image kompas.com
Energi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti daya (kekuatan) yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai proses kegiatan, misal dapat merupakan bagian suatu bahan atau tidak terikat pada bahan, seperti matahari; tenaga.
Kuat dugaan saya ketika tadi malam Presiden SBY mengumumkan himbauan soal hemat energi ia tidak membuka kamus bahasa Indonesia. Ia juga seakan alpa bahwa bahasa adalah logika.
Jika SBY berkenan berwisata nalar ujung sasar, lebih ke hulu, maka ia akan menemui muara endapan peradaban. Mengantarkannya kepada kesepakatan dan kejernihan pikir, lalu menjauhi diri berlaku nyinyir lantas kepada rakyat kikir.
Akibat terlaku naïf, dan atau merasa terlalu pintar plus terlalu berkuasa?! Presiden SBY tak taat kaedah ke urusan membuka kamus tadi - - dan atau pura-pura lupa. Logikanya dalam menghemat energi, entah karena racun orang sekitarnya dan atau korsleting daya di benak, secara RESMI menghimbaukan menghemat energi.
Di dalam peradaban bangsa-bangsa maju, bangsa-bangsa yang berpengelola negara meningkatkan mutu peradaban, rendah hati meningkatkan kesejahteraan warga, logika dasar mereka, hanya kalimat begini: berusaha mensuplai energi sebanyaknya dan semurahnya.
Satu lagi di logika dasar diakui bangsa-bangsa beradab, bukan pemimpin lupa adab, adalah: Konsumsi energi berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi sebuah bangsa.
Energi daya pertumbuhan.
Mengimbau menghemat energi sama saja dengan mengajak: yuk nyungsep!
Tentu kalimat di atas bisa pula menjadi silang-saling sengketa. Tetapi jika acuannya tadi: diakui dasar-dasar kemuliaan pakem dunia beradab, tidak ngeyel sendiri, memang demikianlah adanya.
Inti soal apakah bangsa ini kekuarangan energi?
Baik energi tak terbarukan maupun terbarukan?
Di saat saya ikut menjadi salah satau pembicara diskusi tentang UU Migas yang diadakan PP Muhammadiyah dua pekan lalu seorang praktisi di industri Migas, Imbang Djaja, kini Pemimpin Yayasan Khairul Ihsan, mengatakan: pada energi; tidak terbarukan, potensi Migas kita mencapai 80 miliar barel. Dari volume itu yang tereksploitasi baru 20% saja.
Sedangkan untuk energi terbarukan yang melimpah, kita seakan tak beranjak melakukan upaya dari titik 5%: Panas bumi, gas, belum optimal, air, angin, bahkan menanam alga di sepanjang pantai yang jelas-jelas bisa menghasilkan BBM. Sama halnya bak pembiaran rentang pantai menguap lalu negara mengimpor garam.
Ketika saya ke Abu Dhabi pada 2010 awal, saya menyimak dan mengamati lamat-lamat, sebuah kawasan kota baru dibangun dengan semua energi di sana mengunakan terbarukan: angin, terik matahari, air laut. Padahal, konon deposit Migas negeri Emirat Arab itu masih tersedia untuk seabad lagi. Mereka beranjak ke energy tak terbarukan itu sejak kemarin-kemarin.
Kita?
Ketika PLN menghimbau hemat energi, dan beriklan serta membuat baner dengan uang konsumen, hati saya ngilu.
Mengapa?
Karena konsumen itu cerdas, ia tahu berapa konsumsi yang mampu dia bayar. Kalau himbauan harus diiklan PLN, bukan hemat, tetapi akan pas misalnya: Jangan curi listrik, Anda maling. Maling pidana bla-bla.
Ketika akhirnya Presiden SBY lalu menghimbau menghemat energi, bukan lagi hati saya ngilu, tetapi belulang ini terasa terutusuk jarum-jarum tajam dan jantung berdarah ditetesi jeruk nipis. Sama dengan perihnya, menyimak pengelola negara ini cuek bebek terhadap lakon dangdut koplo terlebih Candolong-doleng, membiarkan porno aksi di siang bolong di simak kakak-kanak di depan hidung, tidak dilihat pengelola bangsa dan negara sebagai kiamat.
Kalau sudah demikian keadaan kita, percuma bertanya ke SBY, mengapa ketika Anda pertama menjabat Presiden eksploitasi minyak kita masih 1,3 juta barel perhari, kini jangankan 1 juta, 930 ribu barel saja minta diturunkan target itu?
Belum lagi dari pola cost recovery, kebocoran pola trading lewat Petral yang merugikan negara sekitar Rp 170 triliun setahun dihadapi SBY sebatas Opini Kontra Opini (OKO), dengan membuat konten media melalui tangan ini dan itu. Dan hasilnya itu ke itu.
Kalau sudah begini, bagi saya, wajar saja kehormatan dan penghormatan kepada pemimpin, tepatnya pengelola, lalu menjadi sirna.
catatan Iwan Piliang