Ramadhan sudah memasuki 10 hari terakhir. Jika
awalnya adalah berkah, pertengahannya adalah rahmat dan penghujungnya
adalah ampunan, maka seharusnya di 10 hari terakhir ini ummat Islam
makin khusyu dan masjid/musholla makin ramai dipadati jamaah, tadarus
makin banyak pesertanya dan berbagi makin menentramkan. Sayangnya, ironi
yang justru banyak terjadi. Masjid makin sepi, jamaah makin maju
shafnya, mall makin ramai disesaki pengunjung, tadarus makin tak
terdengar suaranya sebab sudah kelelahan. Dan yang tak kalah miris :
berbagi jadi tontonan dan pemberitaan.
Setidaknya, petang hingga malam hari ini saya
melihat 2x tayangan berita TV tentang pembagian sembako dan zakat yang
justru berbuah petaka. Untung saja tak sampai terjadi korban jiwa di
kedua kejadian itu.
Yang pertama : kisruh pembagian sembako kepada
ibu-ibu jamaah pengajian di pendopo Kabupaten Bojonegoro. Kabarnya,
Bupati memang sengaja mengundang ibu-ibu majelis taklim untuk
mendapatkan pembagian sembako gratis. Sayangnya, yang datang hingga
ribuan orang dan mereka tak sabar berdesakan hingga banyak yang jatuh
dan terhimpit. Namanya juga kaum ibu, tak sedikit yang membawa serta
anaknya yang masih kecil dalam gendongannya. Banyak pula yang sudah
separuh baya bahkan lanjut usia. Petugas Satpol PP yang dikerahkan pun
tak mampu mengatasi desakan ribuan ibu sampai pintu gerbang pendopo pun
jebol. Berita itu ditayangkan Metro TV dan TV One.
Headline News malam hari di Metro TV, juga
memberitakan tentang kericuhan yang terjadi di Makasar, ketika seorang
pengusaha bernama Haji Ambo hendak membagikan zakatnya kepada tukang
becak dan warga kurang mampu lainnya. Zakat yang dibagikan langsung itu
besarnya bervariasi antara Rp. 30 ribu samapi Rp. 50 ribu. Kendati
jumlahnya tak seberapa, tapi ribuan warga sudah antri sejak siang hingga
petang hari. Polisi pun kewalahan mengendalikan warga yang saling
mendesak untuk berada di barisan terdepan karena sudah antri sejak
siang.
Kompas.com dalam 2 hari yang berbeda juga
menayangkan berita di lokasi yang berbeda, satu di Bulukumba, Sulawesi
Selatan dan yang lain di rumah dinas Bupati Sampang, Madura. Tapi
intinya sama : pembagian zakat yang berujung ricuh. Di Bulukumba,
nominal yang dibagikan berkisar 5 ribu sampai 200 ribu rupiah. Sedang
yang di Madura, warga berdesak-desakan dan rela berjemur demi
mendapatkan uang Rp 100.000,-.
Melihat foto atau tayangannya di TV, sudah sangat
miris. Bocah-bocah di bawah umur dan lansia, larut jadi satu dalam
keriuhan ribuan orang yang saling berebut posisi. Semunya demi uang.
Tentu tak bisa terlalu disalahkan jika karena kemiskinannya membuat
mereka rela menderita seharian demi membawa pulang uang gratisan. Tapi
yang patut disayangkan : tak adalah cara yang lebih manusiawi dalam
berbagi? Haruskah kemiskinan dipertontonkan? Apakah si pembagi
zakat/sembako bisa merasa puas jika melihat kaum dhuafa itu sedemikian
antusiasnya sampai rela mengesampingkan keselamatan dirinya?
Pengusaha yang diberitakan di Kompas menyatakan
kurang afdhol jika tak membagikan zakatnya secara langsung. Mereka
enggan menitipkan zakat dan shodaqohnya pada lembaga pengumpul zakat.
Padahal, kini makin banyak lembaga amil zakat yang dikelola secara
profesional, memberikan kemudahan cara pembayaran – baik melalui
transfer bank, auto debt kartu kredit, dll – dan yang terpenting lembaga
semacam itu di audit keuangannya oleh kantor akuntan publik yang
independen.
Tapi entah kenapa, tampaknya bagi sebagian orang
membagikan langsung dengan mengundang ribuan orang untuk datang, meski
akhirnya yang dibagikan tak seberapa, dirasa masih lebih afdhol.
Bukankah Rasulullah SAW mengajarkan bahwa yang terbaik adalah memberi
dengan tangan kanan tetapi tangan kiri tak mengetahuinya? Artinya : tak
perlu show off apalagi sampai diliput media. Kalau berakhir ricuh, bukankah liputan media jadinya memalukan?
Padahal, dengan memberi langsung setahun sekali
dalam jumlah yang tak seberapa, itu tak akan mengubah kemiskinan kronis
kaum dhuafa. Uang 5.000,- sampai 200.000,- jaman sekarang dibelikan
kebutuhan hidup bisa langsung habis. Kaum fakir – yang tak punya
penghasilan – tak akan bisa berubah nasibnya hanya dengan pembagian
sejumlah itu setahun sekali. Bukankah akan lebih bermanfaat jika dana
zakat itu dimaksimalkan sepanjang tahun untuk membina kaum dhuafa?
Memberi mereka kail jauh lebih bermanfaat ketimbang memberi ikan.
Lembaga-lembaga pengumpul zakat semacam Rumah
Zakat, Dompet Dhuafa, Yayasan Dana Sosial Al Falah di Surabaya, dll.,
umumnya punya program berkesinambungan untuk memberdayakan kaum fakir.
Tujuannya mengubah mustahik menjadi muzakki, tangan di bawah menjadi
tangan di atas. Mereka yang kini jadi penerima zakat, diharapkan kelak
bisa jadi pembayar zakat. Tentu jika mereka sudah berhasil dientaskan
dari kondisi fakir, tanpa pekerjaan dan penghasilan, menjadi mandiri dan
berpenghasilan.
Tentu upaya semacam itu tak bisa dilakukan hanya
setahun sekali, oleh zakat satu – dua orang saja. Tak peduli sekecil
apapun zakat yang kita keluarkan, jika berhasil dihimpun bersama dengan
zakat ribuan orang lainnya, lalu disalurkan sepanjang tahun, Insya Allah
manfaatnya akan lebih besar, long lasting dan mampu
mengentaskan kemiskinan. Bukankah zakat maal (zakat harta) yang
kewajibannya dikeluarkan setahun sekali tidak berarti harus habis dalam
tempo sehari itu saja?
Kalaupun toh tetap ingin membagikan zakat secara
langsung, bisa saja, tapi harus dicari jalan yang memanusiakan manusia.
Bukankah mereka juga insan yang punya perasaan dan harga diri? Bukankah
mereka juga sebenarnya tak ingin jadi tontonan berebut uang dan sembako?
Sebaiknya, membagikannya tidak di tempat terbuka dan tidak pula
mengundang mereka tanpa kejelasan waktu.
Ada yang menarik ketika perusahaan tempat kerja
saya kemarin berpartisipasi memberikan dana CSR kami kepada 100-an anak
yatim piatu. Perusahaan kami tak menyelenggarakannya sendiri, tapi
nebeng pada sebuah masjid yang memiliki tradisi semacam ini. Anak yatim
yang diundang bukan anak yatim yang berada di panti asuhan, yang
rata-rata terpelihara dan tercukupi kebutuhannya karena Yayasan yang
menaunginya sudah memiliki donatur tetap. Tetapi anak yatim yang
dikumpulkan masjid ini dikoordinir oleh ustadz-ustadz yang menjadi
anggota takmir masjid tersebut.
Masing-masing ustadz mengumpulkan anak-anak yatim
di daerah tempat tinggalnya. Lalu mengajak mereka datang ke masjid itu,
menyewakan angkot agar mereka tak perlu berjalan kaki. Jam 5 sore
anak-anak yatim itu sudah berkumpul di masjid, bersama dengan puluhan
anak-anak warga komplek sekitar masjid. Warga sekitar pun menyumbang
takjil buka puasa. Beragam cemilan, kue, aneka es dan kolak bahkan bakso
itu dibagi dan dimakan bersama saat adzan maghrib berkumandang. Setelah
sholat maghrib berjamaah, anak-anak dan warga sekitar dipersilakan
pulang untuk berbuka puasa di rumah.
Yang tinggal hanya anak-anak yatim bersama para
ustadz atau yang mendampibgi, serta para donatur yang berniat memberikan
sumbangannya. Masing-masing donatur sudah menyiapkan uang dalam amplop,
sebanyak 100 lembar amplop, dan berbaris. Lalu takmir masjid memanggil
nama anak-anak itu berdasarkan kelompoknya. Anak-anak itu pun tertib,
merka berjalan menuju ke barisan donatur, bersalaman dan menerima
amplop. Tak kurang saat itu ada 9 donatur, jadi 1 anak menerima 9
amplop. Setelah amplop diterima, mereka menerima paket makan buka puasa
yang oleh panitia dipesankan paket KFC.
Melihat kondisi anak-anak itu memang menyedihkan.
Dari pakaian dan sorot wajahnya, tanpak bahwa mereka memang berasal dari
kalangan yang kurang beruntung secara ekonomi. Tapi dengan mengajak
mereka masuk ke dalam masjid, menjemput dan mengantar pulang dengan
menyediakan angkot, membagikan amplop zakat setelah warga sekitar
pulang, itu lebih manusiawi ketimbang membiarkan mereka berjalankaki
sejak siang, lalu mengantri dan berdesakan, sembari pembagian amplopnya
dilihat ratusan bahkan ribuan pasang mata. Warga sekitar pun tak perlu
tahu siapa saja donatur yang membagikan zakatnya.
Sampai kapan sebagian dari kita masih senang
mempertontokan kemiskinan? Puaskah dan afdholkah membagi zakat yang tak
seberapa tapi menimbulkan korban? Bukankah lebih baik penderma
mendatangi kaum dhuafa ketimbang kaum dhuafa yang menadahkan tangan dan
berdesakan di depan rumah penderma? Selama kaum berada masih
egois dan ingin terlihat sendiri, maka potensi zakat yang jumlahnya
triliyunan dan seharusnya mampu mengubah kondisi kaum dhuafa, menjadi
kurang berarti karena hanya jadi “slilit” setahun sekali. Selamat menyalurkan zakat anda dengan baik, semoga membawa barokah.
catatan Ira Oemar Freedom Writers kompasianer