Jika anda masih segenerasi dengan saya dan pernah jadi penggemar film serial drama keluarga Oshin
yang sangat populer di TVRI pada penghujung tahun ’80-an sampai awal
’90-an, persepsi apa yang tertanam di benak anda tentang sosok kaum ibu
di Jepang? Sosok kaum tertindas? Sosok penurut yang mengabdikan seluruh
hidupnya demi keluarga? Atau bahkan menganggap itu suatu kebodohan
karena rela berada dalam dominasi mutlak kaum pria?
Pada masa sebelum Perang Dunia
II, umumnya keluarga Jepang dalam 3 generasi tinggal bersama dalam satu
atap. Terdiri dari orangtua, anak-anak bahkan cucu-cucunya. Peran suami
sebagai kepala keluarga sangatlah dominan. Semua kata-katanya adalah
“hukum” yang wajib dipatuhi seluruh anggota keluarga. Ayah memiliki
otoritas penuh untuk menentukan aturan dalam keluarga, mengarahkan
pendidikan anak-anaknya, bahkan memberikan ijin bagi pernikahan
anak-anak mereka. Peran ayah yang sangat dominan dan sentralistik ini
terus tertanam berabad-abad lamanya. Seperti tergambar dalam film “Oshin”.
Sementara seorang istri – yang dalam bahasa Jepang disebut istilah “kanai” – benar-benar memegang peranan mengurus segala hal macam urusan domestik. Sesuai dengan makna kata “kanai” yang dalam literatur artinya “di dalam rumah”,
maka “tempat” seorang istri adalah di dalam rumah, Ia melayani
suaminya, mengurus orang tua suaminya, merawat dan membesarkan anak-anak
mereka serta mengerjakan berbagai macam pekerjaan rumah tangga. Karena
itu, seorang wanita dituntut untuk trampil menguasai berbagai macam
keahlian dalam rumah tangga.
Namun perang telah membuat norma
keluarga Jepang mengalami perubahan. Selama tahun-tahun peperangan,
saat makanan sangat sulit didapatkan, ibu rumah tangga di Jepang
melakukan segala upaya untuk menjamin agar keluarganya tetap bisa
mendapatkan makanan dengan cukup. Mereka dituntut untuk bisa
mempertahankan rumah tangganya sementara suami mereka berjuang di garis
depan. Mereka juga tidak boleh membebani suaminya dengan kekhawatiran
tentang masalah-masalah keluarga mereka.
Sejak masa itu, seorang ayah tak
lagi memiliki kekuasaan yang absolut dalam menentukan aturan dalam
keluarga. Ibu rumah tangga Jepang modern kebanyakan memiliki hak suara
yang setara dengan suaminya dalam masalah keluarga. Bahkan seringkali dalam menentukan pendidikan anak-anaknya, seorang ibu berperan
lebih dominan dibanding suaminya. Hal ini kebanyakan karena seorang
ayah lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah sehingga jarang
berinteraksi dengan anak-anak mereka. Ini menyebabkan anak-anak
cenderung lebih dekat secara emosional dengan ibu mereka. Termasuk
urusan sekolah, mulai dari persoalan antar- jemput sekolah, sampai menghadiri rapat atau pertemuan di sekolah anak-anak mereka.
Pendidikan Meningkat, Ekonomi Membaik, Tapi tetap Memilih di Rumah
Kendati sekarang sudah banyak
wanita Jepang yang mengenyam pendidikan modern, tapi proporsi wanita
yang bekerja di luar rumah masih tetap jauh lebih kecil dibanding kaum
pria. Dari sejumlah data statistik yang dirilis lembaga/kementrian
terkait – kebetulan di sana saya belajar tentang Sumber Daya Manusia –
ada beberapa kecenderungan, antara lain :
1. Prosentase
wanita bekerja yang tertinggi ditempati oleh kelompok usia 25 -29 tahun
dan baru meningkat lagi pada kelompok usia 40 – 44 tahun dan 45 – 49
tahun.
2. Komposisi
wanita bekerja yang lulusan sarjana dan pasca sarjana jauh lebih kecil
dibanding wanita lulusan diploma atau sekolah keahlian lainnya, bahkan
lebih kecil lagi bila dibandingkan dengan wanita bekerja lulusan SMA dan
sederajat.
3. Tingkat
partisipasi wanita bekerja dari kurun tahun 1965 – 2002 terus mengalami
penurunan, sementara kondisi perekonomian Jepang makin membaik.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa stereotype peran ibu sebagai “pengatur rumah tangga” dan “tempatnya di dalam rumah”, masih belum sepenuhnya pupus dalam norma keluarga Jepang modern. 3 simpulan yang bisa diambil adalah : pertama, perempuan bekerja ketika ia belum menikah atau setelah anak-anaknya bisa ditinggal sendiri. Kedua, makin tinggi tingkat pendidikan wanita Jepang, tidak menjamin mereka akan menekuni karirnya di dunia kerja. Ketiga, bahkan ketika kondisi ekonomi makin baik, maka paradigma bahwa wanita perannya di dalam rumah kembali mendapat tempat dalam khasanah keluarga Jepang modern. Itu semua menunjukkan fenomena meski
kehidupan di Jepang semakin modern, namun norma-norma yang mereka anut
dalam keluarga tetap berpegang pada norma tradisional.
Hal ini menuntut kepiawaian
seorang ibu untuk men-transfer pemahaman kepada anak gadisnya tentang
peran dan tugas perempuan dalam rumah tangga. Sepanjang pengamatan saya,
transfer pemahaman ini relatif tidak menimbulkan cultural shock
atau gegar budaya. Ini terbukti dari kerelaaan gadis-gadis Jepang
mempersiapkan dirinya dengan cara membekali diri dengan berbagai
ketrampilan praktis sebelum memasuki gerbang pernikahan. Bagi mereka
yang ingin mengecap kebebasan lebih lama, mereka memilih menunda usia
menikah dan memperpanjang masa lajangnya untuk menikmati kebebasan
sepenuhnya sebagai wanita bekerja.
Teman se-asrama saya di apartemen Canon Bonheur Den-enchofu Ryou
– Mary Shimizu – yang pernah mengenyam pendidikan ala Barat di
Australia, masih taat pada paradigma ini. Kendati saat itu ia sudah
bekerja di Canon dan mendapat posisi cukup baik, namun karena setahun
kemudian berencana menikah, maka sejak setahun sebelumnya Mary sudah
mengambil berbagai kursus ketrampilan wanita dan adat Jepang, agar nanti
dia punya aktivitas yang bisa dilakukan kalau sudah jadi ibu rumah
tangga. Misalnya Mary mengambil kursus kadou (merangkai bunga, ikebana) dan membuat teh untuk jamuan minum teh khas Jepang (sadou), kursus aroma teraphy, berlatih dansa, dan sebagainya.
Prinsip “keluarga inti” atau “nuclear family”
telah menjadi norma pasca perang di kebanyakan rumah tangga Jepang.
Dalam keluarga Jepang, anak yang telah cukup usia untuk mandiri – sudah
memiliki penghasilan sendiri – umumnya tak lagi tinggal bersama ortunya.
Anak yang sudah menikah “wajib” keluar dari rumah dan
tak lagi menumpang di “pondok mertua indah”. Demikian pula pasangan
lansia kebanyakan menghabiskan sisa hari tuanya sendirian ketimbang
bergabung dengan anak-anak mereka.
Dengan kondisi sosial seperti itu,
tak ada yang bisa dititipin anak saat ibunya bekerja, maka para istri di
Jepang memilih berhenti bekerja ketika mereka akan memiliki anak.
Kalau masih ingin melanjutkan karirnya, mereka harus sabar menunggu
sampai semua anaknya beranjak remaja dan bisa mandiri. Artinya si Ibu
sudah berumur 40-an tahun bahkan lebih.
Satu hal yang patut dikagumi dari
bangsa Jepang adalah : kendati negara mereka telah maju dan pendidikan
telah menyentuh semua lapisan masyarakat, namun para ibu di Jepang dapat
dengan sukses ”mentransfer” pemahaman kepada anak-anak gadisnya tentang
kodrat wanita dan perannya sebagai istri dan ibu. Sehingga tak terjadi
”gegar budaya” dan ”pemberontakan” dari para gadis Jepang. Dengan
sukarela mereka akan mempersiapkan dirinya memasuki gerbang pernikahan
dan mengalihkan perannya dari wanita yang bekerja di kantor untuk
mencari nafkah menjadi bekerja di rumah untuk melayani keluarga. Seperti
apa yang dilakukan Mary teman saya.
Sedangkan gadis-gadis Jepang modern
yang belum siap melepas ”kebebasannya”, lebih memilih memperpanjang
masa lajang dan menunda menikah. Itu sebabnya usia pernikahan gadis
Jepang dalam 1 – 2 dasawarsa terakhir ini telah bergeser ke angka 30-an
tahun. Kedua pilihan tersebut dan segala konsekwensinya diterima dengan
baik oleh para gadis Jepang dan dijalani tanpa menimbulkan pemberontakan
terhadap nilai-nilai budaya yang telah tertanam sejak lama. Sehingga
tak memunculkan gerakan feminisme yang skeptis.
Saya pernah dengar sebuah pemeo yang entah dari mana asalnya, konon katanya “Japanese woman is the best woman to be married buat Japanese man is the worst man to be married”.
Mungkin karena perempuan Jepang dikenal sangat penurut dan mengabdi
pada suami dan keluarganya, sedangkan para pria Jepang dikenal sangat workaholic dan kerap kali lebih mendedikasikan dirinya pada pekerjaan dan tempatnya bekerja ketimbang pada keluarganya.
Ada beberapa figur perempuan Jepang
yang sempat akrab dengan saya dan mengisi kehidupan saya selama di
sana, entah untuk kurun waktu yang cukup lama atau sekedar bertemu dalam
waktu tak terlalu lama. Saya coba menampilkan foto diri mereka. Meski
mereka perempuan yang berbeda latar belakang sosial, ekonomi dan
pendidikan, tapi ada benang merah keserupaan pada raut wajah mereka :
kesan sabar dan ramah, khas perempuan Jepang.
Pertama : URYU san, ibu asrama atau Dormitory Manager atau dalam bahasa Jepang KANRININ.
Usianya sudah 65 tahunan, pendidikannya tidak tinggi, suaminya seorang
pekerja biasa di Canon. Pekerjaannya sebagai ibu asrama cocok sekali
dengan karakter ibu rumah tangga Jepang : melayani! Tak mengerti
sepatahpun kata dalam bahasa Inggris tak membuat Uryu san mengabaikan warga negara asing seperti saya. Perhatiannya bahkan ekstra ketimbang pada penghuni warga lokal.
Kedua, Keiko Abe, seorang ibu rumah tangga berusia 60-an tahun.
Suaminya seorang pria 74 tahun, ilmuwan di prefektur
Saitma, sekaligus pemilik sebuah perusahaan kelas menengah di distrik
Saitama. Ke-4 putra-putrinya sudah mandiri sehingga rumah mewahnya
terasa terlalu besar untuk ditinggali berdua dengan suaminya, membuat
keluarga Abe melarang saya menyewa hotel selama saua kerja praktek di
perusahaan milik suaminya. Tutur katanya yang selalu menggunakan teinen –bahasa santun semacam kromo inggil
dalam bahasa Jawa – membuat saya menduga Keiko berasal dari keluarga
ningrat. Ini membuat saya selalu sembunyi-sembunyi melihat kamus dulu
sebelum berbicara dengan Keiko san. Sama seperti Uryu san,
Keiko dan suaminya Abe juga tak bisa berbahasa Inggris sama sekali, tapi
keramahannya melayani orang asing sangat luar biasa.
Ketiga, Mami (aduh maaf, saya benar-benar lupa namanya), keluarga homestay saya. Suaminya seorang businessman,
pemilik sebuah perusahaan. Tapi jangan dikira ke-4 putrinya hidup
mewah. Putri pertamanya sudah menikah dan membuka warung makan di
beranda rumahnya, saya pernah diajak ke sana. Ke-3 putrinya yang lain
saat itu ada yang masih sekolah, tapi semuanya bekerja sebagai hambaiten (sales promotion girl). Mami sangat bangga dengan 4 putrinya, meski tak satupun yang akan mewarisi bisnis Papi.
Keempat, Tae Nagasaki, sahabat
saya, figur wanita Jepang modern. Sudah menikah dan saat itu belum punya
anak, sehingga ia tetap bisa bekerja. Belakangan, ketika saya sudah
pulang ke Indonesia, Nagasaki san sempat menulis email bahwa ia
sudah berhenti bekerja karena sudah hamil. Berbulan-bulan kemudian saya
menerima email dengan lampiran foto putrinya dan itu email terakhirnya.
Nagasaki san mungkin sudah larut dalam kesibukan seorang ibu, seperti lazimnya perempuan Jepang.
Kelima, Mie Nakakukie, figur ibu
yang memulai kembali karirnya di usia 40-an. Saat itu ia menjabat
Direktur Program pada Divisi Pendidikan milik Keidanren – semacam
Kadin-nya Jepang – yang mengurusi program pendidikan dan pelatihan bagi
pekerja-pekerja dari berbagai negara Asia yang dibiayai oleh Keidanren
Jepang. Sosoknya yang kalem dan santun khas perempuan Jepang, tapi
Nakakukie san punya ketegasan sehingga bawahannya kaum pria pun
patuh pada instruksinya. Banyak keputusan, bahkan yang menurut saya
remeh temeh, ditentukan atas persetujuannya.
Keenam, Nagasawa san, guru saya yang sersan : serius tapi santai. Orangnya tegas tapi sering kali kocak. Entah kenapa, Nagasawa san sangat skeptis pada lembaga pernikahan dan rumah tangga. Ia paling pantang ditanya umur dan keluarga. Dugaan saya Nagasawa san
hidup melajang. Meski skeptis, tapi ia guru yang paling saya sukai
karena kelugasannya dalam berbicara. Banyak wawasan soal keluarga Jepang
yang saya dapat dari hasil ngobrol dengannya. Selain soal rumah tangga,
Nagasawa san juga skeptis untuk urusan politik. Saya ingat
candaannya dengan saya menjelang Pemilu yang dipercepat di masa PM
Jun-ichiro Koizumi.”Kalau begitu, hari Minggu nanti kamu boleh mewakili
saya datang ke TPS, Ira san” guraunya ketika saya katakan saya
mendukung caleg muda tampan dari distrik Setagaya, yang hampir tiap pagi
saya temui berkampanye di statsiun kereta api Oyamadai, dekat apartemen
saya.
Selain itu, ada pula beberapa
wanita yang saya kenal mengabdikan dirinya untuk mengajar budaya Jepang
di kuil yang khusus untuk itu. Seorang Sensei (guru) yang mengajarkan
tradisi Kadou – merangkai bunga ala Jepang – dan Sensei yang mengajarkan tradisi Sadou – tradisi meramu teh ala Jepang untuk jamuan minum teh. Jangan ditanya bagaimana kelezatan rasa teh yang dibuat dari konna
(bubuk) berwarna hijau itu : ruaaaarrr biasa!! Dan kedua wanita tua ini
dengan telaten akan mengajari siapapun yang mau belajar.
Terakhir : wanita-wanita Jepang
yang kemudian mendapatkan hidayah dan mengikrarkan diri menjadi
Muslimah. Ini adalah foto 3 orang diantara sekian banyak Muslimah Jepang
yang sering saya temui 2x sebulan dalam pengajian di ”masjid” Otsuka.
Jangan bayangkan bangunan masjid lengkapdengan kubah dan menara tempat
adzan dikumandangkan. Itu hanyalah sebuah rumah yang dijadikan sarana
ibadah dan menggelar berbagai aktivitas bagi kaum Muslim. Seorang
muallaf Jepang bernama Asma yang telah mengenalkan saya pada jamaah di
masjid Otsuka.
catatan ira oemar freedom writers kompasianer