Awalnya pilihan jatuh pada flm Soegija, tapi karena terlalu sore, akhirnya saya pilih untuk menonton ‘Di Timur Matahari’.
Ini film Indonesia pertama yang saya tonton sejak saya pulang ke Indonesia. Film-film Indonesia lainnya kurang menarik minat.
Film buatan Alenia Production selalu memikat saya, sejak saya jatuh cinta pada film Denias, Senandung di atas Awan.
Selain itu Papua memiliki makna tersendiri buat saya, karena ayah saya
sempat lama berdinas di Sorong. Apalagi film ini berbau pendidikan,
bidang yang cukup saya minati.
Film ini mengisahkan tentang kehidupan bocah
cilik nan cerdas, Mazmur, yang hidup di pelosok Papua, bersama keluarga,
saudara, dan sahabat-sahabatnya, Yokim, Agnes, dan Suryani.
Adegan pertama saja sudah membuatku
menitikkan air mata haru, kala Mazmur dan teman-temannya sudah berkumpul
di ruangan kelas hendak belajar, namun guru pengganti tak jua datang (suasana
kelasnya mengingatkan saya saat dinas mengajar di Waingapu, Sumba.
Sebelum mengajar saya menyapu dan membersihkan kelas dulu, dibantu
murid-murid..hehe…gak ada yang namanya cleaning service).
Selain menggambarkan begitu memprihatinkannya
dunia pendidikan di pelosok Papua, juga menggambarkan tentang berbagai
konflik di tanah nan indah dan kaya ini. Selain konflik antar suku yang
menyebabkan terjadinya perang saudara, juga konflik di suatu perusahaan
(dugaan saya ini perusahaan tambang emas, yang Anda tahu sendiri
namanya), dimana terjadi penembakan yang mengancam karyawan perusahaan
ini.
Upaya mendamaikan perang antar suku yang
dilakukan Bapak Yakub, Pendeta Samuel (yang dimainkan sangat apik oleh
Lukman Sardi) serta Michael (paman Mazmur), hampir saja tak membuahkan
hasil.
Ayah Mazmur menjadi salah satu korban. Karena
wafatnya sang suami, ibunda Mazmur memotong jarinya sebagai tanda duka.
Dua hal ini menyebabkan trauma mendalam pada diri si kecil Mazmur.
Karena dia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat ayahnya tewas
dipanah dan saat ibunya memotong jarinya (orangtua harap dampingi putra-putrinya saat menonton film ini ya…karena saya saja ngeri melihatnya).
Selain itu, paman Mazmur yang lain
juga tewas, dalam perang antar suku, hendak membalas dendam pada suku
lain yang menyebabkan tewasnya sang kakak. Ayah Agnes (sahabat Mazmur)
yang adalah anggota suku yang menjadi musuh ayah Mazmur, juga tewas
mengenaskan.
Begitu mengerikannya akibat dari perang antar
suku ini. Anak-anak yang kehilangan ayahnya dan istri-istri yang
kehilangan suami dan jarinya sendiri (menjadi adat disana, istri
memotong jarinya bila suami meninggal).
Selain masalah pendidikan dan keamanan, film
ini juga menyoroti kemiskinan yang terjadi di Papua. Betapa mahalnya
harga-harga barang, karena untuk mendatangkan barang diperlukan pesawat
perintis yang sanggup terbang di medan sulit seperti Papua. Banyak
rakyat miskin di tengah-tengah tanahnya yang kaya. Mengenaskan.
Bahkan pendidikan pun terasa sangat mahal.
Film ini sangat menyentuh, di tengah situasi
memanas yang terjadi di Papua saat ini. Seandainya Presiden kita dan
jajaran pemerintahnya mau menolehkan kepalanya sejenak melihat kondisi
yang sebenarnya terjadi disana, maka makna sesungguhnya dari sila kelima
Pancasila akan terwujud nyata: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bukankah Papua bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Bukankah rakyat Papua, saudara-saudara kita juga?
catatan tyas freedom writers kompasianer