Ramadhan 1432 H yang lalu, saya berkesempatan
menunaikan ibadah umroh. Ingin merasakan suasana sholat Ied di Masjidil
Haram, sengaja saya pilih paket “Umroh Akhir Ramadhan” atau yang sering
disebut paket “Umroh Lailatul Qodar”. Durasi waktunya pun total 15 hari
– lebih panjang dari paket umroh reguler yang umumnya 10 hari termasuk
pp – karena 10 hari terakhir dikhususkan berada di Mekkah.
Meski sebelumnya kami sudah mendapat briefing
dari biro perjalanan yang kami ikuti, bahwa umroh di bulan Ramadhan
jauh lebih ramai dari pada umroh di bulan lain, tapi kami tak menyangka
bahwa bakal seperti yang kami jumpai. Mengingat usia Ibu saya yang sudah
81 tahun, pihak biro perjalanan semula menyarankan kami memilih paket
umroh awal Ramadhan saja. Selain durasinya hanya 10 hari, kami hanya
menjalani puasa di Arab – yang saat itu memang sedang dalam puncak musim
panas, bahkan dari berita-berita di Yahoo.news dikabarkan suhu
udara bisa mencapai 52 derajat Celcius – selama 7 hari saja. Sebab
untuk umroh awal Ramadhan sudah berangkat 3 hari seblum Ramadhan dan
tepat pada malam pertama Ramadhan baru bertolak dari Madinah menuju
Mekkah. Tapi Ibu saya justru menolak dan yakin bakal kuat bertahan 15
hari menjalani puasa di Arab. Meski jelas berpuasa di tanah suci durasinya lebih panjang karena sedang musim panas.
MADINAH AL MUNAWAROH
Rombongan kami tiba di Madinah dan masuk
hotel sekitar 50 meter di depan Masjidil Haram, tepat tengah malam, saat
para jamaah baru usai sholat tarawih. Luar biasa sekali suasana Madinah
di tengah malam, tapi seakan-akan jam 12 siang saja terangnya.
Lampu-lampu gemerlapan dan ribuan orang hilir mudik sepanjang jalanan.
Toko-toko menjual kurma, buah-buahan, es krim, semuanya buka.
Saya
benar-benar tak menyangka malam seakan menjelma jadi siang di Madinah,
ketika bulan Ramadhan. Sayang sekali saya tak sempat mengabadikan
foto-foto gemerlapnya kota Madinah, sesuai dengan gelar yang melekat
pada nama kota itu : Madinah Al-Munawaroh = Madinah yang gemerlapan.
Kondisi fisik yang lelah karena berangkat dari Cilegon sejak jam 5.30
usai sholat Subuh, menuju Cengkareng, lalu dilanjutkan penerbangan 9
jam, belum lagi prosedur pengambilan bagasi di bandara khusus haji di
Jeddah yang ribet, masih dilanjut dengan perjalanan darat 5 jam menuju
Madinah, membuat saya benar-benar tak punya sisa energi untuk
memaksimalkan fungsi kamera.
Setelah istirahat kira-kira 2 jam, kami
dibangunkan sahur, lalu bersiap-siap menuju Masjid Nabawi. Saya
mendapati kenyataan Masjid Nabawi kondisinya luar biasa penuh sesak,
sejak 1 jam sebelum kumandang adzan Subuh. Usai sholat Subuh, saya
berencana merintang waktu di Masjid Nabawi sambil mengaji, menunggu tiba
waktu Dhuha. Karena ingin ke toilet, saya tinggalkan Ibu saya dengan
pesan jangan kemana-mana, saya hanya pipis dan berwudhu. Saya hafalkan
tiangnya dan nomor rak Al-Qur’an tempat Ibu saya bersandar. Dulu pun
ketika Umroh tahun 2007, hal yang sama saya lakukan kalau menetapkan
ancer-ancer posisi teman.
Ternyata, saat saya kembali Ibu saya sudah
tidak ada, semua posisi yang semula teratur kini sudah berubah total.
Lutut saya langsung lemas! Kemana saya harus mencari Ibu saya yang sudah
sepuh, tidak bisa berbahasa Arab dan Inggris, tidak membawa HP (HP Ibu
ditinggal di kamar hotel karena tidak diganti dengan nomor ponsel Arab).
Saya hanya bisa istighfar dan terus memohon dipertemukan dengan Ibu. 10
menit yang mencekam serasa sejam, sampai akhirnya saya temui Ibu saya
duduk berselonjor sambil mencari-cari saya.
Sejak itu saya tak sedikitpun membiarkan Ibu
terpisah dari saya, sebab kepadatan jamaah sama sekali tak bisa
dibandingkan dengan kondisi umroh di bulan lain. Rupanya saat saya
tinggal ke toilet, Ibu saya diusir Askar Wanita Masjid Nabawi, sebab
pembatas jamaah pria-wanita akan dibuka dan diatur rute menuju Raudhloh.
Khusus bulan Ramadhan, rupanya Raudhloh dibuka dipagi hari usai Subuh,
termasuk untuk jamaah wanita. Sebab setahu saya, saat umroh dulu, jamaah
wanita hanya bisa ke Raudhloh siang – sore hari saja. Tapi di bulan
Ramadhan, jamaah wanita bisa ke Raudhloh pagi dan malam hari usai sholat
Tarawih.
Menurut cerita Muthawwif yang membimbing
kami, kondisi Mekkah dan Madinah di bulan Ramadhan memang luar biasa
padat. Bahkan di 10 hari terakhir Ramadhan, bisa-bisa melebihi musim
haji. Sebab masyarakat Arab dari berbagai kota umumnya menghabiskan
bulan Ramadhan di kedua kota suci itu. Di Arab, selama bulan Ramadhan
sekolah-sekolah pun libur. Jadi semua aktifitas dikonsentrasikan untuk
ibadah. Itu sebabnya banyak keluarga-keluarga Arab berdatangan dari
Jeddah, Riyadh, dan kota-kota lain, menyewa hotel-hotel di Mekkah dan
Madinah. Mereka datang umumnya berkendara mobil pribadi.
Sedangkan bis-bis umum yang setiap hari lalu
lalang meneriakkan nama kedua kota : Mekkah atau Madinah, umumnya
ditumpangi jamaah dari Turki, Mesir, Palestina, Pakistan dan
negara-negara Muslim lainnya, yang tak jarang mereka datang berombongan
dengan sanak keluarga dan kerabat, bermodalkan “nekad”.
Tidurnya pun di
emperan Masjid Nabawi atau Masjidil Haram, mandi di toilet masjid, makan
sahur dan buka puasa tak usah khawatir karena warga Arab berlomba-lomba
memberikan sedekah dengan menyediakan buka puasa berlebih di kedua
Masjid suci itu. Barang bawaan berupa tas-tas mulai dari tas
plastik/kresek sampai koper pun mereka tumpuk di sudut-sudut halaman
masjid dan bila malam tiba jadi bantal. Mereka tidur di udara terbuka,
sebab malam di bulan Ramadhan tak ubahnya siang : terang benderang!
Satu hal yang patut disayangkan dibalik
maraknya kedatangan jamaah umroh : kumuh! Ya, kedua masjid suci yang
biasanya selalu bersih dan rapi itu jadi kumuh dan tak teratur. Madinah
masih mendingan, Mekkah lebih mengenaskan lagi kondisinya. Sebab selain
lebih panas, juga lebih kotor dan lebih padat. Karena hanya 3
hari di Madinah, itupun di fokuskan untuk ibadah dan berusaha mencapai
Raudhloh – meski di malam kedua gagal, syukurlah di malam ketiga kami
berhasil menuju Raudhloh meski tak bisa khusyu’ dan tumakninah berdoa
karena berjubelnya jamaah dan teriakan para Askar menghalau jamaah yang
berlama-lam sholat/berdoa – saya tak punya banyak koleksi foto Madinah
di malam hari. Berikut hanya ada 3 foto Madinah di malam hari, yang
menunjukkan Masjid Nabawi dari kejauhan. Sebab kalau saya ambil dari
dekat, tampak sekali “kekumuhan” berjubelnya jamaah yang menjadikan
pelataran Masjid Nabawi menjadi hotel dadakan.
MAKKAH AL MUKAROMAH
Kami bertolak menuju Mekkah tepat di hari ke-20 Ramadhan. Rencana semula kami akan check out
usai sholat Dhuhur, dimajukan menjadi jam 8 pagi, karena menurut
Muthawwif kami harus sudah tiba di Makkah sebelum jam 2 siang. Sebab
nanti malam adalah malam ke-21, dimana kondisi Mekkah akan jauh lebih
padat dan area sekitar Masjidil haram akan ditutup untuk lalu lintas bis
ukuran besar. Benar saja, meski kami memasuki kota Mekkah sekitar pukul
1 siang, dari jarak 700 meter sebelum Masjidil Haram, kendaraan sudah
nyaris tak bisa bergerak. Jamaah terpaksa diminta turun dan berjalan
kaki menuju pemondokan, sementara koper dan tas-tas ukuran besar akan
dibawakan oleh petugas sampai ke penginapan.
Hari ini kami akan melaksanakan umroh, pagi
tadi semua jamaah sudah mengambil miqat dan melaksanakan sholat sunnah
umroh serta melafadzkan niat umroh di Masjid Bir Ali. Namun Muthawwif
menyarankan kami melaksanakan thawaf dan sa’i usai sholat Maghrib saja,
sebab dikhawatirkan jamaah kelelahandan tidak kuat fisiknya karena dalam
kondisi berpuasa. Karena itu kami harus menjaga betul agar rukun umroh
tidak batal.
Usai sholat Maghrib, kami pun thawaf. Sebelumnya sudah
di-briefing agar suami-istri, orang tua-anak, benar-benar mempererat
pegangan tangannya dan jangan sampai terpisah. Salah satu petugas
berusia muda sengaja diminta berada di belakang Ibu saya, untuk menjaga
Ibu agar tak terinjak atau tersenggol jamaah lain terutama dari negara
lain yang postur tubuhnya jauh lebih besar dari umumnya orang Indonesia.
Usai thawaf, kami menunggu usai sholat Isya
dan tarawih untuk bisa melaksanakan sa’i. Akhirnya seluruh rangkaian
ibadah umroh selesai menjelang tengah malam. Karena ini malam ke-21,
maka mulai dilaksanakan qiyamul-lail berjamaah (sholat
tahajjud), yang dimulai pada jam 1 malam dan berakhir pada jam 3 dini
hari. Petugas yang diminta menjaga kami memilih untuk tak pulang ke
penginapan sampai usai qiyamul-lail. Jadi kami pulang pas saat makan
sahur. Saya pun mengikutinya. Dan begitulah yang berlangsung pada setiap
malam ganjil, terkadang kami pulang dulu ke penginapan dan istirahat
barang sejam, lalu kembali untuk ikut qiyamul-lail.
Jangan ditanya bagaimana crowded-nya
malam ke-27. Sejak pagi hari jam 10, pintu utama Masjidil Haram – baab
Abdul ‘Aziz – sudah ditutup karena penuh. Area sekitar Ka’bah yang
jelas-jelas tanpa atap, sudah penuh dengan hamparan sajadah, meski
pemiliknya tak tahu dimana. Kebetulan itu hari Jum’at, jadi jamaah pria
rata-rata usai sholat Jum’at tidak pulang dan tidur di Masjid, karena
kuatir tak dapat tempat jika pulang.
Biasanya, rutinitas saya berangkat ke
Masjidil Haram sekitar jam 2.30 siang, mencari tempat yang nyaman –
kalau bisa masuk melalui pintu yang full AC – lalu standby di sana
sampai saat sholat Ashar, lalu menunggu buka puasa bersama dan sholat
Maghrib, dilanjut sampai Isya dan tarawih.
Saat berangkat saya mampir
dulu ke mini market sekedar membeli bekal – 1 botol yoghurt dan 1 botol
juice, sepotong pisang untuk Ibu, sebutir apel untuk saya, anggur dan
kurma kering secukupnya. Toh nanti menjelang buka puasa pasti berlimpah
pembagian kurma segar.
Kami kembali ke penginapan usai tarawih, jam
11 malam, lalu makan malam sedikit, istirahat sejam, kembali ke Masjidil
Haram jam 1 kurang 10 menit dan kembali ke penginapan jam 3 untuk makan
sahur. Usai sahur langsung kembali ke Masjidil haram untuk sholat Subuh
sampai menunggu saat Dhuha. Usai Dhuha inilah kami memanfaatkan waktu
untuk tidur. Bagaikan kalong, kami tidur di pagi hari, mulai jam 8
sampai jelang jam 12 siang. Bangun menunggu saat adzan Dhuhur dan begitu
seterusnya.
Karena berubahnya pola rutinitas keseharian,
maka malam hari tak lagi terasa bagaikan malam. Lampu-lampu jalanan,
toko-toko dan restoran, hotel-hotel, semuanya terang benderang. Jadi
mengambil foto di malam hari tidaklah terlalu sulit. Berikut saya
sajikan foto-foto Ka’bah yang saya ambil dari area thawaf di lantai 2
(thawaf untuk mereka yang menggunakan kursi roda). Tentu saja
mengambilnya bukan saat malam ganjil. Sedangkan foto jam tertinggi di
dunia yang berada di puncak The Grand Zamzam Hotel, saya ambil dengan
kamera BB. Gedung itu tak pernah kekurangan cahaya, sebab puncak menara
jam itu sendiri berpendaran cahaya terang benderang jika terdengan
alunan suara adzan.
Sebagai “bonus”, saya sertakan 2 buah foto
Masjid Laut Merah atau yang populer disebut Masjid Terapung, yang saya
ambil sekitar jam 11 – 12 malam saat saya umroh sebelumnya, yaitu bulan
Mei – Juni 2007, bukan di saat Ramadhan dan belum masuk musim panas
sepenuhnya. Semoga foto-fotonya tak mengecewakan.