sumber foto : Antara
Setelah imam shalat mengakhiri do’a sehabis melaksanakan shalat witir, masing-masing jemaah mengambil Al-Qur’an dari tempatnya, lalu merapat ke dinding dan membukanya dan bersiap untuk mulai bertadarus. Seperti biasa, tuan rumah mulai mengedarkan penganan. Tetapi ada yang tidak biasa, malam itu kami akan menyelesaikan juz terakhir dari rangkaian 30 juz kandungan Al-Qur’an yang kami baca secara bergantian sehingga selesai satu juz satu malam sejak tarawih hari pertama.
Suasana terasa hening dan bening Seorang Ibu mulai membaca, kemudian diteruskan oleh Ibu yang duduk di sebelahnya dan seterusnya.
Lalu pindah ke bapak-bapak dan seterusnya. Saya mendapat giliran membaca sebuah surah pendek. Begitu menyelesaikan bacaan, saya mengangkat Al-Qur’an ke wajah seakan-akan hendak menciumnya, tetapi saya sebenarnya hendak menutup muka saya agar tidak terlihat dari jemaah lain, karena saat itu air mata mulai mengambang di kelopak mata. Perasaan tidak menentu setelah menyelesaikan shalat Arbain di Masjid Nabawi kembali menyusup ke dalam sanubari, keengganan yang sangat untuk bangkit dan pergi guna melanjutkan perjalanan dan kehidupan, sesuatu yang niscaya, karena jarum jam tidak mungkin diputar mundur.
Esok malamnya kami akan meliwati malam terakhir Ramadhan bersama keluarga masing-masing di rumah, menunggu datangnya pagi di hari yang fitri.
Dan seperti pada ujung-ujung Ramadan, sebuah pertanyaan berulangpun muncul: Masih akan bertemukah diri ini dengan Ramadan tahun berikutnya?
Kegiatan shalat tarawih berjamaah yang bergilir dari rumah ke rumah yang dilanjutkan dengan tadarus Al-Qur’an dari rumah ke rumah yang diselengarakan oleh IKM VII Perumnas Depok Tengah sudah berlangsung sejak kompleks tersebut dihuni pada tahun 1979 tanpa terputus. Pesertanya pun relatif konstan, berkisar antara 10 dan 15 keluarga.
Namun berbeda dengan shalat tarawih yang diselenggarakan di kebanyakan masjid yang semakin dekat ke penghujung Ramadan jumlahnya peserta semakin berkurang, jemaah tarawih bergilir ini kadang-kadang malah bertambah. Malah ada yang datang hanya untuk bertadarus saja.
Karena kewajiban mencari nafkah, hampir seluruh hari-hari di bulan Ramadan tahun 2007 saya lewatkan di Banda Aceh dan Ramadan di tahun 2008 saya lewatkan di Semarang. Saya selalu merindukan suasana Ramadan dengan kegiatan tarawih dan tadarus dari rumah ke rumah tersebut—kegiatan yang dalam sebuah thread di Apakabar dalam tahun 2006— saya gambarkan “menyebabkan malam-malam Ramadan saya seperti penuh cahaya”. Saya juga sangat merindukan saat-saat kami berdua berjalan bergandengan tangan di keremangan fajar selepas sahur untuk shalat subuh berjamaah di masjid Ar-Riyadh.
Saya masih sempat mengikuti satu dua hari di akhir Ramadan di kedua Ramadan walaupun dalam Ramadan di tahun 2008 tidak lagi bersama sang belahan jiwa, dan karena kesehatan yang mulai menurun dengan cepat mengikuti usia yang semakin menua, dan pada Ramadan di tahun 2008 jumlah jemaah mulai menyusut.
Karena itu saya tidak begitu terkejut ketika pak Haji Rusli pengurus IKM Blok 7 mendatangi rumah kami, menjelang Ramadan tahun 2009, untuk pertama kalinya Kur tidak mengambil jatah untuk ketempatan sebagai tuan rumah tarawih dan tadarus dari rumah ke rumah. Penyakit degeneratif pada usia tua yang dideritanya, menyebabkan hampir setahun terakhir ini Kur hanya mampu shalat dengan menjuntaikan kaki di antar, karena duduk dengan melipat kaki sangat menyakitkan baginya. Tetapi tidak hanya Kur, beberapa keluarga juga tidak lagi bersedia dengan alasan yang hampir sama.
Bu Haji Nasran yang hanya tinggal berdua dengan suami setelah anak-anaknya menikah mengeluhkan kerepotan mengangkat perbotan dari ruang tamu. “Kalau jemaahnya banyak tidak apa-apalah,” jelasnya. Ada yang hanya bersedia ketempatan tetapi tidak menjamin untuk dapat hadir pada giliran di rumah yang lain. Malah ada yang mengusulkan agar kegiatan tersebut disudahi saja. Namun Ketua Pengurus Pak Haji Jusni Bahar memutuskan masih akan melanjutkan seperti apapapun keadaannya. Sebanyak 10 keluarga menyatakan bersedia ketempatan. Saya ikut mendukung dan mencoba untuk hadir di setiap kesempatan, namun hanya dapat mengikuti kegiatan tarawih saja karena kesehatan saya pun mulai menurun. Seperti diduga semula, jumlah jemaah menurun drastis, adakalanya hanya tinggal empat orang, termasuk tuan rumah.
Pada Ramadan tahun ini akhirnya Pengurus memutuskan untuk menghentikan kegiatan tarawih dan tadarus dari rumah ke rumah ini . Kami semua akhirnya sadar, walaupun semangat tinggi, usia tua—kami semua ssudah berumur di atas 60 tahun—tidak mungkin dilawan. Dengan demikian kegiatan yang sudah berlangsung secara terus menerus selama 30 tahun sudah tidak akan ada lagi.
Pertanyaan saya, apa sih perekat kegiatan tersebut, sehingga kegiatan tersebut bisa berlangsung begitu ‘solid’ dan ‘sustainable’? Hanya karena faktor keminangan, atau latar belakang etnis dan sosiobudaya saja kah? Apalagi acaranya biasa-biasa saja, tarawih dan witir total 11 rakaat. Ketika bertadarus seorang membaca sebanyak satu a’in, yang lain menyimak, dan memberitahu kalau ada salah baca atau melafalkan mahrajnya, dan tidak jarang pula diselingi gurauan-gurauan khas Minang. Dan satu hal kecil yang cukup menarik, tidak seorang jemaah pun yang tidak melakukan kesalahan baca atau pelafalan ketika kena giliran, termasuk bapak-bapak yang menjadi imam shalat yang hafal di luar kepala sejumlah surah-surah pendek dan panjang.
Tetapi pertanyaan tersebut menjadi tidak penting, karena apapun jawabannya, kegiatan tersebut sudah memberikan kepada kami keriaan, kehangatan dan kekhidmatan dalam beribadah sunah Ramadan, mempererat silaturakhmi sesama warga Minang tanpa jatuh ke ekslusivisme, karena kegiatan itu juga terbuka lebar bagi jemaah-jemaah keluarga non-Minang di blok kami.
Perjalanan hidup—meminjam sobat saya owner Apakabar Elceem—adalah ibarat perjalanan pajang sebuah kereta api jarak jauh. Pada setiap setasiun perbehentian ada yang sudah turun dan ada pula yang masih bersama kita.
Malam-malam Ramadan tahun ini seluruhnya saya lewati di rumah. Asma yang sejak awal tahun ini sudah dua kali mengirim saya ke rumah sakit, kembali menyerang di pertengahan Ramadan, yang menyebabkan keinginan untuk berpuasa penuh sampai di hari terakhir tidak kesampaian. Kata para ahli hikmah, orang tidak akan pernah merasa nikmatnya senang kalaulah tidak pernah merasakan sakit. Saya percaya itu. Namun sering sakit di usia senja ini bagi saya membawa isyarat, bahwa kereta kehidupan saya akan segera tiba di setasiun terakhir; untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan kendaraan lain menuju keabadian, sendirian.
Menoleh ke belakang, saat kereta kehidupan berhenti di setiap Ramadan yang diisi dengan tarawih dan tadarus berkeliling dari rumah ke rumah, saya seperti meliwati sebuah persinggahan yang penuh cahaya, yang masih menyinari saya sampai saat ini, dan perjalanan ke depan.
Malam terus mengalir pelan, di luar langit penuh gemintang, dan alunan takbir dan tahmid terus berkumadang menyusuri bukit-bukit, gunung dan lembah di penghujung Ramadan tahun ini.
catatan darwin bahar the indonesian freedom writers