saat itu, hampir semua
warga DKI dan sekitarnya baru bisa sampai di rumah sepulang kantor,
sekitar jam 12 malam atau jam 1 dini hari. Karena jalan-jalan protokol
Jakarta tempat pusat perkantoran berada, baru bisa dilewati sekitar jam
10 malam. Saya yang saat itu masih berkantor di sebuah gedung
perkantoran di jalan Sudirman, ikut merasakannya. Kontan esok harinya
beredar BBM yang mengolok-olok Foke, lengkap dengan fotonya. So.., kalau
kali ini Foke masih juga arogan dengan meng-klaim dirinya “ahli”
Jakarta, tampaknya Foke tidak belajar dari pengalaman.
Saya makin kecewa ketika debat kandidat memasuki
sessi terakhir, di sinilah karakter 2 pasang calon itu makin tampak
nyata. Di sessi terakhir ini setiap pasangan calon dipersilakan
mengajukan pertanyaan kepada pasangan lainnya. Foke yang mendapat
kesempatan lebih dulu, mengingatkan Jokowi bahwa dia dulu pernah
berjanji bahwa kepentingan rakyat Solo adalah segalanya. Tapi belakangan
Jokowi mengatakan kepentingan warga Jakarta adalah segalanya. Foke
menanyakan : konflik batin macam apakah yang sedang terjadi dalam diri
Jokowi. Pertanyaan ini memang cukup telak, seharusnya dijawab dengan
hati-hati. Point dari pertanyaan Foke ada “roso”,
sebab orang Jawa umumnya mendahulukan “rasa”. Jadi semestinya
jawabannya menyangkut perspektif Jokowi pribadi, sudut pandangnya
sendiri tentang hal ini.
Namun sekali lagi saya harus kecewa, karena
ternyata Jokowi menjawab singkat : toh Undang-Undangnya membolehkan
seorang Walikota mendaftar jadi Cagub di tempat lain. Bukankah ini
sebenarnya jawaban jauh panggang dari api? Yang ditanyakan bagaimana
konflik perasaan dalam dirinya, yang dijawab UU yang membolehkan.
(Semisal : jika di suatu daerah Perda-nya membolehkan miras dijual
bebas, bagaimana pandangan kita sendiri. Kalau dijawab : selama aturan
membolehkan ya boleh saja, maka itu tandanya kita sendiri tak punya
sikap yang jelas). Ketika Foke mencoba mengejar, Jokowi makin membuka
“kartu”nya : “Ya untuk peningkatan karir lah! Masak saya harus di Solo
seterusnya sampai seumur hidup?” kurang lebih begitu jawabnya. Bahkan ia
membandingkan ada kepala daerah yang demi peningkatan karir beralih
menjadi Menteri. Saya sendiri sangat menyayangkan jika dasar pemikiran
Jokowi ternyata sama pragmatis-nya dengan
politisi lain, yang motivasinya karena peningkatan karir politik. Jadi…,
kalau begitu kepentinga warga sebatas retorika? Entahlah, semoga saja
Jokowi punya jawaban yang jauh lebih baik dari ini.
Ketika giliran Jokowi yang berkesempatan bertanya
pada Foke, ia mencecar Foke dengan pertanyaan : Siapa sebenarnya yang
beretorika, saya atau Pak Foke (terkait dengan pembangunan koridor
busway, monorail)? Akhirnya, pertanyaan ini dan jawaban Foke, tak lebih
hanya jadi ajang perang mulut saja, disaksikan dan sekaligus disuporteri
oleh kubu pendukung masing-masing. Jadi mirip anak-anak yang berantem :
kamu atau aku yang duluan salah?
Saat Nachrowi Ramli dapat giliran bertanya, saya
makin tak simpati. Bayangkan, forum formil dan dilihat jutaan pasang
mata ini oleh Nara dijadikan ajang olok-olok yang tidak lucu. Nara
memulai dengan kata-kata “haiyyaa.., Ahok…” lengkap dengan nada agak
sengau mirip aksen etnis China dalam lawakan di TV. Nah, kalau calon
yang didukung saja bisa melontarkan olok-olok seperti ini di forum
resmi, pantas saja kalau tim kampanye dan pendukung-pendukung Foke –
Nara gemar dengan issu SARA. Guru kencing berdiri, murid kencing
berlari.
Sebaliknya ketika giliran Ahok bertanya, ia dengan
terang-terangan mengejek manajemen busway seperti manajemen warung
tegal. Akhirnya, tak jauh beda dengan pertanyaan yang diajukan Jokowi,
pertanyaan Ahok ini pun cuma jadi ajang saling ejek dan bukannya adu
argumen yang esensial. Sayang sekali, warga Jakarta lagi-lagi disuguhi
debat kusir seperti ini.
Menjelang akhir acara, kedua Cagub diminta mengapresiasi kelebihan lawannya. Seharusnya, sessi penutup ini bisa menjadi sarana cooling down
yang efektif. Para Cagub bisa menitipkan pesan moral kepada para
pendukungnya, bahwa sejelek apapun “musuh” kita, ia tetaplah punya
kelebihan yang bisa diapresiasi. Para Cagub bisa menjadi teladan dengan
menunjukkan sikap ke-negarawanan-nya, kalau saja mereka bisa berbesar
hati mengeluarkan satu dua kalimat menyejukkan hati yang berupa
apresiasi tulus atas pesaingnya. Sayangnya, keduanya memilih untuk
berseteru sampai akhir!
Foke menilai “kelebihan”Jokowi adalah : berani
menjanjikan sesuatu yang belum tentu bisa dilaksanakan. Kata Foke, ia
harusnya bisa belajar bagaimana melakukan pencitraan yang lebih baik
dari Jokowi. Jelas pernyataan Foke ini bukan apresiasi yang tulus. Itu
justru sebuah sindiran sarkastis. Kesannya : disuruh mengapresiasi
kelebihan malah melontarkan pelecehan.
Seolah tak mau kalah, Jokowi pun setali tiga uang.
Ketika diminta mengapreasi kelebihan Foke, Jokowi justru mengeluarkan
pernyataan : Pak Foke dengan segudang pengalamannya di Pemerintahan
seharusnya sudah bisa memutuskan bukan sebatas merencanakan. Sampai
Najwa Shihab merasa perlu untuk meluruskan, bahwa yang ditanyakannya
kelebihan Foke dari sudut pandang Jokowi. Jokowi pun menegaskan : ya
itu, Pak Foke punya banyak rencana tapi gak bisa memutuskan. Nah…, jelas
ini ejekan bukan? Sama sekali bukan apresiasi.
Akhirnya, sampai acar usai saya merasa prihatin,
karena warga Jakarta dan pemirsa TV se-Indonesia hanya disuguhi gaya
berantem elit politik tingkat tinggi yang piawai melontar ejekan dengan
gaya satire. Bagi para pendukungnya – kedua pasangan memiliki pendukung
fanatik dan militan – tentu dialog di Metro TV semalam tak akan mengubah
pilihannya. Tapi bagi mereka yang belum menentukan pilihan, bisa jadi
dialog semalam justru makin membuat bingung : mana yang akan dipilih?
Karakter dan sifat keduanya seolah terbuka dalam debat semalam. Selamat
memilih warga Jakarta, semoga siapapun pemenangnya, akan mampu
merealisasikan janji-janjinya semudah ketika mereka mengucapkan.
Dan semoga saja, kalau sudah menang nanti, mereka belajar menjadi negarawan, bukan sekedar politisi. Sebab kita sudah inflasi politisi tapi krisis negarawan.
Lihatlah bagaimana Bu Mega bersikap, 2 kali Pilpres tak juga bisa
mengalahkan SBY, ujung-ujungnya tak pernah mau menyapa SBY apalagi
bersalaman. Tentu anak bangsa butuh teladan dari para pemimpinnya. Jika
pemimpinnya memupuk permusuhan dan memelihara dendam, tentu tak heran
jika peselisihan horisontal di akar rumput sulit dipadamkan. Warga
Jakarta sudah bosan dengan tawuran dan bentrok. Pilkada Jakarta hanyalah
satu event rutin pesta demokrasi 5 tahunan. Haruskah Jakarta
terkubu menjadi 2 kelompok hanya karena beda dukungan? Saya masih
berharap, kedua Cagub itu bisa memberikan teladan, bisa legowo menerima
kekalahan, seperti Pak JK memilih mengabdi di PMI ketimbang merecoki
pemerintahan SBY, misalnya. Selamat memilih warga Jakarta, saya ingin
Jakarta aman dan damai.
catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer