Sudah seminggu ini publik disuguhi permainan
“ngeri-ngeri sedap” – pinjam istilah Soetan Batoeghana – antara 2
instansi penegak hukum : KPK dan Kepolisian RI. Mirip permainan balap
karung, penonton berteriak-teriak menyoraki yang bertanding, sementara
yang bertanding mati-matian berusaha lari sekencang-kencangnya sambil
menjaga kesetimbangan tubuh agar tak terjatuh. Semua berusaha mencapai
garis finish duluan, tapi kalau bisa kaki jangan terjerat karung agar
tak jatuh.
Itulah adu balap memeriksa dugaan korupsi dalam pengadaan
simulator kemudi uji SIM di Korlantas Polri. Keduanya seolah berlomba
menetapkan tersangka, berusaha menguasai barang bukti, sambil berupaya
mencari dasar hukum sebagai pijakan agar tak tergelincir dan sebaliknya
sebisa mungkin menggelincirkan lawan.
Ada banyak kejanggalan dalam adu cepat ini. KPK – berbekal surat penetapan penyidikan tertanggal 27 Juli 2012
– mulai melakukan penggeledahan di Gedung Korlantas Polri pada Senin
sore, 30 Juli 2012. Sejumlah barang bukti didapat, sayangnya Polri
melalui perwira-perwira di Bareskrim bahkan dipimpin Kabareskrim,
berusaha menghentikan upaya penggeledahan itu. Ketika gagal menghentikan
penggeledahan, Polri tak menyerah, barang bukti ditahan, dengan alasan
mereka membutuhkan barang bukti itu karena mereka sedang menyelidiki
kasus tersebut.
Dalam jumpa pers bersama KPK (diwakili Johan Budi)
dan Polri (diwakili Boy Rafli Amar), pihak Polri mengaku sudah
menyelidiki kasus tersebut dengen memeriksa 33 saksi, namun sampai saat
itu – Selasa, 31 Juli 2012 – sama sekali tidak ditemukan indikasi adanya tindak pidana korupsi.
Dalam hak jawabnya kepada Majalah Tempo pada bulan April, Polri
menyatakan bahwa mereka sudah selesai melakukan penyidikan tapi tak
ditemukan adanya kasus korupsi dalam pengadaan simulator kemudi uji SIM.
Faktanya : ternyata Polri sampai tanggal tersebut masih belum masuk ke tahap penyidikan. Surat penetapan penyidikan baru dibuat tanggal 1 Agustus 2012, keesokan harinya. Anehnya lagi, ketika
sehari sebelumnya Polri masih sangat yakin bahwa tak ada indikasi
korupsi karenanya belum ada satu pun yang dijadikan tersangka, maka pada
tanggal ditetapkan penyidikan itu tiba-tiba langsung diumumkan ada 5
tersangka sekaligus, dimana oknum polisi yang dibidik KPK justru tidak jadi tersangka.
Bukan hanya adu penetapan tersangka, Polri pun
seolah tak rela kehilangan hak atas penguasaan barang bukti. Maka,
barang bukti yang sudah diamankan di Gedung KPK pun dijaga oleh personil
Polri selama 24 jam. Berbekal MoU antara Kapolri dan Ketua KPK, maka
pihak Polri dan pengacara Irjen Pol. Djoko Susilo ngotot bahwa Polisi
tetap berhak atas penyidikan kasus itu.
Padahal, menurut Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, pada pasal 6 huruf (b) jelas disebutkan bahwa KPK memiliki wewenang untuk melakukan supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi (berarti Polri juga termasuk dalam cakupan ini). Lebih lanjut
pada pasal 8 disebutkan bahwa :
ayat (2) KPK
berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku
tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan.
Ayat (3) : dalam hal KPK mengambil alih penyidikan atau
penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan
seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang
diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja,
terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK.
Jadi, tak ada celah
bagi Polri untuk menahan barang bukti apalagi masih ngotot ingin ikut
menyidik instansinya sendiri.
Ada 6 alasan yang membolehkan KPK mengambil alih sebagaimana dijamin dalam pasal 9 UU KPK, salah satunya karena proses penyidikan itu dianggap berlarut-larut.
Polri sesuai pengakuannya telah sejak beberapa bulan lalu menyelidiki,
namun belum juga menemukan indikasi korupsi dan belum satupun yang
dijadikan tersangka. So…, bukankah ini berlarut-larut? Apakah
kesan “lelet” itu hendak ditebus Polri dengan secepat kilat dalam tempo
sehari langsung menetapkan 5 tersangka?
Kesigapan mendadak Polri itu tak menggugurkan hak
KPK untuk mengambil alih dan tidak menjamin Polri bisa tetap pegang
kendali atas penyidikan. Sebab dalam pasal 50 UU KPK secara tekstual sudah disebutkan bahwa :
dalam hal KPK sudah mulai melakukan penyidikan, kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan (ayat 3). Bahkan jika pun penyidikan itu bersamaan waktunya, tetap Polri tidak dapat meneruskannya karena ayat 4 pasal 50 UU KPK menyebutkan :
dalam
hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau
kejaksaan dan KPK, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan tersebut segera dihentikan.
Penjelasan UU no. 30 / 2002 untuk pasal 50 ayat 4 menyebutkan : Yang dimaksud dengan “dilakukan secara bersamaan” adalah dihitung berdasarkan hari dan tanggal yang sama dimulainya penyidikan.
Seperti kita ketahui, surat penetapan penyidikan dari KPK per tanggal 27 Juli 2012, sedang Polri baru 1 Agustus 2012 alias 5 hari setelah KPK.
Maka, makin tak ada lagi alasan Polri untuk mengklaim pihaknya lebih
dulu menyidik kasus ini. Bersamaan waktunya saja Kepolisian harus
menghentikan dan menyerahkan pada KPK, apalagi jelas belakangan. Lalu
dasar hukum apa lagi yang akan dipakai Polri untuk bertahan selain
sekedar sebuah MoU yang jelas kedudukannya di bawah Undang-Undang? MoU
itu sendiri belum jelas mengatur apa saja, apakah sedetil UU.
Seharusnya, peraturan yang bertentangan dengan UU harus batal demi hukum,
apalagi cuma sebuah kesepakatan kesepahaman alias MoU. Bagaimana jika
nanti tindakan ini dijadikan yurisprudensi bagi instansi lain untuk
membuat MoU-MoU sesuai keinginan pimpinan masing-masing instansi untuk
mengakali Undang-Undang? Apa tidak makin karut marut wajah hukum negeri
ini? Ironisnya, yang memulai melecehkan Undang-Undang justru institusi
penegak hukum.
Dalam debat terbuka yang dipertontonkan media
massa, kengototan Polri itu kini diambil alih oleh pengacara Irjen
Pol.Djoko Susilo, yang seolah lebih tahu dari pada KPK sendiri tentang
MoU tersebut. Yah, tidak heran sebenarnya, sebab pengacara memang
tugasnya maju tak gentar membela yang bayar. Kebetulan 2 pengacara
kondang yang ditunjuk – Hotma Sitompul dan Juniver Girsang – keduanya
adalah pengacara spesialis membela tersangka korupsi yang melawan KPK.
Jadi makin panas saja adu balap karung ini. Mereka berusaha
menjungkirkan KPK dengan ancaman memperkarakan KPK karena melanggar MoU.
Lalu, siapa yang akan jadi wasit? Seharusnya, SBY
sebagai Presiden yang sekaligus “atasan” Kapolri, bisa berinisiatif
menengahi, tentu dengan tetap berpegang pada koridor hukum dan patuh
pada Undang-Undang. Sebab, siapapun yang melanggar Undang-Undang, maka
ia akan terjerat dan jatuh.
Mestinya SBY bisa memerintahkan Kapolri
untuk legowo dan menyerahkan kepada KPK untuk menyidik dugaan korupsi
yang ada di instansinya. Bukankah ini sejalan dengan semangat reformasi
Polri dan juga slogan SBY untuk berdiri paling depan sebagai Panglima
melawan korupsi?
Lalu bagaimana jika SBY – seperti biasa berdalih
tak mau campur tangan – diam saja? Mungkin para aktivis anti korupsi
semacam ICW dan berbagai LSM bisa menggugat untuk dilakukan uji materi
sekaligus keabsahan MoU tersebut dalam konteks pertentangan esensinya
dengan UU no. 30/2002. Biarlah Mahkamah Konstitusi yang menjadi wasit.
Selama ini, MK terbukti mampu menjadi wasit yang baik, bahkan ketika
perkara menyentuh kepala negara sekalipun.
Bagaimana pun, dalam balap karung bukan sekedar
siap yang duluan sampai garis finish. Tetapi “keselamatan” pelari agar
tak terjerat dan jatuh juga penting. Polri tak cukup hanya kejar tayang
banyak-banyakan menetapkan tersangka, yang penting asal jangan Jendral
bintang 2, seperti biasa, korbankan saja Kompol dan AKBP.
Dalam kasus
dugaan korupsi di tubuh Polri, penting juga ditilik apakah tidak ada
pelanggaran hukum dalam proses penyidikannya dan apakah tak ada indikasi
“penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku
tindak pidana korupsi yang sesungguhnya” seperti disebutkan pada butir c pasal 9 UU KPK.
Sebab jika itu yang terjadi, bisa jadi peserta balap karung menang
mencapai garis finish, tapi ia curang dengan diam-diam melepas karungnya
atau melubangi dasar karung agar kaki bebas melangkah. Rakyat berharap
tontonan ini berakhir apik, pemenangnya mencapai finish tanpa kecurangan
dan tak terjerat tali karung.
catatan Ira Oemar freedom writers kompasianer