Masih ingat siaran RRI jaman tahun ‘80an -
‘90an? Siaran yang wajib di-relay radio-radio swasta itu belakangan,
setelah tahun ‘90an juga disiarkan TVRI dan wajib pula di-relay TV
swasta. Biasanya - kalo ingatan saya tak salah - dilakukan seusai rapat
Kabinet bidang Ekuin, setiap hari Rabu minggu pertama setiap bulannya.
Siaran yang saya maksud adalah pengumuman harga-harga sembako dan sayur
mayur.
Diawali dengan pembukaan oleh Pak Moerdiono
sambil tergagap-gagap dengan “eeehm.., eeehm…”-nya lalu dilanjutkan oleh
Harmoko, Menteri Penerangan, mengumumkan “Harga di Pasar Induk
Kramatjati…” Dst. Diawali kalimat paling “sakti” yang diucapkan dengan
mantap dan penuh percaya diri : “Menurut petunjuk Bapak Presiden…”, maka
meluncurlah daftar harga kebutuhan dapur dan pelengkapnya.
“Beras kualitas sedang per kg.., beras
kualitas baik per kg.., jagung pipilan per kg.., minyak goreng curah per
liter.., gula pasir per kg.., terigu eceran per kg.., wortel per kg..,
cabe merah keriting per kg.., tomat sayur.., tomat buah.., kol bulat..,
kol panjang.., kentang.., buncis.., bawang merah.., bawang putih..,
bawang daun.., telur ayam kampung.., telur ayam negeri.., daging ayam..,
daging sapi.., dll, dst.
Bersamaan dengan pengumuman daftar harga itu,
diumumkan juga prosentase inflasi/deflasi bulan kemarin. Jadi, jelas
dan transparan apa penyebab inflasi dan deflasi bulanan. Apakah karena
dipicu naiknya harga cabai atau bawang karena curah hujan terlalu
tinggi, atau karena panenan gagal akibat kemarau panjang sehingga harga
beras melonjak. Di Indonesia yang hampir semua daerah masakannya
berbumbu dan pedas, bawang merah dan putih serta cabai cukup pegang
peranan penting dalam menjaga stabilitas harga kebutuhan sehari-hari.
Karena itu, tak salah kalau Pemerintah merasa perlu mengumumkan patokan
harga komoditas dapur itu.
Sekarang, Pemerintah tak merasa perlu
mengaturnya. Urusan pasar tradisional dibebaskan seperti super market,
alias diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar bebas. Supply dan
demand dibiarkan bertanding sendiri tanpa wasit. Meski demand sedang
naik, para supplier boleh saja menimbun stock untuk mempermainkan harga.
Mungkin ini praktek yang dinamakan NEOLIB itu, pasar bebas yang jadi
dewa penentu harga.
Sejak pertengahan Maret 2012, ketika issu
kenaikan harga BBM makin menguat, sejumlah penjual di pasar induk dan
pasar tradisional yang melakukan “aksi jual untung”. Mereka berspekulasi
dan mengambil ancang-ancang menaikkan harga dagangannya, sebelum harga
BBM benar-benar ditetapkan naik. Akhirnya, meski harga BBM urung naik,
harga sejumlah kebutuhan pokok dan sayur mayur di sejumlah pasar
tradisional di berbagai kota di hampir semua wilayah Indonesia, tetap
tak juga turun. Alasan para pedagang : barang jualannya dikulak dengan
harga tinggi, jadi mereka juga tak mau rugi menjualnya dengan harga
turun.
Tadi pagi, saya lihat tayangan TV tentang
liputan harga-harga di beberapa pasar dari kota dan propinsi yang
berbdea-beda. Harga gula pasir curah dari semula Rp. 9.000,-/kg naik
jadi di atas Rp. 10.000,-/kg, didaerah lain ada yang di kisaran Rp.
11.000,-/kg bahkan Rp. 12.000,-/kg. Disparitas harga sangat lebar.
Telur ayam yang semula Rp. 800,-/butir menjadi Rp. 1.200,-/butir alias
naik 50%, suatu lonjakan harga yang luar biasa! Begitu pula dengan harga
cabe, bawang, tomat. Tak terbayang betapa pusingnya ibu-ibu yang
berbelanja untuk makan keluarganya. Uang yang biasa dibawanya kini
mungkin hanya cukup untuk 2x makan, bukan 3x seperti dulu.
Tukang sayur langganan kami yang biasa
berjualan di komplek, juga mengeluhkan mahalnya harga-harga yang
ditetapkan pedagang pasar langganannya. Bang Amin – tukang sayur
langganan kami – sudah komplen ke pedagang pasar, tapi ia dapat jawaban :
barang yang dijual masih dibeli dengan harga minggu kemarin. Sampai
kapan ketidakpastian harga ini akan terus membebani masyarakat? Selama
masih diserahkan sepenuhnya pada pasar bebas, pemenangnya pastilah
tengkulak dan pedagang besar. Dan yang paling menderita kekalahan telak
adalah konsumen eceran : ibu rumah tangga, pemilik warung nasi, dan
pedagang kecil lainnya.
Saya pernah mampir di rest area jalan toll di
Malaysia, di sana saya temui sejumlah warung makan yang sebagian menu
yang ditawarkan sama. Untuk menu yang sama harganya pun sama persis.
Ternyata, di sana diberlakukan aturan patokan harga untuk setiap menu
yang umum di jual. Misalnya kalau diibaratkan warteg di sini, nasi pecel
harganya dipatok Rp. 5.000,- ; nasi uduk taripnya Rp. 6.000,-; nasi
lauk rendang dibandrol Rp. 10.000,-; dst. Jadi penjual hanya perlu
bersaing soal rasa, penampilan penyajian dan kebersihan out let agar
pembeli sudi mampir ke warungnya.
Kenapa pihak berwenang setempat bisa mengatur
harga makanan olahan begitu? Teman Malaysia saya menjelaskan, di sana
Pemerintahnya memberlakukan regulasi bahan-bahan pangan pokok sehingga
harganya seragam. Nah, kalau harga bahan bakunya sudah diseragamkan,
maka mengatur harga makanan olahan bukanlah suatu hal yang mustahil.
Bandingkan dengan kondisi kita saat ini, harga bahan pokok dan sayuran
serta bumbu (bawang, cabe, tomat, pala, merica) antara satu pasar dengan
pasar lain di seantero Jakarta saja sudah terpaut jauh. Lalu bagaimana
penjual warteg bisa mengatur harga makanannya agar tak fluktuatif?
Setahu saya, di sejumlah negara Pemerintahnya
juga mengatur dan mengintervensi harga bahan pokok yang jadi kebutuhan
rakyat banyak. Di Jepang misalnya, harga roti dengan ukuran standar di
berbagai kombini (mini market) harganya juga sama 100 Yen plus
pajak 5%, harga jualnya 105 Yen, meski beda merk dan aneka rasa (isi
sayuran, kismis, keju, selai kacang, daging ham). Lalu, di negara kita
yang daya beli masyarakatnya masih tergolong rendah dan penghasilannya
pas-pasan, kenapa Pemerintahnya selalu menyerahkan sepenuhnya pada harga
pasar?
Katanya kita punya Wapres seorang ekonom
handal, mestinya beliau bisa merumuskan strategi bagaimana mengendalikan
harga pasar agar tidak melambung tanpa batas. Apalagi sekarang, ketika
Pemerintah masih menunda kenaikan harga BBM, seharusnya Pemerintah
peduli untuk menstabilkan harga dan mengembalikannya ke harga asal, agar
jika nanti 6 bulan lagi BBM benar-benar dinaikkan, beban hidup rakyat
tak makin berat. Apalagi bagi rakyat miskin yang urung mendapat BLSM
karena pengurangan subsidi BBM tak jadi dilakukan. Saya tak tahu, apa
peran Pak Boediono dalam mengurus perekonomian negara ini? Atau justru
karena beliau – seperti diissukan sejak awal – seorang penganut paham “neolib”
sehingga beliau lebih percaya pada kekuatan pasar bebas? Kalau begitu,
kasihan rakyat. Kalau Pemerintahnya saja sudah tak peduli ikut
mengendalikan harga, maka mereka harus berperang sendiri melawan
tengkulak dan pemilik modal. Serahkan semuanya pada kapitalisme, maka
tinggal tunggu kebangkrutannya saja..catatan ira oemar freedom writers kompasianer