iwan piliang dan jokowi
Jika tidak berada di luar kota, atau sesuatu mendesak jarak, saya selalu shalat Jumat di Masjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat. Selain faktor dekat dari rumah, melewati pekarangan masjid mengobati selera taragak kampung, ke ranah Minang, melalui kuliner mencaragam pilihan.
Begitu memasuki pekarangan masjid, kaki akan sulit melangkah, pedagang kaki lima, mulai dari penjual kamacata, hingga batu akik, tas dan tali pinggang. Di sela-sela itulah terselip penjual makanan.
Sate Padang di kiri kanan sudah lazim. Saya selalu mencari kue tradisional, seperti lepat ketan, berisi kelapa, dimasak santan. Jumat, pada 6 April kemarin, seperti biasa pada pukul 11.30 saya sudah memasuki pekarangan masjid. Seorang kawan mengirim pesan melalui BlackBerry Masanger (BBM).
“Jokowi shalat Jumat di Sunda Kelapa.”
Jokowi yang dimaksud adalah sosok Walikota Solo kini menjadi calon Gubernur DKI Jakarta.
Untuk kesekian kali saya menuliskan, bahwa saya lebih duluan mengenal produknya di Dubai, 2010. Ia eksportir furniture dan rumah kayu. Rumah kayunya di Emirat Arab laris manis dibandrol termurah US $ 176 ribu, ukuran dua kamar.
Agar pembaca paham dan tidak bias membaca tulisan ini, saya memang respek kepada sosok ini, sama halnya respek saya ke sosok seperti Delia Murwihartini, ekportir tas berbahan alami, kini salah satu pengusaha pembayar pajak terbesar di Jogja. Produk Delia, merambah ke branded produk fashion dunia sepirti Gian Francho Ferre, The Sak dan merambah Milan, New York dan Hongkong. Untuk merk lokal ia mebuat tas Dowa.
Mereka menghidupi banyak karyawan. Keduanya jika saya berkunjung ke Solo dan Jogja adalah kawan yang baik. Bila Jokowi acap mengajak makan mie Jawa di pinggir jalan, maka Delia tak sungkan-sungkan menjemput saya dengan menyetir sendiri Jaguar sportnya ke airport. Bulan lalu ketika saya ke Jogja, Delia menyetir sendiri Maserati Sport-nya ke hotel tempat kami menginap. Keduanya kawan hebat.
Pertemuan fisik saya dengan Jokowi barulah terjadi di September 2011 di Tvone tanpa sengaja. Di acara AKIPagi itulah saya sampaikan ke pemirsa bahwa publik politik harus mencontohnya. Saya katakan ke pemirsa kala itu sejelek-jeleknya Jokowi, pasti punya tabungan sedikitnya US $ 5 juta. Ia tak butuh lagi duit mengemplang APBD.
Sementara, Delia sudah saya kenal sejak tahun 2.000. Ia memulai karir dari mengasong tas naik sepeda dari hotel ke hotel di Jogja, hingga pernah “ditawar” oleh bule di Jogja.
Perjuangan memang memerlukan kegigihan.
Dari kedua orang itu saya mencoba terus belajar. Sosok Jokowi sudah bekerja menjual ekspor sejak 25 tahu lalu. Ia seorang pemasar yang baik, sekaligus paham sisi-sisi marketing communications.
Makanya ketika Jokowi berusaha mempromosikan mobil buatan Esemka, Solo, saya pun atas insistif pribadi mendukungnya. Saya dengan biaya sendiri datang ke Solo, lalu menumpang dengan rombongan bis kecil bersama kawan-kawan wartawan ke Jakarta hingga mobil Esemka tes emisi ke BTMP, Puspitek Serpong. Media sudah banyak menuliskan. Tetapi saya mencoba pula menguntai kata berlanggam berbeda. Toh, bukan satu dua kali saya menulis soal Mobnas yang harus bangkit, sudah beberapa sebelumnya bisa di-trace secara online, dari era Senan, Perkasa.
Belakangan saya acap bertanya dalam hati, kok saya bisa ada di momen-momen penting kawan ini tanpa sengaja?
Khusus Jokowi. Di awal tahun ini, ketika saya pada 2 Januari 2012 di Solo berkesempatan menjajal mobil Esemka. Esoknya tanggal 3, Peresmian Esemka dipakai Walikota Solo.
Ketika di Jakarta, Taufik Kiemas mengatakan bahwa Jokowi tak layak jadi Gubernur Jakarta, saya kebetulan ada di Solo sedang mengajak kawan yang ingin memberi masukan agar Esemka kian baik emisinya. Saya lihat kala itu wajah Jokowi cerah. Isu Cagub telah menyita waktunya dipanggil rapat ke Jakarta. Kami pun hari itu makan sate sekan “merayakan” batal ke Jakarta itu. Dari awal saya mendukung sosoknya lebih tepat maju ke Jawa Tengah Satu, mengingat populasi pemilih Jateng jauh lebih besar mencapai 28 juta.
Namun begitulah politik. Hari ini tidak esok bisa iya.
Kini Jokowi diusung Partai Demokrasi Perjuangan, partainya, dan Gerindra, maju sebagai kandidat Gubernur DKI.
Kembali ke momen penting Jokowi. Ketika ia mendaftar sebagai Gubernur DKI Jakarta ke KPUD Jakarta, saya sedang berada di lantai 8 Kementrian Perdagangan. Adalah sosok Effendi Simbolon, kakak kelas saya di SMA3 Jakarta dulu, Anggota DPR RI Komisi VII, mengirim pesan, “Kau di mana, kami bersama Jokowi mau mendaftar ke KPUD?”
Saya balas BBM Simbolon dengan mengatakan saya sedang meeting di Perdagangan. Kala itu waktu menunjukkan sekitar pukul 14. Sejam kemudian Simbolon bertanya lagi ,”Kami sudah di atas Kopaja, kau di mana?”
Saya jawab, saya masih di perdagangan.
Menjelang waktu pukul 16, Ganang Soedirman, cucu Panglima Besar Soedirman, sahabat saya, mengingatkan, “Pak Iwan tak ikut menemani kawannya ke KPUD?”
Saya katakana itu wewenang partai. Atas ajakan Ganang, kami akhirnya mencoba melangkah turun ke parkir. Begitu mobil menginjakkan aspal Jl. Ridwan Rais, tanpa disengaja rombongan Jokowi lewat, diawali sebuah ambulan ngoeng-ngoeng lalu bis Kopaja dan beberapa mobil lain. Saya bersama Ganang terperangah, mencoba mengikuti. Hingga ruas Jl. Merdeka Selatan, rombongan macet, mobil kami berada paling belakang rombongan.
Rombongan menuju Jl Budi kemuliaan. Saya lantas mengambil jalan ke kanan di samping gedung Indosat. Kami bisa sampai duluan di depan KPUD. Saya b erdiri di sela wartawan dan warga menyemut. Simbolon mengirim pesan lagi, “Kau di mana Wan?”
Saya jawab saya sudah di depan KPUD. Ia balas pesan, “Ke sinilah ke Kopaja.”
Begitu melangkah, rombongan Jokowi sudah bergerak berjalan maju. Kami berpapasan. Adegan saling rangkul terjadi. Lantas karena kerumunan masif, sosok saya terbawa oleh badan Simbolon dan disamping Jokowi. Alam telah membuat saya terdesak menempel dekat Jokowi. Di lift KPUD kami berempat; Simbolon, Jokowi, Basuki, dan saya. Keringat di badan bak orang melakukan sauna.
Keluar lift juga sama. Badan kami terdesak-desak. Dalam hati saya merasakan bahu akan patah didorong kawan-kawan wartawan. Kami terus maju setapak demi setapak hingga ke depan meja KPUD. Dilalah kursi yang disediakan ada 6. Di saat maju, entah mengapa seakan sudah diatur, saya bisa duduk di kursi keenam di samping Simbolon. Ini menjadi momen amat penting di saat pendaftaran Jokowi jadi Cagub.
Usai pendaftaran itu, turun ke bawah sebuah persolan baru. Desakan kawan-kawan wartawan meliput luar biasa. Turun lift kami kembali berempat dan lanjut terdorong-dorong hingga ke jalan. Effendi Simbolon mengatakan, bahwa rombongan akan pulang naik taksi setelah datang naik Kopaja. Sudah yang mulai mencari taksi. Persis saat itu saya nyeletuk, mengapa taksi, kita jalan kaki saja hingga ke Bunderan HI?
“Benar itu kita jalan kaki saja ke Bunderan HI,” kata Jokowi di samping saya.
Maka, rombongan berjalan kaki. Di sepanjang jalan, warga di tepi jalan berjibun menyalami Jokowi. Langkah riang membuat segala yang sesak tak terasa. Sesekali saya baca di twitter. Rupanya adegan itu ada live di teve. Ada saja kalimat miring yang menuliskan di twitter: “Ngapain tuh si Iwan Piliang temannya koruptor ngintil2 Jokowi”
Saya tak menanggapi. Sulit terkadang di media sosial itu, di ranah di mana acap komentar disampaikan tanpa kerendah-hatian membaca.
Rona senja Jakarta menjingga.
Setiba di Bunderan HI, malam menjelang. Lagi-lagi Simbolon nyeletuk, “Wan pimpin doa.”
Maka secara spontan saya pun membaca doa.
Doa saya di antaranya, “Ya Tuhan berilah kami kesempatan mengembalikan penghargaan ke sisi keinsanan, segala yang intangible asset jauh lebih bernilai dari tangible, berkatilah kawan kami Jokowi menjadi pemimpin yang hanya selangkah saja didahulukan dari rakyatnya.”
Susana hening, deru kendaraan mendayu. Aamiin, serempak dari hadirin. Kecimpratan air mancur basah. Jokowi dan Basuki memabasuh mukanya dengan air di kolam.
Benar-benar tanpa rencana, tanpa protokoler.
Ketika kembali melangkah berjalan ke Jl. Budi Kemuliaan, bulu di tangan saya merinding. Teringat kalimat Jokowi sebelumnya, “Kalau begini kita, apa sebenernya ini?”
Jakarta menyambut malam.
Maka ketika Jumat, 6 April di Masjid Sunda Kelapa itu, saya pun tak menduga ada Jokowi di Sunda Kelapa. Adalah BBM kawan, Irawan Suhanto, yang mengabarkan. Saya kontak staf Jokowi yang membenarkan. Ia rupanya sudah duduk di dalam masjid. Usai shalat saya membayangkan bisa jumpa, namun entah karena keasyikan berdoa, Jokowi sudah duluan turun. Tak lama kemudian saya sudah berdiri di pekarangan masjid, menyeruput cendol sagu.
Cendol sagu bergula merah, diberi butiran emping ketan bercampur kelapa. Sebuah kenikmatan tersendiri di terik di usai Jumatan. Di saat itulah kawan lain mengirim foto ke saya. Di foto saya lihat Jokowi makan di warteg di depan di samping majid. Ia memakai baju koko putih dan kopiah putih. Ketika kaki saya melangkah mencoba mencari sosoknya, saya tak menemukannya. Tampaknya rombongan sudah bergerak.
Ketika keesokan hari setelah pendaftaran ke KPUD, Koran The Jakarta Post memuat headline foto Jokowi-Basuki berjalan kaki dari KPUD ke Bunderan HI. Di belakangnya jelas sekali ada Effendi Simbolon lalu saya. Jakarta rona jingga.
Hari-hari ini, dalam jejak rekam itu, saya disebut sebagai tim sukses Jokowi. Saya sampaikan ke khalayak media sosial, bahwa Jokowi ingin semua warga menjadi tim suksesnya, kalimat ini lahir dari “membaca” lubuk hatinya. Hingga hari ini saya tak tahu suksesnya. Saya hanya camkan kalimat tadi.
Namun ketika foto Jokowi makan di warteg kemarin itu menyebar ke berbagai portal berita, isteri saya marah. Ia bilang, “Jangan over ekpos-lah, lebay.” Saya tertawa. Rupanya isteri saya sendiri sudah menempatkan saya sebagai tim sukses Jokowi.
Sejatinya saya ingin berteman banyak dengan sosok seperti Jokowi dan Delia, mendukung kecerdasan hati mereka. Apalagi dengan rumusan saya sendiri, motto Jakarta Baru yang dibuat tim Jokowi sebagai tag line, saya artikan sendiri begini: Jakarta Baru: dimana sinkronnya kecerdasan otak dan hati.
catatan Iwan Piliang