Sudah menjelang pukul 12 siang. Tiga orang bersaudara itu masih sibuk dengan linggis, pacul, lading dan sebuah alat pengangkut tanah yang terbuat dari rotan. Alat itu pakai “telinga” di kedua sisinya, sehingga dengan mudah bisa diangkat, baik sendirian ataupun berdua. Peluh hinggap di badan yang tak tertutupi baju itu. Matahari menyengat.
“Mari, istirahat dulu, Jo. Perut sudah keroncongan,” kata si Bungsu. Jo atau Ajo adalah panggilan untuk seorang kakak di Pariaman, Sumatera Barat.
“Sebentar lagi, Dik. Amak segera datang membawa rebus pisang pakai kelapa parut dan gula. Dicampur sedikit garam, enak terasa,” ujar Si Tengah. Si Sulung yang mendengar pembicaraan itu, hanya tersenyum dari jauh.
Tiga saudara itu telah kehilangan ayahnya sejak kecil. Ayahnya pergi merantau ke Jakarta. Dalam tahun pertama dan kedua, ayahnya mengirimkan baju-baju bagus. Foto-foto ayahnya yang gagah itu juga dikirimkan, beserta sedikit tulisan tentang lokasi foto-foto itu. Ya, ayah ketiganya bekerja pada sebuah ekspedisi, menjadi seorang sopir perusahaan, lalu bepergian ke seluruh Pulau Jawa dan Bali.
Amak sempat sekali pergi ke Jakarta. Tapi hanya sebentar. Sejak kepulangan itu, Amak lebih banyak merenung, tetapi pada suatu hari bekerja lebih giat dari sebelumnya. Sawah yang “dipaduokan” kepada orang lain, langsung diambil Amak dalam musim tanam berikutnya. Amak sendiri yang memacul sawah itu, menyebarkan benih padi, serta menanam dan memeliharanya. Rumout-rumput pengganggu disiangi. Tiap pagi, amak pergi ke hulu kali, untuk memastikan air mengaliri benih padi yang masih muda itu.
Dan sejak itu juga, si Bungsu, Si Tengah dan Si Sulung tak lagi mendapatkan kiriman baju dari ayahnya.
“Baju-baju yang dikirim ayah kalian ini amak bawa ke pasar, ya? Nanti diganti dengan baju-baju yang lebih baru, walau tidak semahal ini,” kata Amak. Semula, si Tengah keberatan. Dia menyukai baju-baju kiriman ayah, walau jarang sekali memakainya.
“Kenapa, Mak? Apa nanti kata anak-anak tetangga?” kata si Tengah.
“Ah, tidak apa-apa, Nak. Anak-anak tetangga juga tak pakai baju bagus, kan? Justru nanti tidak enak, kalau ananda pakai baju bagus, sementara mereka tidak punya,” begitu jawab Amak. Si Tengah mengerti.
Sore harinya, Amak membawa sejumlah baju baru. Tipis, penuh warna, tetapi sesuai dengan mode anak-anak di nagari sini. Ketiga saudara itu menyenanginya, lalu memakai baju itu sampai tertidur pulas.
Si Bungsu bermimpi, ayahnya mengambil baju-baju yang dibawa amak ke pasar tadi pagi. Lalu baju-baju itu dipakaikannya kepada anak-anak kecil lain yang dibawa seorang perempuan.
Itu mimpi terakhir si Bungsu dengan ayahnya.
***
Pukul 12.15, amak belum juga datang. Si Bungsu semakin gelisah. Dia menoleh ke arah jembatan kayu yang terbuat dari pohon kelapa di kali kecil dekat ladangnya. Amak tak terlihat. Dari ladang yang lain, seseorang berteriak : “Alah makan buyuang? Kamarilah..”. Rupanya suara Sidi Balun.
Si Sulung yang menjawab, “Taruihlah, Ungku! Sabanta lai!”
Si Bungsu kini duduk di kelas 6 SD. Kakaknya, si Tengah, duduk di kelas 2 SMP. Si Sulung, duduk di kelas 1 SMA. Ini hari Minggu. Biasanya, si Sulung kos di Pariaman, ibukota kabupaten. Tiap hari Sabtu si Sulung pulang dan membantu kerja amaknya di kebun. Kadang, kalau musim menanam atau menyabit padi, si Sulung tidak pergi ke tempat kos, tetapi memilih pulang-pergi naik kendaraan
“Nih ada kelapa muda. Makan saja ini dulu, Dik,” ujar si Sulung, sambil membawa tiga butir kelapa.
“Wah, rugi dong kita, Jo? Kan kalau kelapa ini jadi tua, bisa dijual untuk keperluan sekolah?” protes si Tengah.
“Tidak apa-apa. Kan masih dua bulan lagi bisa dipanen. Sementara, kita laparnya sekarang. Kalau nunggu dua bulan lagi, dua hari lagi kita sudah mati,” jawab si Sulung, sambil tertawa.
Kedua adiknya juga tertawa.
“Kalau amak belum juga datang, kita cabut singkong di dekat kolam ikan itu. Ya, walaupun masih kecil-kecil, lumayan untuk pengganjal perut,” kata si Tengah, sambil menyantap kelapa mudanya.
“Iya, Jo. Kita juga bisa tangguak ikan di kolam. Ikannya kan juga kecil-kecil. Singkong kecil, pakai ikan kecil, wah enaaaaaak!” balas si Bungsu. Ketiganya tertawa.
Usai makan buah kelapa, ketiganya pergi ke kali, lalu sholat berjamaah di kerikil-kerikil kecil dan bersih pinggir kali. Terlebih dahulu ketiganya mencari batu pipih di dalam kali, berlama-lama, lalu membersihkannya. Lalu, batu-batu pipih itu diletakkan di kerikil sebagai arah kiblat mereka dan tempat kepala mereka beradu ketika sujud.
***
Seorang lelaki terlihat memperhatikan ketiga anak kecil itu. Badannya kurus. Rambut sudah dipenuhi uban. Ada gurat-gurat di wajahnya. Dia berdiri di atas jembatan kayu yang terbuat dari pohon kelapa. Lama dia menatap ke bawah. Dia tak beringsut, hanya mematung saja.
Lelaki itu memakai jaket kumal. Sidi Balun yang juga mencari tempat untuk sholat Zuhur, menatap kearah lelaki itu. Dan walau tertutupi oleh tubuh yang kurus, Sidi Balun mengenali lelaki itu. Ada senyum sinis di mulutnya, tetapi segera berubah menjadi wajah cerah.
“Bilo Sutan pulang? Alah lamo di siko?” tanya Sidi Balun, sambil menghampiri lelaki itu.
“Baru tibo, Mamak. Lai sehat-sehat sajo?” jawab lelaki itu, dengan nada rendah.
“Lai. Alah sumbayang?”
“Alun lai, Mak. Bekolah. Ambo nio mandi dulu,” jawab lelaki itu.
Kedua lelaki itu berpisah. Sidi Balun mengambil tempat dekat ketiga anak yang sedang sholat itu, sementara si lelaki lebih ke hulu kali, mencari lubuk yang agak dalam, tersembunyi, lalu mandi di sana.
Seorang perempuan datang agak tergopoh. Di kepalanya terdapat nampan yang ditutup pakai kain. Kalau isinya bukan makanan, pastilah sesuatu yang bisa dimakan. Masih terlihat sisa-sisa kecantikan di wajahnya yang penuh kerut itu. Dia lewati jembatan kayu itu, lalu turun ke arah kali, membaur dengan ketiga anak lelaki tadi.
“Lho, tadi alah makan kecek waang, Yuang? Iko induak waang baru tibo mambao nasi?” teriak Sidi Balun, ketika ketiga anak lelaki itu mengerubungi amaknya.
“Ah, sagan awak ka Ungku. Ungku kan mamasak saketek, hehe,” ujar si Sulung.
Si Bungsu menatap mata amaknya. Ada mendung membayang.
“Ado apo, Mak? Baa mato amak merah?” tanya si Bungsu.
Perempuan itu tersenyum. Dia minta maaf kepada ketiga anaknya, karena terlambat datang.
“Amak sumbayang dulu di rumah. Baru pai kamari,” ujar perempuan itu, lembut.
Perempuan itu menghidangkan makanan yang dia bawa, beralas dua helai daun pisang yang diambil oleh si Tengah. Lima nasi bungkus juga diletakkan di atas daun.
“Kamarilah, Ungku. Ado limo bungkuih nasi koa,” pekik si Sulung. Amaknya tersenyum.
“Tunggu dulu, yo. Amak ka mangecek jo Mamak Sidi,” ujar perempuan itu.
Ketiga anak lelaki itu menjawab serentak: “Siaaaaaap, Bundo!!!”
Perempuan itu beranjak ke Sidi Balun. Mereka bercakap. Tak lama, Sidi Balun beranjak. Hilang di tikungan kali.
“Kemana Ungku Sidi itu, Mak? Ndak sato makan?” tanya si Bungsu.
“Tunggulah sabanta,” jawab perempuan itu.
Karena kecapekan, ketiga anak lelaki itu tidur-tiduran. Kebetulan mereka terlindungi oleh pohon-pohon bambu, sehingga matahari tak sampai di tubuh mereka. Ketiganya tak merasa terlalu lapar. Di samping jam lapar sudah lewat, satu butir kelapa muda sudah mengganjal perut mereka.
Dan tiba-tiba, terdengar suara seseorang menangis. Sesengukan. Suara lelaki. Bundo juga ikut-ikutan sesengukan. Ketiga anak lelaki itu melihat ke arah suara itu. Sidi Balun merunduk di belakang suara lelaki yang menangis itu.
“Ayaaaaaaaah!!!!”
Si Sulung berteriak, menghambur ke arah lelaki itu.
Gemericik air sungai lenyap. Diganti oleh suara-suara parau...
catatan Indra J Piliang