“Nak, pulanglah. Ayahmu sakit.”
Hanya itu kalimat yang tercatat di kertas telegram itu. Chaidir tercenung sambil memandang teluk Ambon. Sejak kerusuhan antar pemeluk agama di Maluku ini, Chaidir ditugaskan di bagian logistik kesatuan Angkatan Darat. Kinerjanya bagus. Laporannya akurat. Karena itu Chaidir tetap dipertahankan. Ini tahun ke delapan dari masa tugasnya.
Chaidir tak peduli dengan pangkatnya. Ia pernah mencoba bicara dengan saudara sekampungnya untuk mencari jenderal di Jakarta agar ia bisa pindah. Bertugas lama di satu daerah membuatnya rindu pulang. Tapi, tak ada yang bisa menolongnya. Apapun gerak tentara sekarang, melewati mata rantai panjang birokrasi. Dan itu berarti politik. Sementara, Chaidir tak paham politik di dalam birokrasi.
“Ritonga, apa kamu siap? Kapal terakhir berangkat nanti malam menuju Tanjung Priok,” tanya Chaidir kepada seorang teman baiknya yang bernasib sama.
“Siap, Ndan. Beta mau jenguk kuburan Opung!” jawab Ritonga.
“Hahaha, hilangkanlah logat Ambonmu itu. Kita kembali ke Sumatera!”
“Siap, Ndan!”
Malam harinya, kedua lelaki itu dengan pakaian sipil memasuki Kapal Kambuna. Mereka memilih tempat yang paling tersembunyi, khawatir bertemu dengan atasan dari kesatuan yang sama.
Hujan tak hadir ketika Kapal Kambuna melayari Teluk Ambon, bergerak ke arah barat Kepulauan Indonesia.
***
Musi Rawas, Sumatera Selatan. Jalak sedang memperbaiki motor trailnya. Motor ini sudah sering coreng-moreng akibat tabrakan. Tapi karena coreng-moreng itulah motor ini begitu berharga. Setiap baret di motor ini berarti uang, apalagi dalam musim panen menjelang lebaran.
Jalak tak kenal ayah dan ibunya. Sejak kecil dia tahunya terminal demi terminal. Suatu kali, dia diminta seorang pemuda yang jadi “boss kecilnya” untuk menabrak sebuah mobil pribadi di jalan lintas Sumatera. Lalu, Jalak diminta pura-pura terluka. Aksinya berhasil. Si pemilik mobil terpaksa membayar ratusan ribu rupiah untuk membawanya ke rumah sakit.
Jalak kini memiliki satu bengkel motor bersama sindikatnya. CV Angin Ribut, nama bengkel itu. Jika orderan memperbaiki motor sepi, Jalak kembali ke jalanan untuk melakukan aksi heroiknya: menabrakkan motornya ke mobil-mobil pribadi di jalanan sepi.
***
Bunyi peluit panjang membangunkan Chaidir dan Ritonga. Kapal Kambuna merapat di Pelabuhan Tanjung Priok.
“Uh, air laut ini begitu kotor, Ndan. Beta mau muntah melihatnya. Beda dengan perairan Maluku,” kata Ritonga, sambil membuang puntung rokoknya ke laut.
“Ah, kau. Mulutmu itu yang belum kering dari logat Ambon. Berkumur-kumurlah, supaya ‘beta’ tak muncul lagi dari air ludahmu,” kata Chaidir.
“Eh, siap, Ndan!”
Mereka bergegas turun. Sejak zaman dulu, Tanjung Priok jarang berbenah. Baru belakangan gudang-gudang besar menghilang. Ruang untuk kontainer-kontainer raksasa diperbanyak. Tapi tetap saja area untuk penumpang kapal tak banyak tersedia.
Chaidir menelepon seseorang. Tak lama, satu lelaki bermata sipit datang menghampiri.
“Kijang kapsul sudah tersedia, Pak. Saya ditugaskan boss mengantarkan kuncinya. Itu mobilnya. Semoga selamat di perjalanan.”
Mereka bertiga berjalan menuju tempat parkir mobil itu. Perawatan mobil itu bagus, walau merek itu sudah tak lagi ada di pasaran sekarang.
“Terima kasih. Nanti sampai di Jakarta saya hubungi kembali. Salam sama Mr A,” kata Chaidir.
“Siapa itu Mr A, Ndan?” tanya Ritonga, ketika mereka melewati Jalan Tol Tanjung Priok ke arah Grogol.
“Langganan membeli logistik untuk kesatuan. Dia menawarkan kendaraan ini untuk pulang. Aku sebetulnya tidak enak, khawatir tentara masih dianggap sama dengan zaman dulu. Tapi Mr A memaksa. Pas membalikkan mobil ini seminggu lagi, aku akan menyelipkan sejumlah dana sebagai ongkos sewa,” jawab Chaidir di belakang stir.
Ritonga tak bertanya lagi. Dia memutar lagu-lagu Batak yang sudah tersedia di DVD yang tersedia di mobil itu. Walau produk lama, interior mobil ini sudah dipermak supaya nyaman dipakai di dalam perjalanan jauh.
Grogol terlewati, Kebon Jeruk menyusul, jalanan menuju pelabuhan Merak-Bakauheni padat-merayap.
***
“Jalak, ke sini!”
Jalak yang sedang memandang hasil kerjanya merapat. Seseorang yang dianggapnya guru kehidupan datang dengan mimik muka serius. Pak Tuah.
Mereka duduk di bangku kecil di bawah pohon jambu yang sedang berbuah.
“Ada yang mengaku orangtuamu. Aku jumpa dia di satu rumah makan di Lubuk Linggau. Dia bercerita kehilangan anak tiga puluh tahun lalu di sekitar terminal. Sampai sekarang, dia tiap tahun ke terminal, untuk mencari anaknya,” kata Pak Tuah.
“Darimana Abah tahu, itu orangtua saya?”
“Dia menceritakan ciri-cirimu, pas hilang tiga dekade lalu. Aku masih ingat pakaian yang kamu pakai. Juga ada tanda bekas luka di bibir bawahmu. Itu sudah cukup, tak perlu tes DNA, haha.”
Jalak tercekat. Ia selama ini merindukan sosok orang-tuanya. Hidup sebagai anak terminal sungguh menyiksa batinnya.
Pak Tuah terus bercerita. Dia sebetulnya ingin mengajak kedua orangtua itu ke bengkel Jalak. Tapi dia khawatir, orangtua itu tak kuat secara batin. Makanya, dia hanya meminta alamat yang bisa didatangi. Kedua orangtua itu memberikan alamat, satu kampung di pinggir Danau Singkarak, Sumatera Barat. Setelah menulis alamat itu, mereka pamit, menaiki sebuah bis yang berisikan para peziarah dari Banten yang hampir seluruhnya berisi kakek-kakek dan nenek-nenek.
“Besok malam saya berangkat, Abah. Tepat di malam lebaran. Doakan saya. Ini saat paling bahagia dalam hidup saya,” kata Jalak, berusaha menahan rasa harunya.
Abah tersenyum. Dia sudah menganggap Jalak sebagai anaknya sendiri. Ia sudah ajari ilmu dunia. Sekarang, saatnya Jalak menjalani kehidupan baru yang lebih baik.
***
Jalan Lintas Sumatera. Hanya satu-dua mobil yang berani berjalan sendirian. Sisanya, berombongan.
Ritonga di belakang stir. Chaidir tertidur pulas. Sejak berhenti di rumah makan di kawasan Kotabumi, Lampung Utara, Chaidir berganti posisi dengan Ritonga. Lampung terlewati, Sumatera Selatan tertelusuri. Di kiri-kanan jalan, ilalang-ilalang panjang dan hutan yang tak lagi perawan memapah jalanan.
Bintang-bintang tak berkedip. Ada awan menyelimuti langit.
Dan tiba-tiba: “Braaak!!”
Sebuah motor trail menabrak dari arah depan. Ritonga terkejut, membanting stir ke kanan. Sesosok tubuh bergerak di kap mobil, berputar, lalu tergeletak di sisi kiri.
Lalu, bersamaan, dua-tiga motor lain datang. Mereka menunjuk-nunjuk. Ada yang menyalakan api di botol berisi bensin. Ada cahaya pedang berkilat.
Suasana berubah menjadi kacau. Chaidir meraba pistolnya. Ritonga masih terlihat diam, di belakang stir, dengan kepala berdarah. Ia pingsan.
“Keluar, kalian!”
Chaidir waspada. Dulu dia sering melihat dan mengalami adegan ini, ketika rusuh berkali-kali datang di Ambon dan bagian Maluku lainnya. Kini, adegan itu berpindah ke tengah hutan Sumatera.
“Apa salah saya?” tanya Chaidir, dengan tetap waspada. Dia sudah bersiap, kalau mobil dilempari molotov, bisa segera keluar. Kunci pintu mobil sudah dalam keadaan open. Tapi pintu mobil tetap tertutup. Hanya kacanya dibuka, sedikit, agar suaranya terdengar di luar.
“Kalian sudah menabrak penduduk di sini. Itu yang tergeletak. Bawa ke rumah sakit, atau serahkan biayanya, biar kami yang membawa!”
Suara para penunggang motor itu tak kalah kerasnya.
“Saya tak tahu masalahnya. Saya sedang tidur. Sekarang teman saya pingsan. Kasih saya kesempatan berpikir!”
“O, melawan kamu? Lempaaaar!”
Bom-bom molotov beterbangan menghantam mobil.
“Dor! Dor! Dor!”
Suara mengaduh terkena tembakan.
Orang-orang berloncatan. Satu tusukan pedang lewat sela jendela hinggap di dada kiri Chaidir. Ia tak menyerah, si penyerang tumbang terkena tembakan.
Api menyala-nyala. Ritonga dilalapnya dalam keadaan tak sadar.
Tak lama, mobil-mobil polisi datang. Juga Pak Tuah yang menaiki motor.
Pak Tuah menangis mendapati tubuh Jalak bersimbah darah. Kepalanya pecah. Biasanya, sekeras apapun benturan, Jalak hanya tergores.
***
Kepada polisi, Pak Tuah bersaksi.
“Jalak malam ini hendak menuju kampung halamannya di pinggir Danau Singkarak. Tapi ia tiba-tiba sadar, sudah memerintahkan anak-anak buahnya untuk melakukan aksi di titik ini. Dia bergegas tanpa mengenakan helm, untuk mengabarkan bahwa operasi malam ini dihentikan. Untuk selamanya. Rupa-rupanya, anak buahnya mengira kalau Jalak sedang melakukan aksi dengan menabrakkan motornya ke kijang kapsul itu.”
Sayup-sayup, suara takbir masih mengalun di mesjid-mesjid yang berada di kejauhan.
Hujan turun membasahi persada.
catatan Indra J Piliang