DULU SELASA, 8 Juli 2008 LAMPU di kejauhan bukit di belakang restoran dan peternakan sapi perah Chimory, Jalan Raya Puncak, km 77 di Sabtu, 5 Juni 2008 itu, bak kunang-kunang terbang. Bila Anda melawat ke Puncak, Jawa Barat, pada medio 1990-an, masih dapat menyimak kawanan kunang terbang. Pijaran lampu kini seakan mengusir kunang-kunang.
Tak sampai seratus meter dari lokasi Resto Chimory, tepatnya di Hotel Poencer, pada 4-6 Juli lalu 2008 diadakan Workshop Literary Journalism. Pengajar Amarzan Loebis, Redaktur SeniorTEMPO. Saya menjadi asisten. Pesertanya 34 orang dari berbagai kota. Mereka terdiri dari pers kampus, blogger, dan media alternatif seperti radio komunitas, dengan dukungan pelaksanaan oleh Bank BNI Pusat. Kegiatan bertema Keahlian Menulis Mendukung Pers Sebagai Pilar Keempat Demokrasi.
Dari pers kampus di antaranya, diwakili mahasiswa Universitas pajajaran, Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Tirtayasa, Banten, Udayana, Bali,dan Satyawacana, Salatiga, LPM Universitas Sunan Kalijaga, Jogyakarta,Universitas Kristen Indonesia. Radio komunitas, PASS FM 107,8 Mhz, Bandung dan Radio Madufm, Besuki, Tulung Agung, Jawa Timur
Di bakda magrib itu, bersama Amarzan, sambil menyantap wedang jahe dengan enam bola ketan - - dua pink, dua putih dan dua hijau beraroma pandan - - berisi serbuk kacang legit manis. Kala itu kami menunggu laporan reportase peserta. Petangnya kami menugaskan meliput tema bebas di sekitar lokasi. Mereka menulis berkelompok dibagi tujuh. Hingga tenggat di pukul 17.00 peserta belum jua menyelesaikan tulisan. Kami menunggu hingga pukul 19.00.
“Di jagad ini tidak ada penulis nomor satu, “ ujar Amarzan pula, “Yang ada penulis kelas dua.
Saya sangat sepakat dengan kalimat itu.
Cocok sekali dengan Sembilan Elemen Jurnalisme yang dipaparkan buku Bill Kovach dan Tom Rosentiel - - kini sudah ditambah satu elemen ke-10, memberi porsi kepada media online: 1. Kewajiban utama jurnalisme pada pencarian kebenaran, 2. Loyalitas utama jurnalisme kepada warga, 3. Esensi jurnalisme disiplin verifikasi, 4. Jurnalis harus menjaga independensi dari objek liputan, 5.Jurnalis harus membuat dirinya menjadi pemantau independen dari kekuasaan, 6.Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukankompromi, 7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan, 8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional, 9.Jurnalis harus diperbolehkan mendengar hati nurani personalnya
Ketika pernah semobil bersama Kovach di saat berkunjung ke Jakarta, pada 2004 lalu, dalam perjalanan menemui Jacob Oetama, KOMPAS, saya menangkap kental kerendah-hatian Kovach. Bila kerendahan hati menjadi pegangan menulis, maka, sesuai dengan paparan Amarzan, jurnalis mengasah diri melalui ragam karya.
Ingat logika Amarzan tadi, bahwa tidak ada penulis kelas wahid.
Amarzan memaparkan tiga pokok utama tujuan menulis; to transfer meaning, to share experience, to interprete reality. Dalam ranah inilah jika dibuat kerucut melebar ke kanan, maka sudut kecil kelompok pertama ditempati oleh hard news, berurutan kian melebar ke news story - - seperti banyak langgam penulisan TEMPO - - feature, esai, resensi, dan seterusnya ke prosa, atau bidang lebar lanjutan
ke ranah di luar jurnalistik; macam puisi dan karya kepenyairan.
Lantas di mana posisi penulisan literair?
Literary Journalism ada yang menyebut jurnalisme sastrawi, sebagaimana di populerkan oleh majalah PANTAU. Ketika pernah mengikuti pelatihan Jurnalisme Sastrawi di Komunitas Utan Kayu, pada 2003 lalu, dengan pengajar Janet Steele, Gurubesar untuk mata kuliah sama di George Washington Univervity, penulis buku Wars Within, Pergulatan Majalah TEMPO, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru itu, kepada saya Janet menekankan agar menulis hal-hal terdekat, hal yang ringan, namun dalam.
Jika kedalaman yang dimaksud, saya mendapatkan contoh tulisan yang bagus seperti pernah dimuat di majalah The New Yorker, dalam buku kumpulan Life Stories. Misalnya tulisan Lilian Ross berjudul How Do You Like It Now, Gentlemen?, tentang sosok Hemingway, pada 1950. Tulisan deskriptif Lilian Ross, mengingatkan saya kepada novel Lelaki Tua dan Laut, Hemingway, paparan deskriptif terhadap
sosok nelayan, yang mendapatkan penghargaan Pulitzer itu. Dalam kerangka inilah semula saya memahami penulisan literair.
Di paparannya, Amarzan, tidak terlalu ingin menggunakan istilah jurnalisme sastrawi. Dalam diskusi bersama Amarzan, Janet Steele kemudian lebih memilih diksi jurnalisme naratif untuk menyebut literary journalism. Bagi Amarzan mashab literary journalism, bukan cuma melulu berasal dari luar negeri, tetapi sudahpula ada dalam ranah jurnalistik Indonesia. Ia mengajak membaca buku Melawat ke Barat, karya Djamaloedin Adinegoro.
Saya pernah memfotokopi buku itu, karena tidak terbit lagi. Saya membaca, bahwadeskripsi Adinegoro tentang pelabuhan Sabang, Aceh, yang jaya di era 1920-an itu, jauh lebih berkilau dibanding Singapura di masa itu. Kapal-kapal uap besar bersandar mengisi logistik di Sabang. Membaca buku itu, menjadi tanya kini, mengapa bandar Singapura berkibar-kibar, Sabang mengambang?
MINGGU, 6 Juli 2008 di ruang pelatihan Literary Journalism di Hotel Poencer diselenggarakan bersama Kornas PWI-Reformasi itu, untuk melengkapi paparan Amarzan, saya mencoba mempresentasikan tulisan-tulisan saya di www.presstalk.info kepada peserta. Saya tegaskan bahwa peserta diminta membuat tulisan, karena yang dibahas adalah menulis dan tulisannya. Dan untuk itu sebaiknya membahas tulisan baru. Amarzan memberi dua halaman tulisannya di Tempo
terbaru untuk didiskusikan peserta.
Saya menyampaikan bahwa menulis, ya, ditulis saja tanpa menghiraukan teori, termasuk tak berpusing-ria ihwal pakem. Dari pada meributkan ihwal letarary itu adalah narasi, atau sastrawi, saya lebih cenderung menulis saja, silakan publikyang menilai hasilnya.
Kunci utama implementasi tujuan menulis yang antara lain membagi pengalaman, maka membaca buku, salah satu hal penting. Amarzan meminta peserta membaca buku James A. Michener berjudul Hawaii. Saya pun mengusulkan untuk membaca Hiroshima, karya Jhon Hersey, kisah rekonstruksi Bom Atom Hiroshima, antara lain.
Lebih dari itu, Literary Journalism Workshop itu, diselenggarakan karena keprihatinan mendalam akan beragam masalah sosial; ekonomi, budaya dan politik saat ini, tidak terpaparkan dengan gamblang dan jernih kepada publik.
Jelaga seakan menutupi media.
Jejaring itu adalah; kepentingan kekuasaan, kepentingan uang, yang membuat media
seakan terfilter, terkungkung oleh keadaan.
Kasus Lumpur Lapindo, yang secara signifikan itu, dapat dipaparkan oleh media secara terang benderang sesungguhnya. Tetapi disajikan seakan kusut, keruh, sepekat lumpur yang terus mengalir hingga kini itu. Keberpihakan media kepada warga, menjadi seakan tiada.
Tentulah banyak contoh pemberitaan lainnya.
Karena itulah, diperlukan darah segar, agar di media alternatif dapat pula tajam, bagus dan profesional hasil tulisannya.
Di pelatihan itu, kendati asisten pengajar, saya juga merangkap peserta. Dari Amarzan, saya mendapatkan telaah. Bahwa, tulisan-tulisan saya di prestalk.info ini adalah jurnalisme sketsa. Di masa silam, antara lain penulisnya; Firman Muntako, Mahbub Djunaedi. Seperti pengakuan Amarzan, dia sendiri pernah mempopulerkan di medio 1960-an. Juga tulisan-tulisan Art Buchwald, yang lebih
kental humornya itu.
“Kini memang tak ada lagi yang mengembangkan penulisan sketsa itu,” kata Amarzan pula, ”Ada baiknya ke depan yang dibuat pelatihan menulis sketsa.”
Kriteria jurnalisme sketsa yang dimaksud Amarzan; mengangkat hal riil, nyata dalam keseharian. “Biasanya ditulis tidak lebih 3.500 karakater,” ujarnya.
Sementara saya hari-hari ini menulis 1.000 bahkan lebih 2.000 kata, melebihi kriteria. Jelas ini melanggar lagi pakem. Namun bisa saja disebut sketsa panjang. Apalagi Amarzan juga mengatakan, sketsa bisa merambah ke lebih jauh, investigative reporting, misalnya.
Jurnalisme sketsa juga berisi narasi, deskripsi, kutipan dan homur.
Pada kata homur itulah saya menekankan untuk menulis dengan riang-gembira.
Sebelumnya Amarzan pun menyampaikan hal sama. Menulis di saat hati senang, akan berbeda hasilnya menulis di saat berbeban. Celakanya, kendati peserta sudah difasilitasi berlatih, diongkosi, diberi penginapan memadai - - hotel bintang tiga - - bahkan panitia pun harus meminjam uang kiri-kanan membayari terlebih dahulu, karena sponsor baru membayar setelah acara, masih ada saja komentar miring terhadap event yang telah berjalan itu, terhadap hal-hal remah di dalam teknis pelaksanaan kegiatan.
Dalam keadaan demikian, saya melihatnya sebagai bagian materi pelatihan. Sebagai pelajaran, bahwa di bangsa yang sedang “sakit”, berbuat nyata, memberi contoh terhadap sesuatu yang memberi arti bagi komunitas kecil kehidupan pun mesti harus berkorban lahiriah dan batiniah secara kaffah.
Bila tidak, Anda menjadi sulit tersenyum, apalagi tertawa.
Keriang-gembiraan menjalankan hari-hari, di tengah keprihatinan akan langgam kehidupan berbangsa yang tidak kian mensejahteraan saat ini, memberi spirit agar terus berbuat.
Agaknya, dari banyak jurnalis yang mampu memberi sketsa melalui karya, bisa membuat hidup lebih berwarna, hidup lebih hidup.
CATATAN IWAN PILIANG