Sekitar 11 – 12 tahun lalu,
Perusahaan tempat saya bekerja di Surabaya sempat menyewa Mario Teguh
sebagai konsultan. Salah satu dari rangkaian pelatihan dan workshp yang
saya ikuti dari Mario Teguh diantaranya mengajarkan betapa pentingnya
bahasa non verbal dalam berkomunikasi. Ternyata, pemilihan kata, susunan
kalimat dan pemahaman bahasa hanya memegang peranan 10% saja dalam
menciptakan pemahaman dalam berkomunikasi. Yang 90% sisanya justru makna
dari komunikasi didapat dari aspek non verbal.
Yang 20% dapat dibaca dari mimik
muka/raut wajah dan yang pegang porsi terbesar, 70% adalah pemahaman
yang didapat dari bahasa tubuh/body language. Benar juga,
bukankah dengan orang bisu/tuli kita tetap bisa berkomunikasi dengan
bahasa isyarat? Terkadang kita berada di lingkungan yang tidak kita
pahami bahasanya, tapi kita bisa berkomunikasi dengan bahasa “Tarzan”
yang mengandalkan mimik muka dan gerakan tubuh. Ketika pertama kali
tinggal di Jepang dulu, saya belum bisa berbahasa Jepang dan orang
Jepang tak mahir berbahasa Inggris. Tapi toh social life saya normal-normal saja dengan mengandalkan bahasa non verbal.
Tips terpenting dari Mario Teguh yang saya pegang sampai sekarang adalah mendeteksi kebohongan
seseorang. Jika kita bertanya pada seseorang lalu orang itu tidak
menjawab secara spontan dan bola matanya bergerak ke kanan, itu tandanya
dia sedang mengarang jawaban. Patut diduga jawaban yang akan keluar
adalah dusta. Sebab yang bekerja adalah otak kanan, yang “kreatif”
mengarang. Sedang jika bola matanya bergerak ke kiri, kemungkinan dia
sedang mengingat –ingat. Bisa jadi karena pertanyaannya menyangkut hal
yang dia sudah lupa. Meski mungkin saja jawabannya salah, itu semata
karena kelemahan daya ingat, bukan karena memang diniatkan untuk
berbohong. Ini karena yang bekerja otak kiri.
Tips itu terkadang saya gunakan
saat mewawancarai pelamar atau ketika terpaksa menginvestigasi karyawan
yang bermasalah. Maklum, sebagai orang HRD saya sering harus bertemu
dengan banyak orang dengan karakter yang macam-macam. Tapi trik ini tak
selalu bisa diandalkan, terutama jika yang ditanya memakai kacamata atau
menunduk atau memalingkan muka.
Ada satu kasus, dimana polisi
tanpa sengaja tahu siapa pelaku pembunuhan, hanya karena pelaku gagal
mengajak “tubuhnya” berkompromi ketika ia berdusta. Kejadiannya tahun
1988, sudah hampir 24 tahun yang lalu. Mereka yang tinggal di Surabaya
ketika itu mungkin masih ingat pembunuhan atas satu keluarga Letkol.
Mar. P (maaf saya pakai initial saja) yang dilakukan oleh keluarga ibu
Sumiarsih, yang baru dihukum mati sekitar 3 tahun lalu setelah grasinya
ditolak Presiden.
Ceritanya begini : suatu siang
sebuah mobil patroli jalan toll menemukan sebuah bangkai sebuah mobil
(kalau tak salah Suzuki Jimny/Katana) di dalam jurang di tepi jalan
toll, dalam keadaan terbakar. Api sudah padam, tapi tak seluruh body
mobil hangus. Ketika berhasil diangkat, seisi mobil sudah meninggal,
mungkin ada 6 orang, saya lupa. Tapi polisi menciun ada kejanggalan,
sebab mencium bau minyak tanah yang sangat menyengat. Selain itu, dari
kondisi mayat-mayat, diperkirakan sudah meninggal sebelum mobil masuk ke
jurang.
Demi kepentingan penyelidikan,
polisi mengumumkan ini sebagai sebuah kecelakaan murni. Wartawan pun
memberitakan begitu. Karena semua keluarga Letkol. Mar. P tewas, maka
kerabatnya lah yang menyelenggarakan pengurusan jenazah dan pemakaman.
Kerabat ini tak lain adalah orang kepercayaan Letkol. Mar. P yang
dipercaya menangani bisnisnya (mengelola rumah bordil di kawasan
lokalisasi di Surabya), yaitu ibu Sumiarsih dan pak Prayit. Semua
berlangsung wajar, keluarga bu Sumiarsih tampak berduka. Saat usai
pemakaman, polisi mengobrol bersama pak Prayit.
Entah sengaja entah tidak,
seorang polisi yang hendak merokok meminta api dari pak Prayit. Polisi
menyelipkan rokok di bibirnya dan pak Prayit menyalakan pemantik api.
Disinilah polisi melihat ada yang aneh. Api itu bergoyang keras,
rupanhya jemari pak Prayit bergetar keras. Polisi mulai curiga dengan
bahasa tubuh Pak Prayit ini. Sejak itu polisi berusaha memfokuskan
penyelidikan pada aktivitas dan alibi keluarga ini pada hari
diperkirakan terjadinya pembunuhan.
Benar saja, kemudian terungkap
bahwa atas prakarsa ibu Sumiarsih yang terlilit hutang dan rasa dendam
pada Letkol. Mar. P karena kalau menagih hutang selalu kasar dan
menghina, maka ibu Sumiarsih mengajak suami, anak, menantu dan
keponakannya untuk bersama-sama membunuh keluarga Letkol. Mar. P. Hanya
putrinya saja yang tak diajak serta, sementara suami putrinya, seorang
polisi muda berinsial A, yang baru saja menikah dengan putri bu
Sumiarsih, ikut diajak serta. Karena tak berani menentang ibu mertuanya
yang galak, polisi A pun terpaksa menurut.
Pembunuhan dilakukan dengan
menggunakan alu. Modusnya mereka sekeluarga pura-pura bertamu pada suatu
pagi, lalu saat lengah alu dipukulkan ke kepala target. Demikianlah
satu demi satu anggota keluarga Letkol. Mar.P dihabisi. Pembantunya
dipukul saat pulang dari pasar. Anak dan keponakannya dipukul saat
pulang sekolah. Demikian rapi dan terorganisirnya pembunuhan itu,
sampai-sampai tak menyisakan bercak darah dan barang bukti sebuah pun.
Kalau saja tangan Pak Prayit tak
gemetaran saat menyalakan api untuk rokok pak polisi, mungkin polisi
akan kesulitan melacak pelakunya. Tapi seperti kata Agatha Christie : “tak ada kejahatan yang sempurna”. Selalu ada jejak tersisa, karena itu Monsiur Poirot selalu bisa menemukan pelaku kejahatannya.
Alibi bisa dikarang dengan cermat, barang bukti bisa dimusnahkan, tapi kegelisahan jiwa tercermin dalam body language. Mungkin inilah cara Tuhan menyalakan alarm nurani kita.
Karena manusia diciptakan sebagai makhluk paling sempurna, ia diberi
akal dan pikiran. Akal pikiran kadang menyimpang dan membuahkan dusta,
maka Tuhan melengkapinya dengan hati nurani. Hati nurani jadi tak tenang ketika akal dan pikiran berkomplot mengarang dusta.
Kendati demikian, kepekaan
“alarm” nurani tentu ada batasnya. Jika sudah biasa berbohong, mungkin
saja bahasa tubuh yang gelisah atau gerakan bola mata ke kiri, tak lagi
tampak. Bahkan kadang lie detector pun tak mampu mendeteksi perubahan detak jantung dan gelombang otak ketika seorang pembohong tulen diperiksa.
Kata Mario Teguh, sebenarnya
Tuhan telah menyediakan genta besar yang loncengnya berbunyi setiap kali
kita melangkah keluar dari jalur yang telah digariskanNYA. Hanya saja
terkadang kita mengabaikan bunyi lonceng itu dan terus saja melangkah
makin jauh keluar dari jalur. Seperti juga alarm HP, suara lonceng itu
semula lemah lalu makin lama makin keras. Kalau kita terus saja
mengabaikannya, lama-lama lonceng genta itu putus dan tak lagi berbunyi.
Bahkan ketika langkah kaki kita telah melenceng jauh dari jalur yang
benar dan sudah di tubir jurang.
Otak kita setiap hari memproses pengalaman yang kita alami. Memori akan makin kuat jika seluruh indera kita mengalaminya.
Misalnya memori tentang makanan yang lezat akan terus terbayang
kelezatannya ketika mata kita sudah melihat tampilan sajian yang
menggiurkan, telinga mendengar decapan mulut yang merasakan keenakan
makanan itu, hidung mencium aroma lezat, lidah merasakan citarasanya.
Niscaya kenangan lezatnya makanan ini akan lebih terekam kuat di otak
ketimbang hanya melihat gambarnya atau mendengar cerita orang yang
pernah memakannya.
Itu sebabnya, siswa lebih mudah
menangkap pelajaran yang diikuti dengan praktek, ketimbang hanya
diterangkan di depan kelas oleh guru, apalagi sekedar membaca di buku.
Jamaah pengajian juga lebih merekam pesan seorang ustadz yang mampu
membawakan ceramah dengan gesture yang menarik, ketimbang yang hanya
berdiri tegak di balik podium.
Nah, ketika berbohong,
sebenarnya otak sedang dipaksa untuk memutar suatu rekaman yang tak
pernah ada. Peristiwa sebenarnya yang direkam di memori otak adalah apa
yang dilihat mata, apa yang didengar telinga dan apa yang dirasakan oleh
tubuh dan perasaan saat itu. Misalnya kenangan peristiwa yang
menyenangkan, menyedihkan, menyakitkan, menakutkan, dll. Tentu saja otak
akan bekerja ekstra keras untuk menciptakan sesuatu yang bertentangan
dengan rekaman yang ada. Dan karena rekaman itu hanya rekaan semata,
maka tak heran jika sekali waktu otak lupa merekam kebohongan yang
pernah disampaikan, apalagi jika menyangkut hal-hal yang detil. Sebab
rekaman yang lebih kuat adalah rekaman tentang pengalaman sebenarnya.
Jika berbohong sendiri saja
sudah sulit menjaga konsistensinya, apalagi jika kebohongan itu
dilakukan “berjamaah”. Sebab daya tahan tiap orang untuk bertahan pada
kebohongan tidaklah sama. Dan jika salah satu dari kelompok itu gagal
mempertahankan kebohongan, maka anggota kelompok yang lain harus secara
spontan mengarang skenario baru untuk menutupi segmen yangtelah
terbongkar itu. Dan ini tidaklah mudah untuk mengkoordinasikan skenario
baru kepada seluruh anggota kelompok secara spontan. Sebab kebohongan
memang tidak bisa spontan.
Ada cerita humor di BBM : 4
mahasiswa bangun kesiangan gara-gara bergadang nonton bola semalaman.
Padahal pagi ini ada ujian. Akhirnya mereka sepakat mengarang cerita
kepada sang dosen agar diijinkan ikut ujian susulan besok paginya.
Mereka beralasan angkot yang dinaiki pecah ban dan membantu sopir
angkotnya ganti ban dulu. Dosennya mengabulkan permintaan mereka.
Besoknya mereka boleh ujian dengan syarat duduk di ruangan terpisah.
Soalnya cuma 2, yang pertama bobot nilainya 10%, sangat gampang, semua
bisa mengerjakan. Soal kedua bobot nilainya 90%, pertanyaannya : Coba
jelaskan posisi roda angkot sebelah mana yang pecah ban? Nah lho!
Itu sebabnya jaringan mafioso
memberlakukan aturan ketat : siapa yang tertangkap pantang buka mulut.
Jika terpaksa harus mengorbankan diri, korbankan dirimu sendiri. Jangan
teman dan organisasi mafia ikut jadi korban. Biasanya mereka yang
terpaksa jadi “martir” untuk komplotannya, maka para mafioso lainnya
akan take care pada keluarga yang ditinggalkan. Tapi jika
anggota yang tertangkap sampai buka mulut, resikonya dihabisi sampai ke
keluarganya. Itulah code of conduct tak tertulis para mafioso.
Jadi, kalau hari-hari belakangan ini masyarakat Indonesia
disuguhi kebohongan berjamaah dari sekelompok Mafioso politik, maka
bersabarlah, karena tak ada kejahatan yang sempurna, tak ada kebohongan
yang sempurna. Makin lebar jaringan Mafioso itu, makin luas span of control dari pimpinan mafia, maka akan makin rentan pula untuk out of control. Kita hanya perlu sedikit bersabar untuk menunggu kebenaran terkuak. Sebab, anda
bisa membohongi seseorang selamanya, atau anda bisa membohongi banyak
orang pada satu ketika. Tapi anda tak akan mungkin membohongi banyak
orang selamanya. Selamat bersabar!
catatan ira oemar freedom writers kompasianer