Maraknya pemberitaan mengenai kasus korupsi
akhir-akhir ini yang banyak dilakukan oleh anggota DPR, membuat saya
jadi ingat pada teman saya di Surabaya, beberapa tahun lalu. Sebut saja
namanya Pak Kusno. Saya banyak mengenalnya dari teman dekat saya yang
kemudian menikah dengan adik kandung Pak Kusno. Selain itu Pak Kusno
juga temannya sahabat saya yang lain, yang kebetulan sama-sama
berprofesi sebagai pengusaha.
Sekitar tahun 2000-an, dalam usianya yang melewati
45 tahunan, Pak Kusno dikenal sukses sebagai pengusaha yang ulet,
tangguh dan pekerja keras. Pak Kusno benar-benar memulai bisnisnya dari
bawah. Dia ibarat “The God Father” bagi keluarganya. Sebagai
anak ke-2, dia yang paling sukses secara finansial. Adik-adiknya yang
kesemuanya lelaki, bekerja di perusahaan-perusahaan Pak Kusno. Salah
satu adiknya menjadi pengacara kasus-kasus kecil, kemudian menjadi suami
dari teman saya.
Entah bagaimana awalnya, sekitar tahun 2002–2003,
Pak Kusno tertarik bergabung dengan sebuah parpol. Menjelang akhir 2003,
Pak Kusno ikut mencalonkan diri jadi caleg. Jika semula ia hanya fokus
mengembangkan bisnisnya, kini ia dituntut untuk mencari massa. Mulailah
Pak Kusno tebar pesona. Sepanjang bulan Ramadhan ia mengadakan berbagai
acara yang banyak melibatkan masyarakat di kelurahan dan
kecamatan-kecamatan di daerah pemilihannya. Saya bahkan dengar kabar Pak
Kusno membagi-bagikan parcel lebaran kepada semua Ketua RT, RW, Lurah
dan Camat di sekitar 5 Kecamatan yang berada dalam lingkup Dapilnya.
Entah berapa puluh bahkan ratus juta dana yang dihabiskan untuk itu.
Selain itu, kabarnya, untuk memuluskan pencalonan
dirinya menjadi anggota legislative dan agar mendapatkan nomor urut 1 di
dapilnya, Pak Kusno juga harus merogoh koceknya dalam-dalam untuk
petinggi parpolnya. Maklum, dia pendatang baru di partai itu. Jadi untuk
mengalahkan kader yang sudah berjuang bertahun-tahun, tentu butuh
pelumas ekstra. Alhasil, Pak Kusno mendapat nomor urut 1, didukung
dengan kampanyenya yang gebyar di seantero dapil, terpilihlah Pakk Kusno
sebagai anggota DPRD Kota Surabaya tahun 2004. Dia memang berhasil
mengumpulkan suara terbanyak. Ribuan orang mencoblos namanya.
Setelah jadi anggota DPRD, kalau tak salah Pak
Kusno menjadi Ketua salah satu Komisi. Setelah itu saya tak lagi
mendengar kabar tentang Pak Kusno, karena saya pergi ke luar negeri.
Sepulang saya ke tanah air tahun 2006, saya kaget mendengar kabar Pak
Kusno terlibat kasus korupsi. Kabarnya, perusahaannya memenangkan tender
sebuah proyek Pemerintah Kota Surabaya. Perusahaan yang telah
diserahkan pada adik-adiknya untuk mengelola sejak ia menjadi anggota
DPR, diindikasikan memenangkan tender itu dengan mudah karena lobby Pak Kusno sebagai anggota DPRD.
Dalam pelaksanaannya, ternyata barang yang sudah
di-install itu tak sesuai dengan spesifikasi teknis, sehingga dihentikan
pemasangannya. Pihak perusahaan Pak Kusno sudah menyanggupi untuk
mengganti. Tapi ternyata, persoalan baru muncul. Dalam dokumen impor
barang-barang itu dinyatakan sebagai barang bekas buatan China. Hal ini
dilakukan karena pihak perusahaan ingin menghindari pajak. Tentu jika
mengimpor barang baru nilai pajaknya akan lebih besar.
Niatan mengakali pajak ini ternyata berbuntut
panjang. Perusahaannya dituduh melakukan penipuan (barang bekas
dikatakan baru), bukan sekedar salah spec. Meski adik-adik Pak Kusno
berusaha membuktikan bahwa barang itu asli baru bukan barang bekas, tapi
karena dokumen pendukungnya menyatakan barang bekas, secara hukum ini
yang dijadikan pegangan. Jadi, ibarat senajata makan tuan. Kasusnya
kemudian melebar ke mana-mana. Akhirnya, Pak Kusno pun dijadikan
tersangka kasus mark up proyek dan penyelewengan dana proyek.
Sidang demi sidang dilalui, Pak Kusno didampingi
pengacara bertarif mahal. Sayangnya, si pengacara bukannya mengandalkan
kemampuan adu argument, tapi justru menawarkan solusi instant pada Pak
Kusno, yaitu jual beli pasal dan rentut (rencana tuntutan) dengan jaksa.
Sejak masih dalam proses penyidikan di kepolisian, praktik menyuap
aparat ini sudah dilakukan. Pak Kusno yang ingin masalah cepat kelar,
mengiyakan saja solusi instant yang ditawarkan pengacaranya. Berapapun
uang diminta aparat kepolisian maupun kejaksaan, Pak Kusno menyanggupi.
Sayangnya, aparat seperti tak ada puasnya. Selalu
saja ada alasan untuk memeras tersangka. Lama-lama, Pak Kusno terpaksa
menjual satu demi satu mobilnya, mulai dari yang paling murah sampai
yang paling mahal terlego. Bukan hanya mobil, beberapa rumah dan
tanahnya pun ikut terjual. Sedemikian kejamnya praktik mafia hukum, Pak
Kusno seolah dijadikan bulan-bulanan, sapi perah dan entah apa lagi
istilahnya.
Sekedar contoh : melalui pengacaranya ia telah
menyuap tim jaksa yang menyusun rentut. Uang sudah diserahkan, ternyata
seminggu kemudian semua jaksa dalam tim itu dimutasi ke daerah lain.
Bayangkan! Ini dikerjain namanya. Ditunjuklah tim jaksa baru. Pengacara
pun kasak kususk dengan tim baru ini. Sekali lagi harus keluar uang
pelicin. Begitulah seterusnya, ada saja alasan untuk memeras Pak Kusno,
sampai tak ada lagi yang bisa diperas.
Mobil dan rumah sudah amblas, bahkan anak istrinya
untuk hidup sehari-hari pun tak tahu lagi harus dari mana. Perusahaannya
yang lain ikut mandeg usahanya dan modalnya tersedot. Sampai-sampai
untuk pergi ke kantor pengacaranya pun Pak Kusno harus naik angkot. Kata
teman saya, istrinya sampai harus mengiba-iba pada teman-teman suaminya
demi mengepulnya asap dapur.
Sampai suatu ketika, putri pertama Pak Kusno lulus
SMA dengan nilai sangat bagus dan dia terpilih diterima di Fakultas
Kedokteran sebuah PTN lewat jalur PMDK karena nilai rapotnya selalu
cemerlang sejak kelas 1 SMA. Semestinya, ini bukan persoalan besar,
justru patut disyukuri. Sayangnya, dalam kondisi ayahnya terlibat kasus
hukum, sekedar membayar uang pendaftaran ulang pun tak ada uang.
Sampai-sampai si putri menangis karena cita-citanya kandas hanya
gara-gara uang yang sebenarnya tak seberapa. Padahal prestasinya sangat
gemilang.
Putra keduanya, yang saat itu masih SMP atau SMA,
curhat pada Pakdenya “Pakde, kira-kira nanti kalau waktunya aku kuliah,
apa Bapak bisa ya menyekolahkan aku?”. Rupanya anak kedua ini resah,
khawatir masa depan pendidikannya sesuram kakaknya. Pakdenya hanya bisa
memeluk dan mengusap kepala keponakannya sambil menahan tangis.
Belakangan, sekitar tahun 2007, saya dengar dari
sahabat saya yang pengusaha rekan Pak Kusno, kabarnya Pak Kusno
mendatangi orang-orang “pintar” untuk meminta tolong didoakan atau
diberikan amalan doa agar disegerakan mati saja. Tentu saja orang-orang
pintar itu menolak dan menasehati Pak Kusno agar jangan meminta mati,
sebab itu dilarang. Keluarganya pun perlu ekstra ketat menjaga dan
mengawasi Pak Kusno agar tak sampai berusaha bunuh diri.
Beberapa bulan kemudian, saya dengar kabar miris :
Pak Kusno stress berat, depresi, tak mau keluar kamar, tak mau makan,
sering berbicara dan berteriak-teriak sendiri, tak mau mandi. Bahkan
sampai berkelakuan nyaris seperti orang tak waras. Terakhir, masih di
tahun 2007 saya dengar Pak Kusno dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Entah
bagaimana kabar istri dan ketiga anaknya. Katanya istrinya kembali
kepada keluarganya untuk bisa bertahan hidup.
Begitu tragisnya kisah Pak Kusno. Entah
diklasifikasikan apa kasus itu : korupsi, suap, mark up, manipulasi atau
apapun. Yang jelas Pak Kusno berhasil menjadi anggota DPRD bukan
sekedar lewat jalan yang wajar, tapi juga diwarnai dengan suap dan money politics.
Memang dana yang digunakan uang pribadinya, keuntungan perusahaannya.
Sebetulnya tanpa jadi anggota DPRD pun hidup Pak Kusno sudah tak
kekurangan. Namun, karena untuk jadi anggota DPRD ia harus keluar dana
sangat besar, maka tak heran setelah jadi dia pun mencari peluang dengan
memanfaatkan posisinya untuk memuluskan perusahaannya memenangkan
tender proyek. Seolah untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan.
Itulah perjalanan uang panas. Terkumpul begitu
mudah dan menguap dengan cepat pula. Bukan sekedar menguap, bahkan
membakar dan menghanguskan pemiliknya. Ini tentu beda dengan uang yang
terkumpul rupiah demi rupiah dari keringat yang halal. Uang yang didapat
dengan susah payah menapaki jalan lurus. Sebagai umat beragama,
seharusnya kita percaya bahwa Tuhan sudah menjamin rizki bagi setiap
hambaNYA. Jika Sang Pencipta yang menjamin, maka itu pastilah cukup. Dan
cukup tidaknya bukan ditentukan oleh besar kecilnya nilai nominal yang
didapat, tapi pada keberkahannya. Keberkahan ada karena keridhoan Allah
atas jalan yang ditempuh untuk mendapatkan rizki itu.
Setiap rupiah yang didapat dengan cara haram, maka
kesengsaraanlah yang akan ditimbulkan. Tidak hanya kesengsaraan bagi
diri sendiri, juga bagi keluarga yang tidak tahu apa-apa. Mungkin saja
tidak sekarang kesengsaraan itu harus dibayar, bisa saja Tuhan
menangguhkan murka-NYA. Tapi tetaplah kita tak akan bisa lari dari
hukum. Kalaupun mampu membayar pengacara kelas wahid dan bisa lepas dari
jerat hukum dunia, maka hukum Allah tak akan bisa dihindari dan tak ada
pengacara yang bisa membela. Semoga saja kita diselamatkan sampai akhir
hayat, untuk tidak tergelincir dan silau dengan harta haram demi
kenikmatan duniawi semata. Semoga kita mampu menjaga diri dan keluarga
kita agar tetap teguh berpegang pada prinsip-prinsip kebenaran. Amin.
catatan ira oemar freedom writers kompasianer