foto sumber http://sidomi.com
Lagi-lagi dan lagi-lagi! Ya,
kasus video porno yang melibatkan setidaknya salah satu pelakunya
anggota DPR yang terhormat, sebenarnya bukan baru kali ini. Awal tahun
2007 publik dihebohkan dengan peredaran video adegan intim yang beredar
dari ponsel ke ponsel, yang diduga pelaku pria adalah Yahya Zaini
(politisi dan anggota Fraksi Golkar DPR RI) dan pelaku wanitanya Maria
Eva (artis dangdut yang saat itu tidak ngetop, bahkan nyaris tak
dikenal). Karena di tahun 2007 pengguna internet belum marak, pemilik
akun Facebook apalagi Twitter belum sebanyak sekarang, maka peredarannya
memanfaatkan fasilitas send atau transfer melalui bluetooth antar
ponsel.
Si pelaku wanita kemudian
menggandeng pengacara kondang : Hotman Paris Hutapea, yang kemudian
melakukan jumpa pers mengakui keaslian videoitu yang menurutnya direkam
dengan ponselnya. Maria Eva mengaku bahwa dirinyalah pelaku adegan intim
dalam video itu. Hanya saja ia tidak tahu siapa yang menyebarkan,
karena menurut pengakuannya ponselnya pernah rusak dan sempat ditinggal
di sebuah tempat reparasi ponsel. Pasca pengakuan Maria Eva, publik pun
tak butuh lagi pengakuan YZ dan akhirnya YZ menyatakan mengundurkan diri
dari keanggotaannya di DPR RI. Bahkan istri YZ kemudian dengan berbesar
hati melakukan konferensi pers, meminta publik menghentikan hujatan
pada suaminya demi ketenangan keluarganya dan menjga kondisi psikologis
anak-anaknya.”Bagaimana pun ia adalah ayah dari anak-anak saya” demikian
kata istri YZ.
Beberapa tahun lalu, muncul foto
adegan intim antara anggota DPR dari PDIP, Max Moein, dengan mantan
asistennya di DPR, Desi Firdianti. Foto itu menyebar seiring pengakuan
Desi soal pelecehan seksual yang pernah dilakukan oleh boss-nya. Meski
sempat meramaikan pemberitaan media TV dan internet, kasus ini berakhir
diam-diam. Saat itu Desi bahkan didampingi LSM perempuan. Entah
bagaimana penyelesaiannya, tak satupun dari 2 orang yang wajahnya jelas
tampak dalam foto itu yang dituntut ke ranah hukum dan tak ada pula
penyelesaian politis. Ini seiring juga dengan berakhirnya masa jabatan
Max Moein di DPR RI periode 2004 – 2009.
Kali ini, lagi-lagi beredar
video porno melalui intenet, yang kabarnya pelaku wanitanya diduga mirip
KMN, anggota DPR RI dari FPDIP yang juga putri Gubernur Kalbar. Berbeda
dengan 2 kasus sebelumnya, kasus kali tanggapannya berbeda atau sengaja
digiring ke arah yang berbeda. Dalam 2 kasus di atas, Yahya Zaini dan
Max Moein sama sekali tak dilindungi partainya pun juga tak dibela
rekannya di DPR. Mereka dibiarkan menyelesaikan sendiri permasalahannya
dan karena si anggota DPR sudah disibukkan dengan upaya membela nama
baiknya yang terkanjur tercoreng, akhirnya faktor siapa yang pertama
kali menyebarkan video/foto sama sekali tak diprioritaskan.
Ada keunikan tersendiri dalam
kekompakan dan solidaritas antar anggota DPR. Kalau ada salah satu
anggota DPR yang namanya terseret kasus dugaan korupsi, biasanya
parpolnya akan langsung memberikan pembelaan dan rekan-rekannya terutama
yang se-fraksi akan ikut menutupi. Ini wajar, sebab umumnya korupsi
yang dilakukan di DPR tidaklah sendiri alias berjamaah. Setidaknya kas
parpol kecipratan setoran hasil korupsinya. Tapi untuk kasus terkait
dengan skandal seks, umumnya parpol dan kolega seprofesi tak akan
ikut-ikut karena itu ranah pribadi.
Dalam kasus menyebarnya video
yang diduga pelaku wanitanya mirip KMN, campur tangan tokoh parpol sejak
awal sudah mengemuka. Apalagi semula beredar issu pelakunya rekan
separtai. Saya sangat salut dengan langkah Arya Bima – politisi PDIP –
untuk menyampaikan klarifikasi secara gentle dengan tampil dalam acara
siaran langsung TV. Kebetulan saya 2x nonton wawancara dengan Arya Bima
di TV One dalam acara AKI malam dan AKI pagi esoknya. Dari caranya
membantah dengan penuh percaya diri dan yakin, setidaknya pemirsa punya
alasan untuk mempercayai klarifikasi Arya Bima. Tak heran jika
belakangan nama AB tak lagi disebut-sebut sebagai pelaku pria dalam
video itu.
Lalu bagaimana dengan KMN?
Sedikitpun belum ada klarifikasi atau pernyataan sepatah katapun dari
KMN. Meski beredar kabar di internet, diduga pelaku prianya adalah EGM
yang juga disinyalir pengunggah video itu. Pernyataan ini juga
disampaikan Arya Bima, yang telah melaporkan EGM – Sekjen Parade
Nusantara – ke kepolisian. Pihak Parade Nusantara sendiri – seperti
dirilis Vivanews.com – Parade Nusantara sendiri menyatakan EGM patut
diduga pelaku video itu. Seandainya kemudian EGM mengakui dirinya pelaku
video itu, bagaimana dengan KMN?
Dalam kasus YZ dan ME, pengakuan
YZ tak lagi diperlukan saat ME sudah mengakui.
Pun juga dalam kasus
video porno dengan pelaku “mirip” Ariel dan Cut Tari. Ketika Cut Tari
membuat pengakuan kepada publik sekaligus permintaan maaf, maka meski
tanpa pengakuan Ariel dan Luna Maya yang diduga menjadi pelaku pasangan
Ariel dalam video yang telah lebih dulu beredar, namun publik sudah
yakin bahwa Ariel dan Luna memang pelakunya. Meski keduanya terus
membantah, pengakuan Cut Tari saja sudah jadi pegangan publik untuk
menyakin keaslian video itu dan sekaligus “memvonis” kedua pelakunya.
Dalam kasus KMN ini, terkesan
sekali bahwa issu dan opini publik sengaja digiring ke arah menemukan
siapa pengunggah video serta spekulasi motif politis di balik itu, yang
dihubung-hubungkan dengan Pilgub Kalbar beberapa bulan ke depan. Sebab
ayah KMN adalah Gubernur incumbent yang bakal maju lagi dalam Pilgub
tahun ini. Alih-alih KMN yang tampil ke depan publik/ mengadakan jumpa
pers mengklarifikasi ketidakbenaran video itu, malah ayahnya, Drs.
Cornelis, yang menggaransi putrinya tak mungkin melakukan perbuatan itu.
Ini mengingatkan saya pada kilah
Cut Tari ketika awal mula video itu beredar. Saat itu Cut Tari masih
dengan penuh percaya diri dan senyum mengembang, menyatakan bahawa suami
dan ibunya tak percaya dirinya pelaku video itu. “Ibu saya yang
melahirkan saya saja, gak percaya kalo itu saya:, demikian pernyataa
Tari saat itu. Ketika kemudian Tari membuat pengakuan, ia meminta maaf
kepada Ibundanya yang sampai sakit karena kasusnya itu. Jadi, kalau
seorang Ibu yang melahirkan saja tak bisa tahu betul perbuatan anaknya,
apalagi seorang ayah yang sehari-hari sibuk dengan tugas jabatannya
sementara di anak tak tinggal serumah dengannya selama 24 jam.
Dengan tidak munculnya KMN untuk
membantah issu mengenai dirinya dan adanya penggiringan opini publik ke
arah menghakimi pengunggah video, terkesan memang ada upaya untuk
menyelamatkan KMN – dan tentu saja citra ayahnya. Kompasiana pun dipakai
sebagai sarana untuk itu. Dalam tulisan yang dibuat oleh Ratu Adil
tanggal 25 April lalu, tampak jelas upaya untuk menghakimi dan
mengarahkan tuduhan kepada pihak-pihak tertentu, meski kemarin tulisan
itu dikoreksi dengan menyatakan bahwa tuduhan yang dibuat sehari
sebelumnya hanyalah hipotesa yang tidak didasarkan pada data namun hanya
dari info semata.
Dalam tulisan tanggal 25 April
yang kini sudah dihapus, ada beberapa Kompasianer – setidak ada 3 yang
saya ketahui – memberikan komentar senada, dengan menekankan aspek
moralitas dari issu ini. Mereka berkoemntar : apapun motif di balik
pengungkapan video porno itu, jika memang benar video itu asli dan
pelakunya anggota DPR, ya harus diusut tuntas dan diberhentikan dari
jabatan sebagai anggota DPR. Namun, komentar-komentar seperti ini sama
sekali tak digubris oleh Ratu Adil. Dalam tanggapannya menjawab komentar
salah satu Kompasianer, dia menjawab bahwa itu hanyalah masalah moral
saja, yang penting diusut justru motif politis siapa yang mengunggah
video.
Seolah-olah Ratua Adil menekankan bahwa yang perlu diproses hukum
hanyalah pengunggah video karena bermotifkan politis. Sedangkan
perilaku anggota DPR yang nge-seks bukan dengan pasangan sah-nya,
seolah-olah itu hanya masalah kecil saja, cuma soal moralitas saja,
katanya.
Ketika Bill Clinton nyaris di-impeach
karena skandal peecehan seksualnya pada Monica Lewinsky terungkap, saya
sempat bertanya pada seorang teman Amerika saya : “kenapa kalian
mempersoalkan perbuatan Clinton, padahal seks bebas di Amerika kan sudah
lumrah. Kalau melihat bagaimana perilaku sosial budaya bangsa Amerika
digambarkan dalam film-film Hollywood, seharusnya apa yang dilakukan
Clinton masih masuk kategori wajar?”. Apa jawab teman saya? “Memang,
banyak diantara kami yang berbuat begitu. Tapi dia (Clinton) pemimpin
kami. Dan kami memilihnya karena kami anggap dia lebih baik dari pada
kami. Meski moralitas kami mungkin sudah buruk, tapi kami tetap tak mau
dipimpin oleh orang yang juga buruk moralnya”. Nah lho!
Di Amerika saja – yang
dilambangkan sebagai kebebasan atas norma sosial dan susila, seorang
pejabat publik tetap dituntut berperilaku dengan standar moralitas
tinggi. Clinton selamat dari impeachment setelah dia mengakui
perbuatannya dan meminta maaf. Seorang senator pernah gagal maju dalam
ajang Pilpres di Amerika, hanya gara-gara skandal seks-nya di masa lalu
diungkap ke publik menjelang pencalonan. Akhirnya ia terpaksa mundur
karena merasa tak lagi legitimate untuk mencalonkan diri.
Sarah Palin – yang pada Pilpres
2008 lalu maju menjadi Cawapres, sempat digoyang issu putrinya yang
masih remaja diketahui telah hamil dan punya anak di luar nikah. Meski
kondisi seperti ini dialami ribuan bahkan mungkin jutaan remaja putri
Amerika lainnya dan tak ada yang menghujat ibu mereka sebagai ibu yang
tak becus mendidik anak gadisnya, tapi karena Sarah Palin akan menjadi
orang nomor 2 di AS, maka kredibilitasnya sebagai Ibu pun dipersoalkan.
Termasuk bagaimana ia menjaga putrinya dari pergaulan bebas.
Jadi, rasanya tak berlebihan
jika di Indonesia yang masih memegang teguh nilai-nilai ketimuran dan
norma susila, jika rakyat Indonesia juga menuntut “wakil rakyat” yang
duduk di DPR RI juga bersih dari issu-issu amoral. Tak peduli siapa
pengunggah video porno dan apa motif di balik itu, jika terbukti video
itu asli dan pelakunya memang anggota DPR, ya seharusnya dia meniru
langkah YZ : mundur! Tentu Polisi juga tetap harus mengusut siapa
pengunggah video porno dan menjeratnya dengan UU ITE. Tapi ini tetap tak
membebaskan si pelaku dari pemecatan di DPR. Perkara bapaknya akan maju
dalam Pilgub Kalbar, ya silahkan saja diteruskan. Serahkan pada
masyarakat Kalbar untuk memilihnya atau tidak.
catatan ira oemar freedom writers kompasianer